Mohon tunggu...
Ahmad W. al faiz
Ahmad W. al faiz Mohon Tunggu... Penulis - Penulis.
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

a little bird which surrounds this vast universe, does not necessarily change itself, becoming a lizard. Do you know why. Yes you do.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

(Alm) Gus Dur, -KH. Abdurrahman Wahid, (Alm) Prof. Dr. Nurcholis Madjid: Ibarat Semar dan Arjuna di Dalam Pewayangan

22 September 2024   04:02 Diperbarui: 22 September 2024   04:12 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cak Nur dan Gus Dur, meski berasal dari latar belakang yang berbeda, memiliki titik temu yang mendasar dalam visi mereka tentang Islam dan keindonesiaan. Cak Nur, dengan latar belakang pendidikan pesantren modern dan akademi Barat, membawa pendekatan yang lebih sistematis dan filosofis. Sementara Gus Dur, dengan akar kuat di pesantren tradisional dan pengalaman global yang luas, menawarkan pemikiran yang lebih eklektik dan kaya nuansa budaya.

Keduanya sama-sama menjunjung tinggi nilai pluralisme dan demokrasi. Namun, cara mereka mengartikulasikan dan memperjuangkan nilai-nilai ini memiliki nuansa yang berbeda. Cak Nur cenderung menggunakan pendekatan intelektual dan filosofis, sering merujuk pada konsep-konsep Islam klasik dan pemikiran modern Barat. Ia terkenal dengan gagasannya tentang "Islam Yes, Partai Islam No!" yang menekankan substansi ajaran Islam di atas formalisasi politik. Gus Dur, di sisi lain, lebih sering menggunakan pendekatan kultural dan praksis. Ia menerjemahkan nilai-nilai pluralisme dan demokrasi ke dalam bahasa yang lebih mudah dipahami oleh masyarakat akar rumput. Konsep "pribumisasi Islam" yang ia usung mencerminkan upayanya untuk mengkontekstualisasikan ajaran Islam dalam budaya lokal Indonesia. Meski demikian, keduanya bertemu dalam pemahaman bahwa Islam dan modernitas bukanlah dua entitas yang bertentangan. Baik Cak Nur maupun Gus Dur meyakini bahwa nilai-nilai Islam sejati sangat selaras dengan prinsip-prinsip demokrasi, hak asasi manusia, dan pluralisme. Mereka berdua gigih memperjuangkan pemahaman Islam yang inklusif dan progresif.

Dalam hal kritik terhadap tradisi, keduanya juga memiliki pendekatan yang berbeda namun saling melengkapi. Cak Nur sering menggunakan argumen teologis dan filosofis untuk mendorong pembaruan pemikiran Islam. Ia mengajak umat Islam untuk melakukan "sekularisasi" - dalam arti pembedaan antara yang sakral dan profan - dan "desakralisasi" terhadap pemahaman yang sudah tidak relevan. Gus Dur, dengan gayanya yang khas, sering menggunakan humor dan anekdot untuk mengkritik rigiditas pemahaman agama. Ia tidak segan-segan untuk menantang status quo, bahkan jika itu berarti berhadapan dengan otoritas keagamaan tradisional. Namun, kritiknya selalu disampaikan dengan cara yang santun dan penuh kearifan. Dalam konteks hubungan antara agama dan negara, keduanya memiliki pandangan yang mirip namun dengan penekanan yang berbeda. Cak Nur menekankan pentingnya "masyarakat madani" - sebuah konsep yang ia adopsi dari gagasan civil society - sebagai landasan demokrasi Indonesia. Gus Dur, dengan pengalamannya sebagai Presiden RI, lebih menekankan pada implementasi praktis prinsip-prinsip demokrasi dan pluralisme dalam tata kelola negara.

Persahabatan Cak Nur dan Gus Dur bukan berarti tanpa perbedaan pendapat. Justru, perbedaan pandangan di antara mereka sering menjadi katalis bagi diskusi-diskusi yang memperkaya wacana intelektual di Indonesia. Keduanya menunjukkan bahwa perbedaan pendapat bisa dikelola dengan santun dan produktif. Yang menarik, meski keduanya sering dianggap sebagai tokoh "liberal" oleh kalangan konservatif, baik Cak Nur maupun Gus Dur tidak pernah meninggalkan akar tradisi Islam mereka. Mereka justru menggunakan khazanah pemikiran Islam klasik untuk menjustifikasi gagasan-gagasan progresif mereka. Ini menunjukkan kedalaman pemahaman mereka terhadap tradisi Islam dan kemampuan mereka untuk mengkontekstualisasikannya dalam dunia modern.

Warisan terbesar dari persahabatan dan perjuangan intelektual Cak Nur dan Gus Dur adalah sebuah paradigma baru dalam memahami Islam di Indonesia. Mereka menunjukkan bahwa menjadi Muslim yang taat tidak bertentangan dengan menjadi warga negara modern yang demokratis dan menghargai keragaman. Lebih dari itu, mereka menegaskan bahwa nilai-nilai Islam justru mendorong terciptanya masyarakat yang adil, demokratis, dan menghormati pluralitas. Cak Nur dan Gus Dur adalah dua sahabat yang menjadi guru bangsa. Melalui pemikiran dan teladan mereka, keduanya telah membuka jalan bagi generasi baru pemikir dan aktivis Muslim untuk terus mengembangkan pemahaman Islam yang relevan dengan tantangan zaman. Dalam perbedaan gaya dan pendekatan mereka, kita menemukan kekayaan pemikiran Islam Indonesia yang tak ternilai harganya.

Hari ini, di tengah tantangan ekstremisme dan intoleransi, pemikiran Cak Nur dan Gus Dur menjadi semakin relevan. Mereka meninggalkan warisan intelektual yang terus menginspirasi generasi baru untuk membangun Indonesia yang demokratis, pluralis, dan berkeadilan, dengan tetap berakar pada nilai-nilai luhur agama dan budaya bangsa. Dalam semangat itulah, kita dapat menghormati legacy kedua tokoh besar ini - bukan dengan mengultuskan mereka, melainkan dengan terus mengembangkan dan mengkontekstualisasikan pemikiran mereka dalam menghadapi tantangan kontemporer.

Cak Nur dan Gus Dur: Semar dan Arjuna dalam Panggung Pemikiran Islam Indonesia.


Dalam teater besar pemikiran Islam Indonesia, Nurcholish Madjid (Cak Nur) dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berdiri sebagai dua tokoh sentral yang perannya begitu penting dan berpengaruh. Jika kita meminjam analogi dari dunia pewayangan Jawa, kita bisa melihat Gus Dur sebagai Semar yang kocak namun bijaksana, sementara Cak Nur memerankan sosok Arjuna yang tegas dan kesatria.

Gus Dur: Semar yang Kocak dan Bijaksana.

Semar, dalam mitologi Jawa, adalah tokoh paradoksal. Di satu sisi, ia adalah abdi, namun di sisi lain ia adalah perwujudan dewa. Ia memiliki penampilan yang tidak proporsional dan sering menjadi bahan tertawaan, namun di balik itu semua tersimpan kebijaksanaan yang dalam. Begitu pula dengan Gus Dur. Gus Dur, dengan gayanya yang khas, sering kali tampil sebagai sosok yang jenaka dan tidak konvensional. Humor-humornya yang cerdas dan kadang kontroversial sering menjadi bahan pembicaraan publik. Namun, di balik candaan dan sikap santainya, tersimpan kebijaksanaan dan pemikiran yang mendalam. Seperti Semar yang selalu hadir untuk menasihati para ksatria Pandawa, Gus Dur hadir sebagai penasihat moral bangsa. Melalui tulisan, ceramah, dan bahkan leluconnya, ia menyampaikan kritik sosial dan politik yang tajam. Ia memiliki kemampuan unik untuk menyederhanakan isu-isu kompleks menjadi pesan yang bisa dipahami oleh berbagai lapisan masyarakat. Gus Dur, layaknya Semar, juga memiliki sifat pengayom. Ia dikenal sebagai pembela kelompok-kelompok minoritas dan tertindas. Keberaniannya dalam membela hak-hak kelompok minoritas, baik agama maupun etnis, mencerminkan peran Semar sebagai pelindung dalam cerita wayang.

Cak Nur: Arjuna yang Tegas dan Kesatria.

Arjuna dalam pewayangan dikenal sebagai ksatria yang tampan, cerdas, dan memiliki prinsip yang kuat. Ia adalah tokoh yang tegas dalam pendiriannya namun juga memiliki kepekaan dan kebijaksanaan. Cak Nur, dalam banyak hal, mencerminkan karakteristik Arjuna ini. Cak Nur dikenal dengan pemikirannya yang sistematis dan mendalam. Seperti Arjuna yang ahli dalam olah keprajuritan, Cak Nur menguasai dengan baik ilmu-ilmu keislaman klasik dan pemikiran modern. Ia menggunakan keahliannya ini untuk "berperang" melawan kebodohan, fanatisme sempit, dan stagnasi pemikiran. Ketegasan Cak Nur terlihat dalam sikapnya yang tidak ragu untuk melontarkan gagasan-gagasan kontroversial demi kemajuan pemikiran Islam. Slogan "Islam Yes, Partai Islam No!" adalah salah satu contoh ketegasannya dalam memisahkan antara nilai-nilai esensial Islam dengan formalisasi politiknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun