Mohon tunggu...
Ahyarros
Ahyarros Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger | Editor book | Pegiat literasi dan Perdamaian |

Blogger | Editor book | Pegiat literasi dan Perdamaian |

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Keegoisan para Pemimpin Arab dan Solusi Indonesia untuk Palestina

20 Mei 2021   11:39 Diperbarui: 21 Mei 2021   10:09 1683
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suara publik di Indonesia menolak segala bentuk penjajahan hendaknya dapat disuarakan selantang-lantangnya dalam kebijakan politik luar negeri yang mendukung kemerdekaan atas Palestina (Shutterstock via KOMPAS.com)

Di antara bangsa-bangsa yang ada di dunia, Palestina adalah salah satu bangsa yang paling lama mengalami penjajahan. Puncak dari penderitaan bangsa Palestina bermula dari jatuhnya Jerusalem ke Israel pada, 10 Juni 1967. Proses jatuhnya sangat stragis. Jerusalem yang pada waktu itu menjadi wilayah negara Yordania dalam tengang waktu enam hari dikuasai Israel. 

Tentara-tentara yang dalam gabungan negara-negara Arab, yang dimotori oleh Mesir, Suriah, dan Yordania tak mampu menahan serangan darat dan udara Israel yang dipersenjatai peralatan tempur modern.

Hari-hari ini, kita menyaksikan tentara Israel menggenjarkan serangan militer ke Palestina. Kekerasan ini merenggut nyawa 221 warga Palestina dijalur Gaza.

Setelah itu pemimpin-pemimpin Arab berusaha kembali membangkitkan semangat merebut wilayah Palestina dari kekuasaan Israel, yang didukung oleh Amerika Serikat.

Hanya saja, semangat itu pada akhir meluntur, setelah wilayah-wilayah yang dicaplok Israel dikembalikan ke negara-negara bersangkutan dengan catatan, mereka mengakui keabsahan Israel sebagai negara di Timur Tengah. 

Sejak itu, satu persatu negara-negara Arab mulai menelantarkan urusan Palestina dan tak menghiraukan urusan Palestina dan lebih berkonsenterasi dengan urusan nasional, Mesir, Arab Saudi, Tunisa, Suriah, dan Yordania tidak mau mengorbankan hubungan baik dengan Negeri Paman Sam ketimbang mengurusi masalah Palestina.

Bahkan para pengunsi di perbatasan Mesir dan Jordania yang sering melakukan perlawanan dan protes terhadap Israel diusir karena dianggap menimbulkan persoalan dalam negeri mereka. Yang tersisa hanya para pengunsi Lebanon yang mendapat dukungan kelompok Hizbullah yang pro Iran. Negara-negara yang bersuara lantang menantang Israel seperti, Iraq, Iran, dan Libya mendapatkan ancaman sekaligus menjadi korban invansi dari Amerika Serikat.

Diplomasi Amerika Serikat di Timur Tengah selalu dibarenggi dengan politik menekan dan menghukum berhasil menjauhkan Palestina dari agenda negara-negara pemimpin Arab. Pendekatan politik perang yang digunakan Amerika Serikat mampu menakutkan negara-negara pemimpin Arab yang menentang Israel dan keterlibatan Amerika Serikat di Timur Tengah. Kapal-kapal Amerika Serikat disiagakan di perairan Teluk Arab dan siap bergerak mendekati wilayah-wilayah Arab untuk mempengaruhi politik dalam negeri di Timur Tengah.

Akibatnya, isu Palestina pun hanya sebatas menjadi isu solidaritas umat yang disuarakan oleh pemimpin agama dan masyarakat umum, tapi sepi ditingkat kebijakan pemerintah.

Persatuan dan kekuatan negara-negara Arab diharapkan mampu mendorong penyelesaian sengketa di Palestina ibarat jauh dari panggang api lantaran dunia Arab sendiri menghadapi persoalan internal dan ketergantungan luar biasa terhadap kekuatan asing, yakni Amerika Serikat dan Eropa.

Hegemoni AS, ekonomi dan legistimasi kekuasaan

Umumnya dunia Arab memilki fragmentasi yang sangat tinggi terutama, apabila dilihat dari keinginan masing-masing pemimpin negara itu untuk menjadi patron yang lain. Karena usaha-usahanya untuk menjadi negara pusat dan diakui kepemimpinannya ditingkat regional menjadi isu yang sangat sensitif. Mesir, Arab Saudi, Suriah, dan Iraq (sebelum invansi ke-Iraq). 

Adalah negara-negara besar yang berusaha untuk memegang kepemimpiann regional di Timur Tengah. Mengingat sulitnya usaha-usaha untuk menyatukan diri dalam membentuk kepentingan bersama di dunia Arab maka kemudian masing-masing negara lebih memilih untuk membangun kerja sama individu dengan negara-negara Barat. Setelah hancurnya kekuatan Uni Soviet, Amerika Serikat kemudian menjadi satu-satunya negara yang mampu menarik perhatian para pemimpin dunia Arab.

Kerja sama yang erat antara Amerika Serikat dan para pemimpin Arab di satu sisi dapat dijadikan sebagai upaya untuk saling melindunggi kepentingan satu sama lain. Amerika Serikat bersedia menjamin keberlansungan para rezim Arab dari musuh-musuh politiknya, semetara pra rezim berusaha menjamin kepentingan minyak di Timur Tengah. 

Hubungan Amerika Serikat dengan negara-negara pemimpin Timur Tengah semakin melunakkan sikap mereka terhadap Israel dan selalu akomodatif dan kooperatif dengan kepentingan-kepentingan politik dan bisnis Amerika Serikat di dunia Arab.

Dalam sisi persoalan yang berbeda dari ketidakmampuan negara-negara Arab mewujudkan kesatuan yang solid dan kuat adalah adanya kenyataan bahwa di antara mereka sendiri tidak memiliki jaringan ekonomi regional yang kokoh. Integrasi ekonomi regional sangat rendah bahkan perdagangan dan investasi yang terjadi antara negara-negara Arab sendiri kurang lebih 5 persen dan selebihnya dengan dunia barat.

Para pelaku bisnis Timur Tengah yang sebagian besar berasal dari keluarga elit penguasa lebih suka melakukan kegiatan dengan negara-negara industri di Eropa dan Amerika Serikat daripada mengembangkan kerja sama ekonomi regional. Faktanya Timur Tengah memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap teknologi-teknologi Barat. 

Dan ketidakstabilan politik dan ekonomi di Timur Tengah dan kuatnya pengaruh pemerintah dalam menentukan kebijakan ekonomi juga mempengaruhi keengganan para pengusaha Arab mengembangkan kerja sama ekonomi regional.

Terakhir dalam konteks legitimasi kekuasaan, di antara persoalan internal dunia Arab yang dapat mengahambat persatuan antara mereka adalah rapuhnya legitimasi politik yang dimiliki oleh para rezim penguasa.

Sebagian besar pemimpin negara-negara Arab mempunyai potensi besar untuk mengalami ketidakstabilan politik karena bentuk politik yang represif. Para rezim umunya tampil sebagai pemimpin-pemimpin besar yang memiliki kekuasaan tidak terbatas dalam membungkam suara publik.

Bagi negara-negara yang kaya dengan minyak dan dapat memberikan insentif besar secara ekonomi pada rakyatnya, ketidakstabilan politik relatif bisa diatasi. Kelompok ini diwakili oleh Arab Saudi dan sebagian besar negara-negara teluk, seperti Bahrain, Kuwait, Qatar, Oman, dan Emirat Arab.

Sementara negara-negara Timur Tengah yang tak memiliki kekayaan minyak seperti, Lebanon, Suriah, Mesir, dan Yordania potensi ketidakpuasaan rakyat menjadi lebih besar. 

Merupakan hal yang wajar, jika masing-masing negeri Arab berusaha untuk tampil sebagai pemimpin dan tidak mau kedudukan istimewanya tereduksi oleh para penguasa di dunia Arab lainnya. Hingga masing-masing negara pada akhirnya lebih memilih memikirkan keberlansungan kekuasaan masing-masing daripada harus menyatukan diri dalam satu entitas.

Indonesia dan solusi atas Palestina 

Indoensia sebagai negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia, sebenarnya sangat memiliki fungsi yang sangat strategis. Indonesia dipandang memiliki pemikiran Islam moderat yang diharapkan mampu menjembatani konflik yang berkepanjangan di Timur Tengah. Maka dibutukan keberanian dan langkah yang sungguh-sungguh bagi Indonesia untuk memasuki era baru dalam penyelesaian konflik yang ada.

Konstelasi politik internasional yang dikuasai oleh Amerika Serikat dan melemahnya para rezim di Timur Tengah terhadap kemerdekaan Palestina hendaknya tak menjadi pertimbangan utama pemerintah Indonesia dalam menentukan langkah-langkah strategis guna membantu penyelesaian persoalan di Palestina. Sekiranya pemerintah Indonesia tetap berpegang pada semangat politik bebas aktif dengan mengedepankan penghormatan pada hak-hak satu bangsa untuk menetukan nasibnya sendiri.

Karenanya tekanan dari Amerika Serikat apa pun bentuknya harus dapat dilawan agar penyelesaian Palestina tak sekedar mengikuti permainan politik Israel dan Amerika Serikat yang pada akhirnya merugikan kepentingan bangsa Palestina.

Suara publik di Indonesia menolak segala bentuk penjajahan hendaknya dapat disuarakan selantang-lantangnya dalam kebijakan politik luar negeri yang mendukung kemerdekaan atas Palestina.

Langkah yang diambil pemerintah Indonesia saat ini, dengan tetap konsisten pada tidak melakukan normaslisasi hubungan diplomastik dengan Israel, patut diajung jempol. Dan langkah ini harus tetap dipertahankan sampai Palestina mendapatkan hak kemerdekaanya sebagai negara yang berdaulat.

***

Ahyar Rosyidi

S2 Hubungan Internasional, Universitas Paramadina Jakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun