Sejak kemerdekaan dari Amerika Serikat pada tahun 1946, Filipina telah mengadopsi sistem pemerintahan yang terpusat. Namun, berbagai masalah seperti korupsi, inefisiensi birokrasi, dan kesenjangan pembangunan antara Metro Manila dan daerah-daerah lain telah mendorong munculnya gagasan untuk mengubah struktur pemerintahan.
Presiden Rodrigo Duterte, yang menjabat dari 2016 hingga 2022, menjadikan federalisme sebagai salah satu agenda utama pemerintahannya. Ia berargumen bahwa sistem federal akan membawa pemerintahan lebih dekat ke rakyat dan mengurangi dominasi "Imperial Manila".
Reformasi Birokrasi dan Federalisasi.
1. Desentralisasi Kekuasaan:
  Federalisasi dilihat sebagai cara untuk mendistribusikan kekuasaan dan sumber daya secara lebih merata. Ini diharapkan dapat mengurangi bottleneck birokratis di tingkat pusat dan mempercepat proses pengambilan keputusan di tingkat lokal.
2. Peningkatan Akuntabilitas:
  Dengan memberikan otonomi lebih besar kepada pemerintah daerah, federalisasi diharapkan dapat meningkatkan akuntabilitas pejabat publik kepada konstituennya.
3. Efisiensi Pelayanan Publik:
  Federalisasi dipandang sebagai cara untuk meningkatkan efisiensi pelayanan publik dengan memungkinkan pemerintah daerah merancang program yang lebih sesuai dengan kebutuhan lokal.
4. Pengembangan Kapasitas Lokal:
  Transisi menuju sistem federal akan membutuhkan peningkatan kapasitas pemerintah daerah, yang pada gilirannya dapat mendorong profesionalisasi birokrasi di tingkat lokal.
Sebagai Notasi Dari Kritik Wacana.
1. Kompleksitas Transisi:
  Mengubah struktur pemerintahan dari sistem uniter ke federal merupakan proses yang sangat kompleks dan berpotensi menimbulkan kekacauan administratif jika tidak dikelola dengan baik.
2. Risiko Fragmentasi:
  Beberapa kritikus khawatir bahwa federalisasi dapat memperparah perpecahan politik dan sosial di Filipina, terutama mengingat adanya konflik separatis di beberapa wilayah seperti Mindanao.
3. Kapasitas Daerah:
  Tidak semua daerah di Filipina memiliki kapasitas yang sama untuk mengelola otonomi yang lebih besar, yang dapat menyebabkan ketimpangan baru.
4. Biaya Transisi:
 Proses federalisasi akan membutuhkan investasi besar dalam hal restrukturisasi pemerintahan dan pengembangan kapasitas, yang menjadi beban tambahan bagi anggaran negara.
Perkembangan Terkini.
Meskipun gagasan federalisasi mendapat dukungan kuat dari administrasi Duterte, implementasinya menghadapi berbagai hambatan. Kurangnya konsensus di kalangan elit politik dan kekhawatiran publik tentang implikasi perubahan sistem telah memperlambat proses ini. Pasca pemerintahan Duterte, di bawah kepemimpinan Presiden Ferdinand Marcos Jr., fokus pemerintah tampaknya bergeser dari federalisasi menuju penguatan desentralisasi dalam kerangka sistem uniter yang ada.
Pembelajaran untuk Indonesia.
Bagi Indonesia, pengalaman Filipina dalam mengupayakan federalisasi memberikan beberapa pelajaran penting:
1. Pentingnya membangun konsensus nasional sebelum melakukan perubahan struktural yang besar.
2. Kebutuhan untuk mempersiapkan kapasitas daerah sebelum memberikan otonomi yang lebih luas.
3. Pentingnya mempertimbangkan alternatif seperti penguatan desentralisasi dalam kerangka negara kesatuan.
Federalisasi dalam konteks reformasi birokrasi Filipina.
Serambi. News. Putri Presiden Pilipina.