Mohon tunggu...
Mustofa Ludfi
Mustofa Ludfi Mohon Tunggu... Lainnya - Kuli Tinta

Bapak-bapak Beranak Satu :)

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Siluet-Buku I (Tuhan Maha Pemberi Kejutan)-8

31 Agustus 2024   20:46 Diperbarui: 31 Agustus 2024   21:01 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aven mempersilakan Lalang untuk naik duluan saat mereka berada di depan pintu bus. Lalang segera naik dan disusul oleh Aven. Lalang memilih kursi yang di tengah lagi. 

Bus akan melaju dan membawa mereka ke sebuah kota kecil bernama Kertosono. Selebihnya, bus akan menyerahkan mereka pada takdir. Biarlah takdir yang memberi kejutan di sana. 

Bus telah melaju. Rindu Aven pada kota kecil itu sudah tidak bisa disembunyikan lagi. Baunya, riuh isinya, dan kenangannya. Ia pernah di sana. Di Kertosono. Bahkan jika dihitung, sudah lebih dari sepuluh kali berkunjung ke kota kecil itu. Selalu ada Kun dan Mirna di sampingnya. Tapi kali ini, Kun telah tergantikan. Itulah kejutan. Mirna masih disibukkan dengan perkara dudanya. 

Lamunannya menjalar ke mana-mana. Ada Lalang. Ada Cemara. Kun menyingkir dulu. Kun pulang dulu ke pedalaman Kelud. Kun jangan ada dulu. Biarkan ia menepi. Ia harus mengumpulkan banyak energi. Seperti Bung Karno. Menjadi suksesor itu tidak mudah. Ibunya berpesan berkali-kali.

Bus semakin kencang menapaki jalan hitam. Sedikit berlubang. Ada yang mulus. Tapi bergelombang. Sebagai penguasa jalan, Sugeng Rahayu tidak peduli. Tubuh kukuhnya terus menerjang apa pun. 

Berbanding berbalik dengan kedua manusia yang baru saja menyusun takdir itu. AC yang dihidupkan maksimal, tidak mampu mengusir kehangatan yang tercipta di antara mereka. Di saat penumpang lain sedang mengatubkan kedua matanya, Aven dan Lalang hanya sibuk bertukar cerita tentang dirinya masing-masing. Mereka terus berusaha mengais sebungkus rahasia yang dihadiahkan oleh Tuhan. Rahasia dari pertemuan aneh mereka. Takdir. Sedikit-sedikit mulai mereka petik. 

"Mengapa harus ke dukuh Paruk?" tanya Lalang tiba-tiba. Suaranya tetap pelan, halus. Aven salah tingkah.

"Rumit. Bingung harus menjawab mulai dari mana. Aku juga belum sadar sampai detik ini. Ini tentang apa. Tentang tujuanku ini. Semua membingungkan. Aku terseret di pusaran ini. Dan tidak tahu bagaimana caranya keluar. Sudah terlalu dalam. Harus dituntaskan."

"Kita sudah bicara banyak tentang apa pun. Namun, kita masih berada di dimensi yang beda. Kita dekat tapi kita tidak saling menyapa." Lalang mengangkat dua bahunya.

"Sepakat. Kita bisa jadi teman yang baik?"

Ah. Mirna selalu bilang ke Aven. Takdrimu bukan di liang lahat, Aven. Setidaknya untuk beberapa tahun ke depan. Kamu harus terus menyemai takdirmu sendiri. Jangan menyerah. Apa iya, kamu tega mati tidak demi aku? Ah. Mirna. Kamu itu siapa? Aku harus menyesal, atau sebaliknya? Lihat bintang-bintang itu. Mereka saksi kamu terhuyung di depan rumah itu. Demi duda yang brengsek. Sekali lagi bilang ia brengsek, kupotong kelaminmu!

"Bisa saja!" jawab Lalang cepat. Kedua bahunya terangkat lagi. Aven membisu. Aneh. Aneh. Semua yang dikatakan Mirna terwujud hari ini. Ah. Kun. Bang Udin. Dukuh Paruk. Entah apa lagi. Mirna, aku suka padamu. Suka sekali. Jangan cepat pergi. Bertahanlah beberapa saat. Nanti, akan kuceritakan bagaimana Perempuan yang duduk di sebelahku saat ini. 

Hening. Hanya suara AC bus yang terdengar semangat di telinga mereka. Hawa sejuk terus membelai mereka. Sudah saatnya mendapat imbalan yang pantas. Mata Lalang perlahan mulai redup, kemudian mengatub. Aven ingin memulai percakapan itu lagi. Tapi saat ia menggelindingkan kalimat, Lalang sudah berada di dunia yang beda. Selamat tidur orang cantik, begitu kira-kira. Di ujung sana Mirna terbahak. Tuh, kan. Apa aku bilang. Jangan pernah menyudahi takdir yang memang belum terjadi. Rasakan. Rasakan, Aven. Jika itu cinta, bersykurulah. Jika itu pedih, maka bertahanlah. Jangan cepat mati.

Sejak perempuan cantik di sebelahnya tertidur pulas, Aven hanya bisa menikmati kalimat-kalimat yang menggantung di bibirnya. Merasa bosan. Aven membuang muka ke jendela. Ia melihat mobil-mobil kecil, sepeda motor, dan bentor; yang semuanya menepi saat bus yang ia tumpangi meneriakkan klaksonnya keras-keras. Kun benar. Mirna benar. Lumbung benar. Cak San benar. Jadi orang kecil, balungan gereh[1], repot. Selalu harus menepi saat ada orang besar; pejabat, lewat. Padahal hak sama. Kewajiban sama. 

 

Aven tersenyum sendiri. Seolah di depannya ada pertunjukan yang lucu. Parodi bangsaku. Bisikknya pada Mirna Ketika itu. Eh. Jangan ngawur. Bapakku juga pejabat. Mirna berteriak. Aven sudah hilang ditelan gelap.

 

Sesaat setelah bibirnya membuat senyum, ia menyipitkan mata. Nyeri itu datang lagi. Mengejutkan seluruh tubuhnya. Ia bergetar. Hebat. Ia mengigit bibir lagi. Ia menahan serangan dahsyat itu. Tuhan Maha Baik. Orang-orang itu datang lagi. Menjelma obat. Menjelma harapan-harapan. Cemara. Mirna. Kun. Lumbung. MJ (Mak Jah). Dan masih banyak lagi. Wajah-wajah itu berseri. Menyemangati. Hidup harus terus berlanjut. Gairah itu harus tetap menyala. 

 

Aven sadar. Ia tidak tahu Cemara. Tapi ia yakin. Cemara dikirim semesta untuknya. Menjinakkan monster itu. Seperti Mirna. Lalu, tubuhnya menjadi hangat. Keringat dingin mulai mengering. Lagi, Aven tidak jadi mati. Sementara perempuan yang di sampingnya belum kembali. Masih bepergian jauh. Jauh sekali. Kedua matanya tetap mengatub rapat. Tidurnya saja cantik. Sungguh cantik. Aven kagum. Oh. Tuhan. Setelah Mirna, lalu Cemara. Lalu ia. Yang di sebelahku. Jangan. Jangan, Tuhan. Jangan Kau matikan aku dulu. Biar aku sampai di akhir episode ini dulu. Setelahnya, terserah.

 

Jombang-Kertosono bukanlah jarak yang jauh. Bus yang mereka tumpangi sekitar sepuluh menit lagi akan masuk ke wilayah kota kecil itu. Aven sengaja tidak berkabar. Biar menjadi kejutan. Seperti kejutan yang berwujud Mirna. Pasti, Lumbung akan sangat berniat membunuhku. Hahaha. Bangsat. Kenapa aku selalu menuduh manusia alim itu. 

 

Begini kira-kira: Lumbung, sahabatmu, sumber inspirasimu, datang berkunjung. Terimalah aku sebagai mahkluk hidup. Jangan kamu samakan aku dengan rumput laut. Eh. 

 

Aven membangunkan Lalang. Yang masih pulas dan cantik. Silakan bangun. Silakan membuka mata orang cantik. Lihat, deretan pohon itu. Mereka mendunduk mengaturkan senyum dan kagum. Lihat, bagaimana mereka begitu sangat mencemburuiku. Cepat. Lambaikan tangan untuk mereka. jangan kamu biarkan mereka menabung dendam. Jangan sampai. Mengerikan.

 

Bus perlahan mulai menghentikan rodanya yang besar-besar. Dua manusia itu segera turun. Lalang selalu dipersilakan lebih dulu. Dengan tenang, Lalang menjatuhkan kaki kirinya dan disusul oleh kaki kanannya. 

 

Kondektur bus bilang, mendahulukan kaki kiri adalah cara terbaik untuk mempertahankan keseimbangan. Tubuh tidak akan terhuyung. Akan mendarat dengan aman. Tepat dan selamat. 

 

Tetiba saja, Perempuan itu tersenyum. Indah sekali. Ada apa? Doktrin semua harus kanan, tidak berlaku. Hahaha. Aven terbahak. 

 

Lalang menepi ke pinggir jalan. Lalu duduk di halte tempat pemberhentian bus. Aven menyusul dengan cepat. Duduk di sampingnya. Berjarak sehasta.

 

"Kita sudah sampai?" tanya Lalang sambil mengibas-ngibaskan tangan. Kertosono tidak seperti Malang. Dingin. Sejuk di mana-mana. Memenuhi setiap sudut kota.

 

"Iya!"

 

"Mana rumahnya?"

 

"Aku telepon dulu. Semoga ia di rumah!"

 

"Oh. Ia belum tahu tentang kedatangan kita?"

 

"Belum." Aven nyengir. Aven segera mencairkan suasana.

 

"Tenang saja. Ia bilang padaku. Sebulan yang lalu. Ia tidak keluar rumah," kata Aven meredam suasana.

 

"Semoga saja benar." Lalang meredup.

 

Telepon tersambung. Ada suara di ujung sana.

 

"Halo. Lumbung?"

 

"Benar. Ini siapa?"

 

"Cuk! Kon mbuak nomerku, yo?[2]"

 

"Sopo[3], ya?" ulang Lumbung dari seberang sana.

 

"Iki[4], Aven. Bisa jemput aku sekarang? Aku di halte dekat lampu merah perempatan. Aku sudah sangat lapar dan haus. Tolong selamatkan aku!" 

 

"Kampret, kon! Mesti ndadak?[5]" Suara Lumbung menyambar-nyambar. Aven cekikikan. Lalang tak berekspresi. Panas Kertosono mendiamkannya.

 

"Kalau tidak mendadak kamu tak akan mengumpatku. Cepat, aku lapar berat ini!" Aven dengan sadis menutup teleponnya. Hanya suara tuuuttttt yang terdengar dari ponsel Lumbung. 

 

"Aven, Aven, halo, halo, dasar kampret ...!" Lumbung melempar ponselnya ke kursi. Bergegas bersiap. Akan banyak kopi lagi. Ah. Menyenangkan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun