Oleh: Ahmad Zulha Fikri
(Mahasiswa Pendidikan Sosiologi FIS UNJ)
Tahun 2020 rasanya menjadi tahun yang sangat panjang dan akan terus diingat bagi siapapun individu yang hidup dan merasakan betapa beratnya melawati tahun tersebut. Â Â
Hal ini dikarenakan ditahun 2020 terdapat sebuah kejadian yang luar biasa, kejadian tersebut adalah adanya bencana non alam yang melanda negara -- negara seluruh dunia, bencana tersebut adalah pandemi Covid-19. Pandemi Covid -19 membuat segala aspek kehidupan yang ada di masyarakat terdampak, baik itu aspek kesehatan, ekonomi, sosial, budaya pendidikan bahkan politik.
Saat ini dilansir dari worldometers.info per (15/11/2020) tercatat sudah ada 54.118.326 kasus yang menyebar ke lebih dari 200 negara dengan total kematian 1.314.810  dan kesembuhan mencapai 37.714.106, Indonesia  sendiri menempatkan peringkat ke 4 di Asia dengan  463.007  kasus positif, 15.148 kematian dan 388.094 kesembuhan.
Berdasarkan fakta tersebut berbagai negara mulai memikirkan kebijakan-kebijakan yang akan diambil guna menekan adanya penyebaran covid-19 dan mengurangi angka kematian masyarakatnya. Jika tidak, tentu akan berdampak tidak hanya dalam aspek kesehatan masyarakat tapi juga dalam aspek lain seperti budaya, sosial-ekonomi, Â politik dan pendidikan.
Kebijakan yang diambil dalam mngatasi virus covid - 19 diantaranya Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB) yang diterapkan dibeberapa wilayah di Indonesia, penerapan pembelajaran jarak jauh diberbagai institusi pendidikan mulai dari tingkat sekolah dasar sampai ke perguruan tinggi, pemerintah juga melakukan kebijakan Work From Home (WFH) untuk sebagian para pekerja.Â
Sosiliasasi 3M memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarang juga gencar dilakukan oleh pemerintah. Yang terbaru, pemerintah sudah mulai menerapkan kebijakan New Normal untuk menghadapi pandemi dengan melonggarkan kebijakan PSBB, membuka tempat wisata  dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan yang ada.
Disamping dilakukannya berbagai kebijakan pemerintah dalam menangani covid-19, Â pemerintah juga disibukkan dengan persiapan pesta demokrasi yaitu pilkada serentak.Â
Komisi pemilihan umum yang menjadi Institusi yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan Pilkada serentak sudah mempersiapakan PKPU Nomor 5 Tahun 2020 Huruf C menegaskan bahwa, "Pelaksanaan pemungutan suara serentak yang ditunda karena terjadinya bencana non alam coronaviruus disease 2019 (Covid-19) dilaksanakan pada 9 Desember" yang dilaksanakan di 224 kabupaten dan 37 kota di Indonesia, awalnya pilkada dilakukan pada 23 Septermber 2020, Pelaksanaannya ditunda mengingat virus pandemi Covid -- 19 di Indonesia  belum ada tanda- tanda berakhir dan masih terus meningkat, vaksin juga belum ditemukan. Hal ini seakan memberi  kesan kepada masyarakat bahwa belum usai masalah kesehatan dan ekonomi yang terdampak akibat covid -- 19, sudah sibuk urusan politik.
Pro - Kontra Masyarakat Terhadap Pilkada Serentak Di era Pandemi
Terdapat pro dan kontra dari masyarakat terhadap keputusan pemerintah yang tetap menyelenggarakan pilkada serentak 9 Desember di tengah pandemi covid-19 yang masih melanda Indonesia, sebagian masyarakat menilai bahwa dengan diadakannya pilkada serentak akan memunculkan potensi meningkatnya penularan covid-19. Alasan ini sangat logis karena dalam proses pelaksanaannya akan banyak sekali mengundang kerumunan hal ini dikarenakan dalam pilkada para calon kepala daerah  harus melakukan sosialisasi atau kampenye kepada masyarakat.
Tidak hanya itu, kekhawatiran masyarakat terhadap terselenggaranya pilkada serentak di era pandemi ini didasarkan pada meningkatnya kasus covid-19 bukan hanya melanda masyarakat biasa, tetapi para bakal calon kepala daerah pun juga tertular virus covid-19 Â Dilansir dari (detik.com) sebanyak 60 bakal calon kepala daerah dinyatakan positif covid-19. Hal ini seakan menimbulkan pertanyaan besar bagaimana ingin melakukan kampanye jika bakal calon kepala daerahnya saja terkena covid-19 apakah ini akan bisa menjamin visi dan misi yang dibawa oleh bakal calon kepala daerah akan tersampaikan oleh masyarakat.
Masyarakat yang kontra terhadap  pelaksanaan pilkada serentak di era pandemi covid -- 19 juga beralasan bahwa pilkada serentak akan menimbulkan klaster baru, hal juga menimbulkan anggapan bahwa  seolah pemerintah tidak belajar dari kejadian yang ada dimana terdapat klaster covid baru di kementrian pemerintah seperti di Kementrian kesehatan bahkan kantor KPU yang menjadi Intitusi penyelenggara juga terdapat kasus positif covid-19.
Selain itu praktik kecurangan dalam pilkada serentak di era pandemi ini juga akan semakin rawan terjadi. Praktik pemberian uang kepada masyarakat akan sangat mungkin terjadi karena di tengah pandemi banyak masyarakat yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup hal ini dikarena banyak masyarakat yang di PHK ataupun masyarakat dikalangan pedagang UMKM yang mengalami penurunan penghasilan  di era pandemi ini.
Belum lagi bantuan sosial pemerintah yang dirasa belum cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sehari -- hari. Kondisi ini dapat dimanfaatkan oleh para calon kepala daerah untuk melakukan praktik kecurangan dalam pilkada dimana para calon memberikan hal yang mendesak yang dibutuhkan oleh masayarakat
Selain itu dilaksanakannya pilkada serentak di era pandemi ini dapat menurunkan partispasi masyarakat dalam memilih calon. Kemungkinan masyarakat enggan berpatisipasi karena besarnya potensi penularan. Partisipasi terbut  bukan hanya dalam proses pemilhan suara tetapi juga dalam proses kampanye.
Disisi lain masyarakat yang pro terhadap pelaksanaan pilkada serentak di era pandemi menganggap bahwa dengan memilih calon kepala daerah diharapkan bisa membawa perubahan yang signifikan terhadap perjuangan menghadapi covid -- 19, dengan adanya kepada daerah yang baru diharapkan dapat memunculkan kebijakan -- kebijakan yang inovatif yang bisa memutus rantai penyebaran covid
Pilkada Serentak dalam Persfektif Dramaturgi
Walaupun banyak terjadi pro dan kontra yang terjadi dimasyarakat, kontestasi pilkada di era pandemi tetap dilaksanakan hal ini sangat memungkinkan para calon kandidat untuk melakukan "drama" dalam melakukan praktik politiknya.
Drama tersebut sangat bisa dilakukan mengingat pandemi covid-19 terjadi sangat dinamis dan berpengaruh terhadap segala aspek dalam kehidupan, situasi dan kondisi ini sangat mungkin dimanfaatkan oleh para calon kandidat untuk membuat "panggung" drama politiknya sendiri guna membentuk citra diri yang baik didalam masyarakat.
Teori yang membahas mengenai hal tersebut adalah teori Dramaturgi Erving Goffman. Teori Dramaturgi merupakan sebuah teori yang menjelaskan bahwa didalam interaksi satu sama lain sama halnya dengan pertunjukkan sebuah drama. Dalam hal ini manusia merupakan aktor yang yang menampilkan segala sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu melalui drama yang dilakukannya. Identitas seorang aktor dalam berinteraksi dapat berubah, tergantung dengan siapa aktor berinteraksi
Terdapat dua konsep penting dalam Dramaturgi pertama adalah  Front Stage (panggung depan) bagian pertunjukkan yang berfungsi mendefinisikan situasi penyaksi pertunjukkan. Di dalam front stage, seorang aktor hanya menampilkan sisi -- sisi terbaiknya dan menginginkan sesuatu berjalan dengan lancar.
Ada dua hal yang ditekankan oleh Goffman dalam front stage yakni, setting dan personal front. Setting menunjukkan tata cara. Dalam konteks pilkada di era pandemi banyak sekali cara yang dilakukan untuk kampanye salah satunya adalah dengan melalui kampanye digital. Salah satu calon yang melakukan kampanye digital ini adalah pasangan calon Wali kota dan Wakil Wali kota Solo yang di usung oleh Partai PDIP, Gibran Rakabuming Raka dan Teguh Prakosa. Gibran memanfaatkan virtual box sebagai saran kampanye online. Hal ini memungkinkan Gibran untuk berekomunikasi jarak jauh dengan para masyaralat sehingga tidak  menimbulkan kerumunan.Â
Kemudian Front Personal dibagi menjadi dua, yaitu penampilan yang terdiri dari berbagai jenis barang yang mengenalkan status sosial aktor, dan Gaya mengenalkan peran macam apa yang dimainkan aktor dalam situasi tertentu. Dalam konteks Gibran  ia menampilkan penamilan  dan gaya yang sederhana di hadapan masyarakat walaupun beliau adalah anak dari Peresiden Joko Widodo
Kemudian konsep yang kedua adalah Back Stage (panggung belakang) yaitu ruang dimana berjalannya skenario pertunjukan oleh "tim" (masyarakat rahasia yang mengatur pementasan masing-masing aktor) atau dalam bahasa lain di back stage karakter aktor yang asli ditunjukan. Dalam konteks pilkada serentak di Era pandemi kita tidak pernah tau kondisi dari calon kandidat kepala daaerah seperti apa, bisa jadi ada yang menerapkan protokol kesehatan covid-19 jika hanya sedang berkampanye saja untuk pencitraan dan ingin menunjukkan bahwa dirinya peduli terhadap kesehatan masyarakat padahal sifat aslinya mungkin tidak seperti itu.
ReferensiÂ
Fitri, A. (2015). Dramaturgi: Pencitraan Prabowo Subianto di Media Sosial Twitter Menjelang Pemilihan Presiden 2014. Interaksi: Jurnal Ilmu Komunikasi, 4(1), 101-108.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H