"Bunda sangat takut jika terjadi sesuatu dengannya. Ia ada di mana sekarang, huft." Suara Lalang kini terdengar halus. Beberapa bulir air mata menetes di wajahnya. Aven terseret dalam situasi itu. Ia mencoba menetralkan keadaan. Aven ingin menghiburnya. Biar semua baik-baik saja. Tidak kecemasan. Tidak ada kesedihan.Â
"Tuhan punya rahasia untuknya. Ia pasti menjaga Cemara."
"Aku juga berharap begitu. Aku tidak bisa bohong. Aku sangat rindu dengannya, meski kami tidak pernah sefrekuensi."
"Cemara akan baik-baik saja. Yakin sekali!"Â
Dorongan untuk bertanya lebih dalam tentang Cemara terus muncul dari hati Aven. Menggelinding tanpa bisa ditahan. Tapi bibirnya terlanjur kelu. Raut wajah Lalang yang lelah membuatnya mengurungkan niat. Suasana kembali bening lalu hening. Hanya suara bising bus yang terdengar.
Ada jeda tercipta lagi. Aven tenggelam lagi dalam dimensi yang tidak mungkin dipahami oleh siapa pun kecuali dirinya sendiri. Tapi itu bukan tentang Kun. Dimensi itu membincangkan satu nama yang baru saja datang. Ia adalah Cemara. Puzzle yang lain lagi. Bukan Mirna yang sinting. Gila. Nekat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI