Aven mempersilakan Lalang untuk naik duluan saat mereka berada di depan pintu bus. Lalang segera naik dan disusul oleh Aven. Lalang memilih kursi yang di tengah lagi.Â
Bus akan melaju dan membawa mereka ke sebuah kota kecil bernama Kertosono. Selebihnya, bus akan menyerahkan mereka pada takdir. Biarlah takdir yang memberi kejutan di sana.Â
Bus telah melaju. Rindu Aven pada kota kecil itu sudah tidak bisa disembunyikan lagi. Baunya, riuh isinya, dan kenangannya. Ia pernah di sana. Di Kertosono. Bahkan jika dihitung, sudah lebih dari sepuluh kali berkunjung ke kota kecil itu. Selalu ada Kun dan Mirna di sampingnya. Tapi kali ini, Kun telah tergantikan. Itulah kejutan. Mirna masih disibukkan dengan perkara dudanya.Â
Lamunannya menjalar ke mana-mana. Ada Lalang. Ada Cemara. Kun menyingkir dulu. Kun pulang dulu ke pedalaman Kelud. Kun jangan ada dulu. Biarkan ia menepi. Ia harus mengumpulkan banyak energi. Seperti Bung Karno. Menjadi suksesor itu tidak mudah. Ibunya berpesan berkali-kali.
Bus semakin kencang menapaki jalan hitam. Sedikit berlubang. Ada yang mulus. Tapi bergelombang. Sebagai penguasa jalan, Sugeng Rahayu tidak peduli. Tubuh kukuhnya terus menerjang apa pun.Â
Berbanding berbalik dengan kedua manusia yang baru saja menyusun takdir itu. AC yang dihidupkan maksimal, tidak mampu mengusir kehangatan yang tercipta di antara mereka. Di saat penumpang lain sedang mengatubkan kedua matanya, Aven dan Lalang hanya sibuk bertukar cerita tentang dirinya masing-masing. Mereka terus berusaha mengais sebungkus rahasia yang dihadiahkan oleh Tuhan. Rahasia dari pertemuan aneh mereka. Takdir. Sedikit-sedikit mulai mereka petik.Â
"Mengapa harus ke dukuh Paruk?" tanya Lalang tiba-tiba. Suaranya tetap pelan, halus. Aven salah tingkah.
"Rumit. Bingung harus menjawab mulai dari mana. Aku juga belum sadar sampai detik ini. Ini tentang apa. Tentang tujuanku ini. Semua membingungkan. Aku terseret di pusaran ini. Dan tidak tahu bagaimana caranya keluar. Sudah terlalu dalam. Harus dituntaskan."
"Kita sudah bicara banyak tentang apa pun. Namun, kita masih berada di dimensi yang beda. Kita dekat tapi kita tidak saling menyapa." Lalang mengangkat dua bahunya.
"Sepakat. Kita bisa jadi teman yang baik?"