Umumnya dunia Arab memilki fragmentasi yang sangat tinggi terutama, apabila dilihat dari keinginan masing-masing pemimpin negara itu untuk menjadi patron yang lain. Karena usaha-usahanya untuk menjadi negara pusat dan diakui kepemimpinannya ditingkat regional menjadi isu yang sangat sensitif. Mesir, Arab Saudi, Suriah, dan Iraq (sebelum invansi ke-Iraq).Â
Adalah negara-negara besar yang berusaha untuk memegang kepemimpiann regional di Timur Tengah. Mengingat sulitnya usaha-usaha untuk menyatukan diri dalam membentuk kepentingan bersama di dunia Arab maka kemudian masing-masing negara lebih memilih untuk membangun kerja sama individu dengan negara-negara Barat. Setelah hancurnya kekuatan Uni Soviet, Amerika Serikat kemudian menjadi satu-satunya negara yang mampu menarik perhatian para pemimpin dunia Arab.
Kerja sama yang erat antara Amerika Serikat dan para pemimpin Arab di satu sisi dapat dijadikan sebagai upaya untuk saling melindunggi kepentingan satu sama lain. Amerika Serikat bersedia menjamin keberlansungan para rezim Arab dari musuh-musuh politiknya, semetara pra rezim berusaha menjamin kepentingan minyak di Timur Tengah.Â
Hubungan Amerika Serikat dengan negara-negara pemimpin Timur Tengah semakin melunakkan sikap mereka terhadap Israel dan selalu akomodatif dan kooperatif dengan kepentingan-kepentingan politik dan bisnis Amerika Serikat di dunia Arab.
Dalam sisi persoalan yang berbeda dari ketidakmampuan negara-negara Arab mewujudkan kesatuan yang solid dan kuat adalah adanya kenyataan bahwa di antara mereka sendiri tidak memiliki jaringan ekonomi regional yang kokoh. Integrasi ekonomi regional sangat rendah bahkan perdagangan dan investasi yang terjadi antara negara-negara Arab sendiri kurang lebih 5 persen dan selebihnya dengan dunia barat.
Para pelaku bisnis Timur Tengah yang sebagian besar berasal dari keluarga elit penguasa lebih suka melakukan kegiatan dengan negara-negara industri di Eropa dan Amerika Serikat daripada mengembangkan kerja sama ekonomi regional. Faktanya Timur Tengah memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap teknologi-teknologi Barat.Â
Dan ketidakstabilan politik dan ekonomi di Timur Tengah dan kuatnya pengaruh pemerintah dalam menentukan kebijakan ekonomi juga mempengaruhi keengganan para pengusaha Arab mengembangkan kerja sama ekonomi regional.
Terakhir dalam konteks legitimasi kekuasaan, di antara persoalan internal dunia Arab yang dapat mengahambat persatuan antara mereka adalah rapuhnya legitimasi politik yang dimiliki oleh para rezim penguasa.
Sebagian besar pemimpin negara-negara Arab mempunyai potensi besar untuk mengalami ketidakstabilan politik karena bentuk politik yang represif. Para rezim umunya tampil sebagai pemimpin-pemimpin besar yang memiliki kekuasaan tidak terbatas dalam membungkam suara publik.
Bagi negara-negara yang kaya dengan minyak dan dapat memberikan insentif besar secara ekonomi pada rakyatnya, ketidakstabilan politik relatif bisa diatasi. Kelompok ini diwakili oleh Arab Saudi dan sebagian besar negara-negara teluk, seperti Bahrain, Kuwait, Qatar, Oman, dan Emirat Arab.
Sementara negara-negara Timur Tengah yang tak memiliki kekayaan minyak seperti, Lebanon, Suriah, Mesir, dan Yordania potensi ketidakpuasaan rakyat menjadi lebih besar.Â