Ah. Mirna selalu bilang ke Aven. Takdrimu bukan di liang lahat, Aven. Setidaknya untuk beberapa tahun ke depan. Kamu harus terus menyemai takdirmu sendiri. Jangan menyerah. Apa iya, kamu tega mati tidak demi aku? Ah. Mirna. Kamu itu siapa? Aku harus menyesal, atau sebaliknya? Lihat bintang-bintang itu. Mereka saksi kamu terhuyung di depan rumah itu. Demi duda yang brengsek. Sekali lagi bilang ia brengsek, kupotong kelaminmu!
"Bisa saja!" jawab Lalang cepat. Kedua bahunya terangkat lagi. Aven membisu. Aneh. Aneh. Semua yang dikatakan Mirna terwujud hari ini. Ah. Kun. Bang Udin. Dukuh Paruk. Entah apa lagi. Mirna, aku suka padamu. Suka sekali. Jangan cepat pergi. Bertahanlah beberapa saat. Nanti, akan kuceritakan bagaimana Perempuan yang duduk di sebelahku saat ini.Â
Hening. Hanya suara AC bus yang terdengar semangat di telinga mereka. Hawa sejuk terus membelai mereka. Sudah saatnya mendapat imbalan yang pantas. Mata Lalang perlahan mulai redup, kemudian mengatub. Aven ingin memulai percakapan itu lagi. Tapi saat ia menggelindingkan kalimat, Lalang sudah berada di dunia yang beda. Selamat tidur orang cantik, begitu kira-kira. Di ujung sana Mirna terbahak. Tuh, kan. Apa aku bilang. Jangan pernah menyudahi takdir yang memang belum terjadi. Rasakan. Rasakan, Aven. Jika itu cinta, bersykurulah. Jika itu pedih, maka bertahanlah. Jangan cepat mati.
Sejak perempuan cantik di sebelahnya tertidur pulas, Aven hanya bisa menikmati kalimat-kalimat yang menggantung di bibirnya. Merasa bosan. Aven membuang muka ke jendela. Ia melihat mobil-mobil kecil, sepeda motor, dan bentor; yang semuanya menepi saat bus yang ia tumpangi meneriakkan klaksonnya keras-keras. Kun benar. Mirna benar. Lumbung benar. Cak San benar. Jadi orang kecil, balungan gereh[1], repot. Selalu harus menepi saat ada orang besar; pejabat, lewat. Padahal hak sama. Kewajiban sama.Â
Â
Aven tersenyum sendiri. Seolah di depannya ada pertunjukan yang lucu. Parodi bangsaku. Bisikknya pada Mirna Ketika itu. Eh. Jangan ngawur. Bapakku juga pejabat. Mirna berteriak. Aven sudah hilang ditelan gelap.
Â
Sesaat setelah bibirnya membuat senyum, ia menyipitkan mata. Nyeri itu datang lagi. Mengejutkan seluruh tubuhnya. Ia bergetar. Hebat. Ia mengigit bibir lagi. Ia menahan serangan dahsyat itu. Tuhan Maha Baik. Orang-orang itu datang lagi. Menjelma obat. Menjelma harapan-harapan. Cemara. Mirna. Kun. Lumbung. MJ (Mak Jah). Dan masih banyak lagi. Wajah-wajah itu berseri. Menyemangati. Hidup harus terus berlanjut. Gairah itu harus tetap menyala.Â
Â
Aven sadar. Ia tidak tahu Cemara. Tapi ia yakin. Cemara dikirim semesta untuknya. Menjinakkan monster itu. Seperti Mirna. Lalu, tubuhnya menjadi hangat. Keringat dingin mulai mengering. Lagi, Aven tidak jadi mati. Sementara perempuan yang di sampingnya belum kembali. Masih bepergian jauh. Jauh sekali. Kedua matanya tetap mengatub rapat. Tidurnya saja cantik. Sungguh cantik. Aven kagum. Oh. Tuhan. Setelah Mirna, lalu Cemara. Lalu ia. Yang di sebelahku. Jangan. Jangan, Tuhan. Jangan Kau matikan aku dulu. Biar aku sampai di akhir episode ini dulu. Setelahnya, terserah.
Â