"Aku Ilalang. Tapi panggil saja, Lalang!" Tangan dengan jemari lentik itu tidak berpindah dari pangkuan. Aven hanya bisa melempar senyum saat terjebak dalam suasana itu. Terima kasih! Ucapnya dalam hati.
Suasana kembali bening lalu hening. Suara bising bus kembali terdengar oleh telinga mereka. Bus kembali melaju dengan kencang. Tujuan selanjutnya adalah Jombang.Â
Di lain pihak, perempuan yang ternyata bernama Lalang itu semakin misterius. Aven tak berhenti mengunyah tebakan-tebakan tentangnya. Rahangnya hampir saja mengalami kram. Aven dibuat serba tidak nyaman. Sepanjang hidup. Baru itu, yang membuat ia merasa sedang tidak di bumi. Mirna dulu tidak begitu. Mirna datang dari kegelapan. Ia temukan sedang lemas di ambang pintu kontrakan mewahnya. Itu tidak sengaja. Bukan. Itu kesengajaan. Semesta pelakunya. Ya sudah. Mau berteman denganku? Tanya Mirna dulu. Jika kamu beneran manusia, ya aku mau. Jancuk. Jerit Mirna. Lalu mereka makan untuk kali pertama. Setelahnya, Mirna selalu menemui Aven. Tak peduli keadannya bagaimana. Mau sekarat. Napas putus-nyambung. Mirna nggak peduli. Kamu jangan mati dulu. Ini cerita terbaru tentang duda itu. Bangsat! Sumpah. Kalau aku mati, tak gigit lehermu. Sakarang saja bagaimana? Mumpung birahiku lagi tinggi. Â
"Nama yang bagus," kata Aven memecah keheningan.
"Bunda suka sekali dengan Ilalang. Bunda juga suka dengan Cemara. Ia adikku," jelasnya. Aven menelan ludah mendengar kalimat-kalimat yang tercipta dari gerak lidahnya. Suasana menjadi sedikit cair. Aven sadar. Ia tidak misterius. Aven wajib menganulir beberapa hal. Tentangnya. Tentang aromanya. Tidak perlu petak umpet lagi. Bahasa harus lugas, jelas. Bukan basa-basi. Ia nyata. Ia ada dan ia bisa berbicara lancar. Tidak terbata-bata. Tidak irit. Tidak mengedepankan image.Â
"Semua saudaramu tentang tumbuhan?" Aven tampak sangat penasaran. Antusias.
"Aku dan Cemara. Dua saja. Harusnya tiga. Itu dulu. Crysan Namanya. Adik kami meninggal saat balita."
"Maaf!"
"Tidak perlu. Sudah masa lalu. Tak ada satu foto pun tentangnya yang tersisa. Bunda membakar semuanya. Bunda sangat kehilangan," jelas Lalang dengan raut muka yang murung.
"Cemara di mana sekarang?" Lalang diam sejenak. Lalu dengan satu tarikan napas panjang, ia menjawab.
"Aku sedang mencarinya. Ia pergi dari rumah. Tidak pamit. Tidak meninggalkan jejak. Bunda sangat mencemaskannya."