Nurcholish Madjid: Sang Guru Bangsa dan Pembaharu Pemikiran Islam Indonesia.
Dua Tokoh Pembaharu Islam - Peluncuran buku biografi Gus Dur karya Greg Barton di Jakarta pada 3 Juli 2003. Gus Dur duduk di samping Nurcholish Madjid (Cak Nur)- Sumber Gambar GusDur.Net.
GusDur.Net
Dalam kanvas sejarah intelektual Indonesia, nama Nurcholish Madjid, atau yang akrab disapa Cak Nur, terlukis dengan jejak yang tak terhapuskan. Layaknya mercusuar di tengah lautan pemikiran yang bergejolak, Cak Nur berdiri tegak, menerangi jalan bagi generasi demi generasi untuk menavigasi kompleksitas hubungan antara Islam, modernitas, dan keindonesiaan. Lahir pada 17 Maret 1939 di Jombang, Jawa Timur, Cak Nur tumbuh dalam lingkungan yang memadukan tradisi pesantren dengan semangat nasionalisme. Pendidikan awalnya di Pesantren Darul 'Ulum Rejoso menjadi fondasi yang kokoh bagi pemahamannya terhadap Islam tradisional. Namun, jiwa kritisnya tak terbendung. Ia melanjutkan pendidikan ke IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, di mana ia mulai mengembangkan pemikiran progresifnya.
Tahun 1968 menjadi titik balik dalam perjalanan intelektual Cak Nur. Saat itu, ia melontarkan gagasan kontroversial "Islam Yes, Partai Islam No!" yang mengguncang lanskap politik Islam Indonesia. Bagi banyak orang, ini adalah paradoks, namun bagi Cak Nur, ini adalah jalan pembebasan. Ia melihat bahwa formalisasi Islam dalam bentuk partai politik justru membatasi universalitas ajaran Islam. Pemikiran Cak Nur tentang sekularisasi – yang ia bedakan dari sekularisme – adalah salah satu kontribusi terbesarnya. Baginya, sekularisasi adalah proses yang diperlukan untuk membedakan mana yang sakral dan mana yang profan, bukan untuk menihilkan yang sakral. Ini adalah upaya untuk membebaskan umat Islam dari kecenderungan mengsakralkan yang profan, sebuah langkah berani dalam konteks Indonesia saat itu.
Cak Nur juga dikenal sebagai pionir dalam menjembatani Islam dengan modernitas. Ia menegaskan bahwa tidak ada kontradiksi inheren antara Islam dan kehidupan modern. Sebaliknya, ia berpendapat bahwa nilai-nilai Islam, jika dipahami dengan benar, sangat selaras dengan prinsip-prinsip modernitas seperti demokrasi, hak asasi manusia, dan pluralisme. Konsep "Masyarakat Madani" yang ia populerkan menjadi blueprint bagi visi Indonesia modern. Terinspirasi dari konsep civil society dan sejarah Madinah di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad, Cak Nur membayangkan sebuah masyarakat yang berkeadaban, demokratis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan universal.
Pemikiran Cak Nur tentang pluralisme juga patut dicatat. Ia melihat keragaman bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai anugerah yang memperkaya. "Pluralisme," katanya, "adalah sunnatullah yang tidak bisa diingkari." Pandangan ini menjadi penting dalam konteks Indonesia yang multi-etnis dan multi-agama, menawarkan landasan teologis untuk toleransi dan harmoni sosial. Sebagai seorang cendekiawan Muslim, Cak Nur tak pernah ragu untuk melakukan kritik internal. Ia mendorong umat Islam untuk melakukan pembaruan pemikiran, atau dalam istilahnya "sekularisasi" dan "desakralisasi". Ini bukan berarti meninggalkan agama, melainkan membebaskan diri dari kecenderungan mengultuskan tradisi atau pemahaman yang sudah tidak relevan.
Warisan intelektual Cak Nur tidak terbatas pada tulisan dan pidatonya saja. Melalui Paramadina, lembaga yang ia dirikan, Cak Nur menanam benih-benih pemikiran progresif yang terus tumbuh hingga kini. Ia membuka ruang dialog antara Islam dan pemikiran modern, antara tradisi dan kemajuan. Cak Nur adalah jembatan antara berbagai dunia: dunia pesantren dan akademi modern, dunia Islam dan Barat, dunia tradisi dan modernitas. Ia adalah penerjemah yang membantu kita memahami kompleksitas zaman, tanpa kehilangan pegangan pada nilai-nilai luhur agama dan budaya.
Kepergian Cak Nur pada 29 Agustus 2005 meninggalkan kekosongan besar dalam lanskap intelektual Indonesia. Namun, pemikirannya terus hidup, menginspirasi generasi baru pemikir dan aktivis. Dalam era di mana ekstremisme dan intoleransi mengancam, gagasan-gagasan Cak Nur tentang Islam yang inklusif dan modern menjadi semakin relevan. Cak Nur adalah guru bangsa dalam arti yang sebenarnya. Ia tidak hanya mengajar, tapi juga menginspirasi. Ia tidak hanya mengkritik, tapi juga menawarkan solusi. Dalam dirinya, kita melihat sosok intelektual Muslim yang tidak takut berhadapan dengan modernitas, justru merangkulnya sebagai kesempatan untuk memperkaya pemahaman keagamaan. Warisan Cak Nur adalah sebuah tantangan bagi kita semua. Tantangan untuk terus berpikir kritis, untuk tidak pernah berhenti belajar dan memperbaharui pemahaman kita. Dalam semangat itulah, kita dapat menghormati legacy-nya dengan sebaik-baiknya – bukan dengan mengultuuskannya, melainkan dengan terus mengembangkan pemikirannya, mengadaptasikannya dengan tantangan zaman yang terus berubah.
Dalam panggung besar sejarah Indonesia, Nurcholish Madjid berdiri sebagai figur yang monumental. Ia adalah pembaharu, pemikir, dan yang terpenting, guru bagi sebuah bangsa yang terus mencari jati dirinya di tengah arus perubahan global. Melalui pemikirannya, Cak Nur tidak hanya berbicara kepada zamannya, tapi juga kepada masa depan – sebuah masa depan di mana Islam, kemodernan, dan keindonesiaan dapat berjalan beriringan dalam harmoni yang indah.
Cak Nur dan Gus Dur: Dua Sahabat, Dua Pembaharu.
Dalam panggung intelektual Islam Indonesia, dua nama berdiri tegak bagai menara kembar yang menjulang tinggi: Nurcholish Madjid (Cak Nur) dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Keduanya bukan hanya rekan seperjuangan dalam gerakan pembaruan pemikiran Islam, tetapi juga sahabat karib yang saling melengkapi dalam mozaik pemikiran Islam modern di Indonesia.
Cak Nur dan Gus Dur, meski berasal dari latar belakang yang berbeda, memiliki titik temu yang mendasar dalam visi mereka tentang Islam dan keindonesiaan. Cak Nur, dengan latar belakang pendidikan pesantren modern dan akademi Barat, membawa pendekatan yang lebih sistematis dan filosofis. Sementara Gus Dur, dengan akar kuat di pesantren tradisional dan pengalaman global yang luas, menawarkan pemikiran yang lebih eklektik dan kaya nuansa budaya.
Keduanya sama-sama menjunjung tinggi nilai pluralisme dan demokrasi. Namun, cara mereka mengartikulasikan dan memperjuangkan nilai-nilai ini memiliki nuansa yang berbeda. Cak Nur cenderung menggunakan pendekatan intelektual dan filosofis, sering merujuk pada konsep-konsep Islam klasik dan pemikiran modern Barat. Ia terkenal dengan gagasannya tentang "Islam Yes, Partai Islam No!" yang menekankan substansi ajaran Islam di atas formalisasi politik. Gus Dur, di sisi lain, lebih sering menggunakan pendekatan kultural dan praksis. Ia menerjemahkan nilai-nilai pluralisme dan demokrasi ke dalam bahasa yang lebih mudah dipahami oleh masyarakat akar rumput. Konsep "pribumisasi Islam" yang ia usung mencerminkan upayanya untuk mengkontekstualisasikan ajaran Islam dalam budaya lokal Indonesia. Meski demikian, keduanya bertemu dalam pemahaman bahwa Islam dan modernitas bukanlah dua entitas yang bertentangan. Baik Cak Nur maupun Gus Dur meyakini bahwa nilai-nilai Islam sejati sangat selaras dengan prinsip-prinsip demokrasi, hak asasi manusia, dan pluralisme. Mereka berdua gigih memperjuangkan pemahaman Islam yang inklusif dan progresif.
Dalam hal kritik terhadap tradisi, keduanya juga memiliki pendekatan yang berbeda namun saling melengkapi. Cak Nur sering menggunakan argumen teologis dan filosofis untuk mendorong pembaruan pemikiran Islam. Ia mengajak umat Islam untuk melakukan "sekularisasi" - dalam arti pembedaan antara yang sakral dan profan - dan "desakralisasi" terhadap pemahaman yang sudah tidak relevan. Gus Dur, dengan gayanya yang khas, sering menggunakan humor dan anekdot untuk mengkritik rigiditas pemahaman agama. Ia tidak segan-segan untuk menantang status quo, bahkan jika itu berarti berhadapan dengan otoritas keagamaan tradisional. Namun, kritiknya selalu disampaikan dengan cara yang santun dan penuh kearifan. Dalam konteks hubungan antara agama dan negara, keduanya memiliki pandangan yang mirip namun dengan penekanan yang berbeda. Cak Nur menekankan pentingnya "masyarakat madani" - sebuah konsep yang ia adopsi dari gagasan civil society - sebagai landasan demokrasi Indonesia. Gus Dur, dengan pengalamannya sebagai Presiden RI, lebih menekankan pada implementasi praktis prinsip-prinsip demokrasi dan pluralisme dalam tata kelola negara.
Persahabatan Cak Nur dan Gus Dur bukan berarti tanpa perbedaan pendapat. Justru, perbedaan pandangan di antara mereka sering menjadi katalis bagi diskusi-diskusi yang memperkaya wacana intelektual di Indonesia. Keduanya menunjukkan bahwa perbedaan pendapat bisa dikelola dengan santun dan produktif. Yang menarik, meski keduanya sering dianggap sebagai tokoh "liberal" oleh kalangan konservatif, baik Cak Nur maupun Gus Dur tidak pernah meninggalkan akar tradisi Islam mereka. Mereka justru menggunakan khazanah pemikiran Islam klasik untuk menjustifikasi gagasan-gagasan progresif mereka. Ini menunjukkan kedalaman pemahaman mereka terhadap tradisi Islam dan kemampuan mereka untuk mengkontekstualisasikannya dalam dunia modern.
Warisan terbesar dari persahabatan dan perjuangan intelektual Cak Nur dan Gus Dur adalah sebuah paradigma baru dalam memahami Islam di Indonesia. Mereka menunjukkan bahwa menjadi Muslim yang taat tidak bertentangan dengan menjadi warga negara modern yang demokratis dan menghargai keragaman. Lebih dari itu, mereka menegaskan bahwa nilai-nilai Islam justru mendorong terciptanya masyarakat yang adil, demokratis, dan menghormati pluralitas. Cak Nur dan Gus Dur adalah dua sahabat yang menjadi guru bangsa. Melalui pemikiran dan teladan mereka, keduanya telah membuka jalan bagi generasi baru pemikir dan aktivis Muslim untuk terus mengembangkan pemahaman Islam yang relevan dengan tantangan zaman. Dalam perbedaan gaya dan pendekatan mereka, kita menemukan kekayaan pemikiran Islam Indonesia yang tak ternilai harganya.
Hari ini, di tengah tantangan ekstremisme dan intoleransi, pemikiran Cak Nur dan Gus Dur menjadi semakin relevan. Mereka meninggalkan warisan intelektual yang terus menginspirasi generasi baru untuk membangun Indonesia yang demokratis, pluralis, dan berkeadilan, dengan tetap berakar pada nilai-nilai luhur agama dan budaya bangsa. Dalam semangat itulah, kita dapat menghormati legacy kedua tokoh besar ini - bukan dengan mengultuskan mereka, melainkan dengan terus mengembangkan dan mengkontekstualisasikan pemikiran mereka dalam menghadapi tantangan kontemporer.
Cak Nur dan Gus Dur: Semar dan Arjuna dalam Panggung Pemikiran Islam Indonesia.
Dalam teater besar pemikiran Islam Indonesia, Nurcholish Madjid (Cak Nur) dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berdiri sebagai dua tokoh sentral yang perannya begitu penting dan berpengaruh. Jika kita meminjam analogi dari dunia pewayangan Jawa, kita bisa melihat Gus Dur sebagai Semar yang kocak namun bijaksana, sementara Cak Nur memerankan sosok Arjuna yang tegas dan kesatria.
Gus Dur: Semar yang Kocak dan Bijaksana.
Semar, dalam mitologi Jawa, adalah tokoh paradoksal. Di satu sisi, ia adalah abdi, namun di sisi lain ia adalah perwujudan dewa. Ia memiliki penampilan yang tidak proporsional dan sering menjadi bahan tertawaan, namun di balik itu semua tersimpan kebijaksanaan yang dalam. Begitu pula dengan Gus Dur. Gus Dur, dengan gayanya yang khas, sering kali tampil sebagai sosok yang jenaka dan tidak konvensional. Humor-humornya yang cerdas dan kadang kontroversial sering menjadi bahan pembicaraan publik. Namun, di balik candaan dan sikap santainya, tersimpan kebijaksanaan dan pemikiran yang mendalam. Seperti Semar yang selalu hadir untuk menasihati para ksatria Pandawa, Gus Dur hadir sebagai penasihat moral bangsa. Melalui tulisan, ceramah, dan bahkan leluconnya, ia menyampaikan kritik sosial dan politik yang tajam. Ia memiliki kemampuan unik untuk menyederhanakan isu-isu kompleks menjadi pesan yang bisa dipahami oleh berbagai lapisan masyarakat. Gus Dur, layaknya Semar, juga memiliki sifat pengayom. Ia dikenal sebagai pembela kelompok-kelompok minoritas dan tertindas. Keberaniannya dalam membela hak-hak kelompok minoritas, baik agama maupun etnis, mencerminkan peran Semar sebagai pelindung dalam cerita wayang.
Cak Nur: Arjuna yang Tegas dan Kesatria.
Arjuna dalam pewayangan dikenal sebagai ksatria yang tampan, cerdas, dan memiliki prinsip yang kuat. Ia adalah tokoh yang tegas dalam pendiriannya namun juga memiliki kepekaan dan kebijaksanaan. Cak Nur, dalam banyak hal, mencerminkan karakteristik Arjuna ini. Cak Nur dikenal dengan pemikirannya yang sistematis dan mendalam. Seperti Arjuna yang ahli dalam olah keprajuritan, Cak Nur menguasai dengan baik ilmu-ilmu keislaman klasik dan pemikiran modern. Ia menggunakan keahliannya ini untuk "berperang" melawan kebodohan, fanatisme sempit, dan stagnasi pemikiran. Ketegasan Cak Nur terlihat dalam sikapnya yang tidak ragu untuk melontarkan gagasan-gagasan kontroversial demi kemajuan pemikiran Islam. Slogan "Islam Yes, Partai Islam No!" adalah salah satu contoh ketegasannya dalam memisahkan antara nilai-nilai esensial Islam dengan formalisasi politiknya.
Namun, seperti Arjuna yang juga dikenal dengan kehalusan budinya, Cak Nur menyampaikan gagasan-gagasannya dengan cara yang elegan dan intelektual. Ia mampu berdialog dengan berbagai kalangan, dari ulama tradisional hingga cendekiawan Barat, menunjukkan kematangan intelektual dan emosional yang tinggi.
Sinergi Semar dan Arjuna.
Dalam pewayangan, Semar dan Arjuna sering kali saling melengkapi. Semar memberikan nasihat dan dukungan moral, sementara Arjuna bertindak sebagai eksekutor di medan laga. Demikian pula dengan Gus Dur dan Cak Nur. Gus Dur, dengan pendekatan kulturalnya, mampu menjangkau dan mempengaruhi berbagai lapisan masyarakat. Ia membawa wacana pluralisme dan demokrasi ke tingkat akar rumput. Sementara itu, Cak Nur dengan ketajaman intelektualnya, memberikan fondasi teoretis dan filosofis bagi gagasan-gagasan pembaruan Islam.
Keduanya, seperti Semar dan Arjuna, berjuang untuk kebenaran dan keadilan. Mereka sama-sama memperjuangkan Islam yang inklusif, toleran, dan selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan universal. Namun, mereka melakukannya dengan cara yang berbeda namun saling melengkapi.
Penutup: Wayang dan Realitas.
Analogi Gus Dur sebagai Semar dan Cak Nur sebagai Arjuna tentu tidak bisa diambil secara harfiah. Ini hanyalah cara metaforis untuk memahami peran dan karakter kedua tokoh besar ini dalam konteks budaya Indonesia. Yang penting untuk diingat adalah bahwa baik Gus Dur maupun Cak Nur, seperti Semar dan Arjuna, adalah tokoh-tokoh yang kompleks dan multi-dimensi. Mereka tidak bisa direduksi menjadi stereotype sederhana. Keunikan dan kompleksitas pemikiran mereka justru menjadi kekayaan intelektual yang tak ternilai bagi bangsa Indonesia. Warisan pemikiran Gus Dur dan Cak Nur, seperti kisah-kisah dalam pewayangan, terus hidup dan relevan hingga saat ini. Mereka meninggalkan pelajaran berharga tentang bagaimana menjembatani tradisi dan modernitas, agama dan negara, serta bagaimana menjadi Muslim yang baik sekaligus warga dunia yang progresif. Dalam panggung besar pemikiran Islam Indonesia, Gus Dur dan Cak Nur telah memainkan peran mereka dengan gemilang. Kini, tantangan bagi generasi penerus adalah bagaimana melanjutkan perjuangan mereka, mengembangkan pemikiran mereka, dan menghadapi tantangan-tantangan baru dengan semangat kearifan Semar dan ketegasan Arjuna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H