Di kondisi seperti ini perempuan menjadi lengah dan terancam. Tak aneh bila perempuan menjadi korban, terutama korban perasaan.
"Maaf bila membuatmu sakit. Mulai saat ini panggil saja Dio" ucapnya.Â
Aku hanya mengangguk-angguk dan memperhatikan seorang laki-laki yang barusan membuatku merasa canggung dan aneh, apalagi aku baru saja puber.Â
Semakin ku tatap wajahnya, kekedalaman matanya, aku semakin kalah, tanpa bisa mengelak sorot mata itu, seolah-olah mengintaiku kemanapun diriku melangkah.
Namanya Dio, dia seorang atlet basket di sekolah ini. Ia dikenal rajin dan cukup sopan didepan guru. Bahkan banyak perempuan yang menaksirnya karena postur tubuhnya yang atletis dan pandai. Tak aneh bila ia menjadi murid teladan di sekolah. Setiap pulang sekolah, ia selalu mengantarkanku pulang dengan motornya.
Suatu ketika di jam istirahat, Dio diam-diam mengajakku ke gudang yang berada di belakang sekolah. Gudang tersebut nampak berantakan dan berdebu dengan perabotan bekasnya karena jarang dibersihkan.Â
Pintu gudang dapat dikunci dari dalam namun tidak dapat dikunci dari luar sehingga siapapun dapat memasukinya. Aku melihat diriku sedang bersama Dio berduaan di atas tikar berdebu.
Tanpa berpikir panjang, Aku ikuti tarikan tangan Dio dan ia mulai merangkulku.
"Apa yang akan kamu lakukan?" tanyaku.
"Udah tenang saja, kamu akan suka." jawab Dio.
Perlahan tangannya mulai merayap dari atas hingga kebawah tubuhku.