Mohon tunggu...
Zakki Ardli Ahsani
Zakki Ardli Ahsani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

-

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Gerbong Kereta KPK: Dari Firli Sampai Pegawai Negeri

10 Februari 2024   19:35 Diperbarui: 10 Februari 2024   19:35 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kembali pada pembahasan awal, bahwa dengan adanya praktik pungutan liar ini menjadi pukulan keras penegakan korupsi di Indonesia. Pada gilirannya, KPK memiliki pekerjaan rumah berupa penertiban etika-etika pegawainya yang kian hari kian pudar.

Bagaimana mungkin seseorang penegak hukum bekerja tanpa adanya etika didalam kepribadiannya, mestinya hal itu akan membuat semakin chaosnya KPK di masa yang akan datang. Pun sebelum jauh di masa yang akan datang, minusnya etika pegawai KPK telah terpampang nyata di masa kini.            

Bahwa kerangka dasar perbuatan pemerasan dan pungutan liar yang telah dilakukan oleh pegawai KPK pada prisnipnya dapat dituntut secara pidana. Hal ini sangatlah rasional ketika perbuatan melawan hukum yang terjadi secara massif di Rutan KPK tumbuh subur sejak kepemimpinan Ketum Firli Bahuri.

Pengaruh budaya kerja di KPK yang sedikit banyak dipengaruhi oleh penyidiknya yang berasal dari korp bhayangkara dan ahdyaksa, membuat lembaga KPK menjadi sistem semi komando dimana pasti terdapat pucuk-pucuk tertinggi dalam setiap sub penugasan.

Dengan adanya sistem itu, maka kasus pungutan liar yang telah terjadi di Rutan KPK seharusnya dapat dituntut secara keseluruhan. Namun sampai tulisan ini dibuat, KPK masih mengupayakan adanya sidang etik terhadap puluhan pegawainya. Dari sidang etika tersebut, dapat ditarik beberapa orang yang tergolong aktor intelektual dari kasus ini sehingga dapat diteruskan di jalur hukum pidana melalui penuntutan.

Pada sisi pengawasan, alih status menjadi pegawai negeri merupakan langkah yang kurang tepat. Hal ini dipengaruhi oleh conflict of interest yang selalu terjadi apabila lembaga ini disunat kewibawaannya menjadi lembaga dependen.

Namun sekarang, konfrontasi cicak buaya sangat logis apabila dijadikan analogi di tubuh KPK. Satu kasus yang dialami ketua KPK telah mulai diusut oleh buaya. Posisi yang sekarang, Buaya unggul 1-0 atas cicak.

Pada akhirnya, kejadian ini akan membuat enigma tentang bagaimana sebenarnya kultur yang selalu diterapkan di tubuh KPK? Apakah KPK masih dapat dipertahankan menjadi lembaga penegak hukum yang paling suci? Apakah KPK masih bisa diandalkan dalam memberantas korupsi, di tengah fakta korp bhayangkara yang malah bisa menangkap ketua KPK dan mulai menggiringnya ke penjara dalam kasus korupsi? Semoga Tuhan memberi petunjuk dan jalan yang terang menuju penegakan hukum yang benar-benar bersih dari korupsi, kolusi, dan Nepotisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun