Seperti yang di beritakan, dalam Kumparan.News yakni :
Pada wilayah Nugini Belanda atau Nugini Barat dikuasai Belanda. Sedangkan, Nugini Britania dikuasai Australia. Kedua wilayah tersebut menolak penjajahan Jepang dan menjadi sekutu dari Australia dan Amerika Serikat selama Perang Pasifik.
Sebelum berakhirnya perang, terjalin hubungan antara Nugini belanda dan Belanda yang berdampak pada pengangkatan warga sipil Papua ke pemerintahan. Tapi setelah pemerintahan Indonesia aktif pada 1963, teritori Nugini Barat dan Papua berada di pemerintahan Indonesia.
Organisasi OPM dibentuk kepala distrik Demta, Aser Demotekay, yang melarang kekerasan dan kooperatif dengan pemerintah Indonesia. Sayangnya, tokoh OPM seperti Jacob Prai melanjutkan gerakan dengan cara kekerasan.
Pada 1964, muncul kelompok kedua dari Manokwari yang dipimpin Terianus Aronggear. Kelompok tersebut mendirikan Organisasi Perjuangan Menuju Kemerdekaan Negara Papua Barat yang dikenal sebagai OPM.
Sebagai, konteks historisnya, dimana, pembentukan OPM terkait erat dengan peristiwa-peristiwa setelah Perang Dunia II, termasuk dekolonisasi dan perebutan pengaruh di kawasan tersebut. Yang Adalah terkait, dengan kompleksitas politik, yang terdapat berbagai kepentingan yang terlibat, termasuk Indonesia, Belanda, Australia, dan Amerika Serikat. Sementara, struktur OPM, yang terdiri dari tiga elemen utama - kelompok bersenjata, kelompok demonstran, dan pemimpin di luar negeri. Ihwal, dari asal-usul, yang menjadi awalnya yang merupakan gerakan spiritual yang menggabungkan unsur Kristiani dan kepercayaan adat.
Di dalam, perkembangan: Dari gerakan damai menjadi gerakan yang menggunakan kekerasan. Dalam konteks geopolitik, dimana, perjanjian antara Belanda dan Australia yang tidak terealisasi karena kepentingan strategis AS. Berdampak, integrasi, di dalam dilema perubahan struktur pemerintahan setelah Papua berada di bawah pemerintahan Indonesia. Penting untuk memahami bahwa isu ini masih menjadi topik yang sensitif dan kompleks hingga saat ini. Dalam membahas topik seperti ini, kita perlu melihatnya dari berbagai perspektif dan mempertimbangkan kompleksitas sejarah serta dinamika politik yang ada.
Pembahasan : Mengenai Otonomi Khusus Papua.
Otonomi khusus, yang diberikan melalui UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Dengan, bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua dan mengurangi kesenjangan dengan daerah lain. Di dalam, memberikan kewenangan lebih luas dalam pengelolaan sumber daya alam dan keuangan daerah. Di dalam implementasi dan koridor wilayah persolan dimana, kemudian otonomi khusus belum sepenuhnya berhasil menyelesaikan konflik. Dan, masih ada ketidakpuasan terkait implementasi dan distribusi manfaat otonomi khusus. Terutama, dalam bergulirnya, isu-isu seperti pelanggaran HAM, kesenjangan ekonomi, dan marginalisasi masyarakat adat masih menjadi persoalan. Sementara, di dalam, kebijakan pemerintah, mengalami, bias terhadap segi, pendekatan keamanan dan pembangunan infrastruktur. Maupun, upaya yang di implementasikan sebagai, dialog dengan berbagai pihak, termasuk kelompok pro-kemerdekaan. Dan akhirnya memilih, evaluasi dan penyempurnaan implementasi otonomi khusus.
Perspektif Internasional.
Dalam, beberapa negara dan organisasi internasional memantau situasi di Papua. Bahwa, isu Papua sering diangkat dalam forum-forum internasional. Terutama, di dalam dilema dan kompleksitas, yang menempatkan dan mendudukan, keseimbangan antara menjaga integritas NKRI dan memenuhi aspirasi masyarakat Papua. Yang, merupakan, suatu yang menuntut penyelsaian, di dalam menyelaraskan kebijakan pusat dengan kondisi dan kebutuhan lokal. Masuk ke dalam ranah integral dari resolusi, dimana, prospek ke depan, sangat penting dan memerlukan, suatu sikap akan perlunya pendekatan yang lebih komprehensif dan inklusif. Yakni, demi, menyadari akan hal, pentingnya dialog yang berkelanjutan dan penyelesaian akar masalah. Yang, menyertakan catatan, dalam evaluasi dan perbaikan implementasi otonomi khusus. Tentu, saja, otonomi daerah, khususnya otonomi khusus Papua, merupakan salah satu instrumen kebijakan dalam menangani konflik Papua. Meskipun telah memberikan beberapa kemajuan, implementasinya masih menghadapi berbagai tantangan. Diperlukan pendekatan yang lebih holistik, dialog yang konstruktif, dan komitmen dari semua pihak untuk mencapai resolusi yang adil dan berkelanjutan.
Resolusi menuju perdamaian dan nota kesepakatan dalam konvensi diplomatik Papua.Â
Bahwa, klasifikasi konflik, penyelenggaraan negara, dan konflik, ditengah Papua termasuk dalam kategori "konflik internal", yang melibatkan faktor-faktor domestik dan kekerasan bersenjata dalam wilayah nasional. Yang tidak bisa menghindari, kompleksitas konflik, yang melibatkan berbagai aspek seperti pertarungan kekuatan antara pemimpin masyarakat dan militer, konflik antar etnik, klaim kemerdekaan, dan pertarungan ideologis. Dimana, pada tingkatan realitas yang nyatanya, kerugian signifikan, dalam konflik ini telah menyebabkan banyak korban jiwa dan kerugian harta. Tentunya, melebihi, urgensi penyelesaian, di dalam tuntutan penyelesaian konflik Papua dianggap akan memberi manfaat besar tidak hanya bagi masyarakat Papua, tetapi juga bagi Indonesia dan komunitas internasional.
Dengan, tetap, mempertimbangan upaya, demokratis dari arah demokrasi di Indonesia seharusnya menjamin hak warga Papua untuk menikmati rasa aman dan kesetaraan dalam aspek politik, sosial, dan ekonomi. Setidaknya, konteks internasional, bahwa, Indonesia perlu menunjukkan keseriusan dalam menyelesaikan masalah Papua untuk meredam internasionalisasi isu ini. Terlebih, dalam melihat kenyataan implikasi lebih luas: Penyelesaian konflik Papua bukan hanya masalah domestik, tetapi juga berkaitan dengan posisi Indonesia di kancah internasional.
Satu, hal berikutnya, mengingat kompleksitas dan sensitivitas isu ini, penyelesaian konflik Papua memerlukan pendekatan yang komprehensif, melibatkan dialog yang inklusif, dan mempertimbangkan aspek-aspek keadilan sosial, ekonomi, dan politik. Penting juga untuk memastikan bahwa proses penyelesaian ini menghormati hak asasi manusia dan aspirasi masyarakat Papua, sambil tetap menjaga integritas nasional Indonesia.