Di kaki Mahameru itu, Aven menggigil hebat. Ia pun lupa arah perputaran jam. Ia lupa semua hal. ia juga lupa tagihan kos di minggu depan. Semua yang ada menjadi serba gelap. Pedihnya, Aven lupa jika Kun itu manusia. Titisan Bung Karno. Pewaris sah tahta perjuangannya. Semua Menegang. Rimbun semak tak berhenti mengawasi mereka. Aven, Kun, bisa menjadi pengisi kengeriannya. Semak itu terus menunjukkan keinginannya untuk mengunyah dua manusia yang hampir-hampir rubuh karena hawa dingin yang berlebihan.Â
Beberapa menit terlewat. Aven membuka kedua matanya lagi. Yang gelap, menjadi terang. Kun dengan bibir yang tebal, setia berada di sampingnya. Ingatan yang terberai kembali utuh. Darahnya kembali mengalir dengan lancar. Ia juga ingat kembali tentang perputaran jarum jam, termasuk tagihan kos minggu depan.Â
Tubuhnya kembali hangat. Aven melihat Kun tersenyum aneh memandanginya. Kemudian menepuk bahu kanannya dengan ceria. Raut wajahnya berseri-seri. Ada titik kepuasan dari wajah Kun yang tertangkap oleh dua mata Aven. Tapi saat ia bertanya tentang apa yang terjadi dengannya, Kun tidak menjawab. Ia berlalu dari hadapannya dan memilih untuk merebus air.
 "Kamu tadi pingsan!" Suara itu meluncur dari mulut Kun dengan tiba-tiba. Aven baru sadar. Beberapa menit yang lalu ia tidak di tempat itu. Dinginnya Ranu Kumbolo memaksanya untuk hilang ingatan.
Aven telah kembali. Ia tak pernah tahu bagaimana caranya kembali. Hanya ada Kun bersamanya. Percuma tanya manusia itu. Gerutu Aven. Semua dibiarkan menggantung begitu saja. Dengan tuduhan, Kun telah memperkosanya. Tapi sesaat setalahnya, angel heart itu membuyarkan semua lamunannya.
"Liburan, Mas?" Ia bertanya lagi. Aroma tubuhnya menguasai semuanya.
"Aku mencari dukuh Paruk!" jawab Aven tanpa ekspresi. Perempuan itu tidak menanggapi lagi.
Suasana kembali bening lalu hening. Hanya suara bising bus yang terdengar di telinga mereka.Â
Ada jeda tercipta. Aven membuka mulutnya.
"Mbak, tadi dari mana?" tanyanya ragu. Tubuhnya tidak bisa diam. Bukan karena tarian bus di kelok-kelok jalan.
"Dari Malang!" jawabnya ramah.
"Naik dari daerah Pait?" tanya Aven lagi.
"Aku naik dari Malang, Landungsari. Salah bus. Tidak. Aku tidak salah bus. Aku yang minta turun di daerah situ," katanya menjelaskan. Ragu-ragu. Membingungkan.
"Kok, bisa?"Â
"Aku juga nggak paham. Tetiba saja aku ingin ke Jombang lalu ke Jogja. Awalnya aku naik bus jurusan Kediri."
"Jadi tambah lucu, ya?"
"Aku juga tidak mengerti!" tukasnya pendek. Aven tidak sanggup mengejarnya lagi.Â
Suasana kembali bening lalu hening. Tidak terdengar bising bus. Suaranya mendadak hilang saat tubuh reotnya menepi di Kandangan[1]. Jika tidak ada hambatan, setengah jam lagi mereka sampai di Jombang.Â
Â
"Aku Aven." Aven mengulurkan tangan kepada perempuan itu.Â
Â
"Aku Ilalang. Tapi panggil saja, Lalang!" Tangan dengan jemari lentik itu tidak berpindah dari pangkuan. Aven hanya bisa melempar senyum saat terjebak dalam suasana itu. Terima kasih! Ucapnya dalam hati.
Suasana kembali bening lalu hening. Suara bising bus kembali terdengar oleh telinga mereka. Bus kembali melaju dengan kencang. Tujuan selanjutnya adalah Jombang.Â
Di lain pihak, perempuan yang ternyata bernama Lalang itu semakin misterius. Aven tak berhenti mengunyah tebakan-tebakan tentangnya. Rahangnya hampir saja mengalami kram. Aven dibuat serba tidak nyaman. Sepanjang hidup. Baru itu, yang membuat ia merasa sedang tidak di bumi. Mirna dulu tidak begitu. Mirna datang dari kegelapan. Ia temukan sedang lemas di ambang pintu kontrakan mewahnya. Itu tidak sengaja. Bukan. Itu kesengajaan. Semesta pelakunya. Ya sudah. Mau berteman denganku? Tanya Mirna dulu. Jika kamu beneran manusia, ya aku mau. Jancuk. Jerit Mirna. Lalu mereka makan untuk kali pertama. Setelahnya, Mirna selalu menemui Aven. Tak peduli keadannya bagaimana. Mau sekarat. Napas putus-nyambung. Mirna nggak peduli. Kamu jangan mati dulu. Ini cerita terbaru tentang duda itu. Bangsat! Sumpah. Kalau aku mati, tak gigit lehermu. Sakarang saja bagaimana? Mumpung birahiku lagi tinggi. Â
"Nama yang bagus," kata Aven memecah keheningan.
"Bunda suka sekali dengan Ilalang. Bunda juga suka dengan Cemara. Ia adikku," jelasnya. Aven menelan ludah mendengar kalimat-kalimat yang tercipta dari gerak lidahnya. Suasana menjadi sedikit cair. Aven sadar. Ia tidak misterius. Aven wajib menganulir beberapa hal. Tentangnya. Tentang aromanya. Tidak perlu petak umpet lagi. Bahasa harus lugas, jelas. Bukan basa-basi. Ia nyata. Ia ada dan ia bisa berbicara lancar. Tidak terbata-bata. Tidak irit. Tidak mengedepankan image.Â
"Semua saudaramu tentang tumbuhan?" Aven tampak sangat penasaran. Antusias.
"Aku dan Cemara. Dua saja. Harusnya tiga. Itu dulu. Crysan Namanya. Adik kami meninggal saat balita."
"Maaf!"
"Tidak perlu. Sudah masa lalu. Tak ada satu foto pun tentangnya yang tersisa. Bunda membakar semuanya. Bunda sangat kehilangan," jelas Lalang dengan raut muka yang murung.
"Cemara di mana sekarang?" Lalang diam sejenak. Lalu dengan satu tarikan napas panjang, ia menjawab.
"Aku sedang mencarinya. Ia pergi dari rumah. Tidak pamit. Tidak meninggalkan jejak. Bunda sangat mencemaskannya."
"Emang, berapa umurnya saat ini?"
"Lebih dari dua puluh tahun."
"Ia sudah dewasa. kenapa khawatir?"
"Ia beda. Tidak sama dengan yang lain!" Lalang berseru. Jawabannya membuat Aven terpancing.
"Ia seperti apa? Apa yang membuatnya beda?"
"Rumit. Tidak mudah dijelaskan. Banyak yang tidak bisa menerimanya. Penjelasan tentangnya!"Â
"Bagaimana ia?" Aven seolah tidak peduli dengan seruan Lalang tentang kemisteriusan Cemara. Ia tidak ingin menyerah.
"Tidak masuk akal, unlogic," jawab Lalang tegas. Aven semakin menjadi-jadi.
"Aku ingin mengenalnya, jika saja bisa, dan tentu saja boleh," kata Aven memohon. Lalang tidak bisa menjelma tembok lagi. Ia berkenan, kali ini.
"Ia selalu bilang, Ia hidup di rumah kaca. Ia bosan. Jenuh." Suara Lalang terdengar berat. Terlihat ada sedikit keengganan membuka cerita tentang Cemara. Tapi ia harus bercerita. Bara api tidak bisa disimpan terus di dada.
"Rumah kaca? Saling memantulkan bayang?" tanya Aven terkejut. Suaranya sedikit keras. Lalang memakluminya. Ia lanjut bercerita.Â
"Bunda sangat takut jika terjadi sesuatu dengannya. Ia ada di mana sekarang, huft." Suara Lalang kini terdengar halus. Beberapa bulir air mata menetes di wajahnya. Aven terseret dalam situasi itu. Ia mencoba menetralkan keadaan. Aven ingin menghiburnya. Biar semua baik-baik saja. Tidak kecemasan. Tidak ada kesedihan.Â
"Tuhan punya rahasia untuknya. Ia pasti menjaga Cemara."
"Aku juga berharap begitu. Aku tidak bisa bohong. Aku sangat rindu dengannya, meski kami tidak pernah sefrekuensi."
"Cemara akan baik-baik saja. Yakin sekali!"Â
Dorongan untuk bertanya lebih dalam tentang Cemara terus muncul dari hati Aven. Menggelinding tanpa bisa ditahan. Tapi bibirnya terlanjur kelu. Raut wajah Lalang yang lelah membuatnya mengurungkan niat. Suasana kembali bening lalu hening. Hanya suara bising bus yang terdengar.
Ada jeda tercipta lagi. Aven tenggelam lagi dalam dimensi yang tidak mungkin dipahami oleh siapa pun kecuali dirinya sendiri. Tapi itu bukan tentang Kun. Dimensi itu membincangkan satu nama yang baru saja datang. Ia adalah Cemara. Puzzle yang lain lagi. Bukan Mirna yang sinting. Gila. Nekat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H