Mohon tunggu...
Ahonk bae
Ahonk bae Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis Untuk Perdaban

Membaca, Bertanya & Menulis

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Pilkades dan Dukun: Integral Paling Legal

16 Februari 2021   08:28 Diperbarui: 16 Februari 2021   08:44 664
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi budaya 'curnis' saat pilkades berlangsung (Dokumentasi Pribadi)

Pada konstelasi pilkades yang lumrah seperti pada umumnya, adalah berbicara mengenai politik desa secara real tanpa embel-embel lainnya. Namun acap kali hal yang secara umum di pandang sebagai ajang politik yang rasional seringkali, bahkan mafhum, unsur supranatural bermain dalam kancah 'pesta' tersebut. Tiada lain dan tiada bukan tujuannya ialah mencari konstituen.  

Desa sebagaimana di imajinasikan juga tidak luput dari hal magis, seperti penggunaan kata dukun dan orang pintar yang sudah akrab di telinga yang mengindikasikan bahwa itu sudah sebegitu familiar dengan masyarakat desa, terlepas dari soal apakah yang di gunakannya itu ilmu hitam atau putih yang di gunakan dalam setiap 'aksinya', alih-alih menggunakan eufimisme 'penasehat spiritual' maka dukun tetaplah dukun.

Lalu dalam momen-momen tertentu jasa dukun juga digunakan, sering bahkan meningkat levelnya pada sebuah keharusan menggunakan jasa 'orang pintar' tersebut. Sebagaimana dalam pilkades yang begitu lazim dengan kata dukun, seperti satu kesatuan yang terintegrasi.

Bias terjadi ketika para calon kepala desa di rumahnya mengadakan pengajian al-qur'an secara rutin, setiap malam, namun di tempat lain ia juga menggunakan jasa dukun yang, tidak sedikit masyarakat menolak akan ajaran perdukunan tersebut. Pada momen pilkades yang sudah mengakar bahkan menjadi semacam tradisi. 

Dalam praktiknya para dukun yang di sewa dari masing-masing calon duduk di depan sesaji, dupa, dan api di kantor desa (Baca; balai desa). Seperti halnya yang terjadi di Cirebon pada tahun-tahun sebelumnya dan sempat ramai di jagat maya, bahwa ritual tersebut oleh masyarakat setempat di namakan Kiat Damar. 

Dalam ritual Damar, semua calon kuwu membakar kemenyan lengkap dengan sesajen yang disediakan di suatu ruangan. Kemudian calon kuwu juga biasanya memiliki klien dukun pilihan sendiri untuk menggelar ritual tersebut. Ritual tersebut dilakukan tiap malam sebelum pemilihan.

Pada kilasan sejarahnya, pemilihan kuwu seperti yang disampaikan Nurdin M Noor. Kuwu dalam sebuah wawancara, kuwu dalam muatan terminologinya berasal dari kata yang di ambil dari bahasa Sansekerta dengan padanan kata dari Cakradara, berarti 'penguasa selevel adipati'. Seperti Akuwu Tunggul Ametung di Singosari. 

Pada proses pemilihan kepala desa kali pertamanya di Cirebon dimulai sejak tahun 1604M dengan metode pemilihan One Man One Vote. Kemudian jika dikomparasikan dengan pemilihan Presiden Amerika Serikat yang terjadi pada 1774M dengan dipilih langsung oleh lembaga pemilihan umum, maka demokrasi paling awal melalui pemilihan kuwu di Cirebon telah mencuri strat dari negara Paman Sam tersebut. Sehingga rata-rata para kuwu berkuasa selama belasan tahun, dan dipilih berdasarkan ilmu, akhlak, dan tanggung jawabnya. 

Pemilihan kuwu sebelum Belanda berkuasa diserahkan kepada masyarakat dan mendapat restu dari Sultan. Pada masa itu kotak suara pada masa pemilihan kuwu waktu itu berupa bumbung bambu. 

Setiap pemilih mendapat sebuah koin atau biting kayu yang dimasukkan ke dalam bumbung kuwu yang mengikuti pemilihan. Calon kuwu dibungkus dengan kain berwarna tertentu sebagai lambang kuwu pilihannya. 

Saat Belanda berkuasa penuh, harus mendapat restu Belanda. Kemudian Nurdin berseloroh "Pada akhir abad 19 atau awal abad 20 kemungkinan kuwu mulai dipilih secara langsung, bebas, dan rahasia oleh masyarakat di kotak suara. Untuk kuwu yang sudah tidak menjabat disebut kuwu manten, berdasarkan kaidah bahasa Sunda." 

Dalam sebuah mitologi yang sarat akan kebudayaan yang beredar, dalam masa pemilihan kuwu juga dukun menjadi tak lepas mewarnai sebuah perhelatan kebudayaan dalam demokrasi di desa. 

Seperti sebuah ritual yang harus dilakukan, sebuah jimat elektabilitas, jampi-jampi, pengasian serta laku lainnya yang harus di jalani oleh para calon kuwu tersebut. 

Dengan menjalin sebuah hubungan dengan klien tersebut para calon kuwu setidaknya bisa menjadi barometer analisa sekaligus sebuah metode penggiringan massa. Lebih menyakitkann adalah bias attitude tersebut, entah bagaimana penggabungan dua keyakinan tersebut kedepannya jika, si calon tersebut nantinya terpilih dengan cara seperti yang dikatakan Tan Malaka dalam Madilog-nya adalah 'Logika Mistik' atau diartikan dengan berkeyakinan ganda.

Berbicara konstituen jelas, pada hari ini pemilih adalah mereka yang sudah melek dengan perjalanan demokrasi yang 'itu-itu aja' maka para konstituen hanya mengambil apa yang diberikan para calon pada masa kampanye tanpa memimilihnya di bilik suara. 

Akantetapi dalam sebuah pembicaraan dengan orang yang mengaku sebagai klien dari calon kuwu tersebut. Sang dukun mengeksplorasikan soal pemindahan nama calon yang sudah ada di dalam kotak suara ke kotak suara milik klien-nya itu. Ajaib memang!.

Seperti halnya jobdes dukun dengan spesialisasi memberi jasa 'mengawal' politisi saat pemilu. Biasanya ia diminta untuk memberi hiasan dan 'memagari' kandidat dan keluarganya dari santet dan gangguan lawan-lawan politiknya dalam pemilu. Seperti lumrahnya dibanyak tempat, peran dukun sudah sampai tingkat TPS. Malam hari sebelum TPS digunakan, dukun mengelilingi TPS dan menabur beras kuning, garam, dan lain-lain. 

Hingga dalam satu waktu pernah juga terjadi hal yang tergolong unik, pasalnya dukun milik lawan menabur garam dalam lingkungan TPS dan sontak asap seketika muncul pada garis TPS tersebut, dan katanya "ini menandakan ada yang bermain di sini," oleh karenanya para dukun, seperti halnya yang di paparkan di atas, adalah juga sebentuk alat untuk kekuasaan milik para calon kuwu, bukan hanya itu, dalam sebuah podcast di katakan bahwa para petinggi negara pun melakukan hal yang sama, dukun is everything.

Peta politik desa menjadi rumit lebih-lebih saat emosional mulai tersulut. Lembaga yang dibentuk untuk survey serta dukun bersatu, seakan tak bisa dikalahkan. Lembaga survey mengukur popularitas, elektabilitas partai dan calon, sedangkan dukun mengintip pulung, menyiapkan benda pusaka, hingga merumuskan mantera. 

Dalam kinerjanya lembaga survey bertugas meningkatkan elektabilitas, dukun meningkatkan karisma dan pamor. Lembaga survey memetakan kebiasaan pemilik suara, dukun memetakan siapa lawan siapa kawan. 

Seperti halnya yang dikatakan psikolog RS St Elisabeth. Kemudian Probowati Tjondronegoro MSi menyebutkan dukun mengambil tugas yang tak ditangani lembaga survey. "Hasil survey diumumkan terbuka dimaksudkan agar citra menguat. Tapi dukun akan bekerja diam-diam agar manteranya bertuah." Pada saat genting atau mendekati waktu pemilihan, maka 'adu kekuatan' para dukun sebagai ujian atas kesatian pada hal magisnya sesegera di buktikan, biasanya pada H-1 pecoblosan.

Dengan wilayah geografis yang kecil, desa, menjadikan kontestasi politik di dalamnya begitu kompleks dan sarat akan sebuah budaya yang mengkerdilkan demokrasi itu sendiri, meskipun dalam dunia politik tidak ada yang tidak mungkin. Dalam desa semuanya terkemas begitu mencolok, isue hingga hal subyektif pun tak terelakkan dari gunjingan. Dan pada ujungnya pendewasaan demokrasi di desa terus di kerdilkan meskipun aturan yang tertuang dalam peraturan telah disesuaikan dengan zaman namun pada praktiknya masih bisa dikatakan primitif.    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun