Terdapat pro dan kontra dari masyarakat terhadap keputusan pemerintah yang tetap menyelenggarakan pilkada serentak 9 Desember di tengah pandemi covid-19 yang masih melanda Indonesia, sebagian masyarakat menilai bahwa dengan diadakannya pilkada serentak akan memunculkan potensi meningkatnya penularan covid-19. Alasan ini sangat logis karena dalam proses pelaksanaannya akan banyak sekali mengundang kerumunan hal ini dikarenakan dalam pilkada para calon kepala daerah  harus melakukan sosialisasi atau kampenye kepada masyarakat.
Tidak hanya itu, kekhawatiran masyarakat terhadap terselenggaranya pilkada serentak di era pandemi ini didasarkan pada meningkatnya kasus covid-19 bukan hanya melanda masyarakat biasa, tetapi para bakal calon kepala daerah pun juga tertular virus covid-19 Â Dilansir dari (detik.com) sebanyak 60 bakal calon kepala daerah dinyatakan positif covid-19. Hal ini seakan menimbulkan pertanyaan besar bagaimana ingin melakukan kampanye jika bakal calon kepala daerahnya saja terkena covid-19 apakah ini akan bisa menjamin visi dan misi yang dibawa oleh bakal calon kepala daerah akan tersampaikan oleh masyarakat.
Masyarakat yang kontra terhadap  pelaksanaan pilkada serentak di era pandemi covid -- 19 juga beralasan bahwa pilkada serentak akan menimbulkan klaster baru, hal juga menimbulkan anggapan bahwa  seolah pemerintah tidak belajar dari kejadian yang ada dimana terdapat klaster covid baru di kementrian pemerintah seperti di Kementrian kesehatan bahkan kantor KPU yang menjadi Intitusi penyelenggara juga terdapat kasus positif covid-19.
Selain itu praktik kecurangan dalam pilkada serentak di era pandemi ini juga akan semakin rawan terjadi. Praktik pemberian uang kepada masyarakat akan sangat mungkin terjadi karena di tengah pandemi banyak masyarakat yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup hal ini dikarena banyak masyarakat yang di PHK ataupun masyarakat dikalangan pedagang UMKM yang mengalami penurunan penghasilan  di era pandemi ini.
Belum lagi bantuan sosial pemerintah yang dirasa belum cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sehari -- hari. Kondisi ini dapat dimanfaatkan oleh para calon kepala daerah untuk melakukan praktik kecurangan dalam pilkada dimana para calon memberikan hal yang mendesak yang dibutuhkan oleh masayarakat
Selain itu dilaksanakannya pilkada serentak di era pandemi ini dapat menurunkan partispasi masyarakat dalam memilih calon. Kemungkinan masyarakat enggan berpatisipasi karena besarnya potensi penularan. Partisipasi terbut  bukan hanya dalam proses pemilhan suara tetapi juga dalam proses kampanye.
Disisi lain masyarakat yang pro terhadap pelaksanaan pilkada serentak di era pandemi menganggap bahwa dengan memilih calon kepala daerah diharapkan bisa membawa perubahan yang signifikan terhadap perjuangan menghadapi covid -- 19, dengan adanya kepada daerah yang baru diharapkan dapat memunculkan kebijakan -- kebijakan yang inovatif yang bisa memutus rantai penyebaran covid
Pilkada Serentak dalam Persfektif Dramaturgi
Walaupun banyak terjadi pro dan kontra yang terjadi dimasyarakat, kontestasi pilkada di era pandemi tetap dilaksanakan hal ini sangat memungkinkan para calon kandidat untuk melakukan "drama" dalam melakukan praktik politiknya.
Drama tersebut sangat bisa dilakukan mengingat pandemi covid-19 terjadi sangat dinamis dan berpengaruh terhadap segala aspek dalam kehidupan, situasi dan kondisi ini sangat mungkin dimanfaatkan oleh para calon kandidat untuk membuat "panggung" drama politiknya sendiri guna membentuk citra diri yang baik didalam masyarakat.
Teori yang membahas mengenai hal tersebut adalah teori Dramaturgi Erving Goffman. Teori Dramaturgi merupakan sebuah teori yang menjelaskan bahwa didalam interaksi satu sama lain sama halnya dengan pertunjukkan sebuah drama. Dalam hal ini manusia merupakan aktor yang yang menampilkan segala sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu melalui drama yang dilakukannya. Identitas seorang aktor dalam berinteraksi dapat berubah, tergantung dengan siapa aktor berinteraksi