Jacques Lacan, seorang psikoanalis post-Freudian, lebih jauh mengembangkan ide ini dengan berpendapat bahwa ketidaksadaran terstruktur seperti bahasa, yang berarti bahwa bahkan proses berpikir yang paling abstrak dan rasional pun mungkin dipengaruhi oleh dinamika ketidaksadaran (Lacan, 1966/2006).
Implikasi untuk Etika dan Epistemologi
Jika kita menerima bahwa akal murni mungkin dipengaruhi oleh proses ketidaksadaran, ini memiliki implikasi signifikan untuk etika dan epistemologi:
- Etika: Bagaimana kita dapat yakin bahwa prinsip-prinsip etika yang kita turunkan dari akal murni tidak dipengaruhi oleh konflik dan dorongan tidak sadar?
- Epistemologi: Sejauh mana klaim pengetahuan kita dapat diandalkan jika proses berpikir kita mungkin dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar kesadaran kita?
Filosof kontemporer Slavoj iek, yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran Lacan, berpendapat bahwa ketidaksadaran bukan hanya mempengaruhi pemikiran kita, tetapi juga membentuk realitas sosial kita. Ia menyarankan bahwa apa yang kita anggap sebagai realitas objektif sebenarnya dibentuk oleh fantasi-fantasi kolektif yang berakar dalam ketidaksadaran (iek, 1989).
Meninjau Ulang Pretensi Alamiah
Dalam konteks ini, "pretensi alamiah" akal murni dapat dilihat bukan hanya sebagai kecenderungan untuk mengklaim pengetahuan yang melampaui batas-batas kognitif kita, tetapi juga sebagai manifestasi dari dinamika ketidaksadaran. Apa yang kita anggap sebagai pemikiran rasional murni mungkin sebenarnya adalah ekspresi berlawanan dari konflik tidak sadar atau mekanisme pertahanan psikologis.
Judith Butler, dalam karyanya tentang performativitas gender, memperluas ide ini ke ranah identitas sosial. Ia berpendapat bahwa apa yang kita anggap sebagai ekspresi alamiah dari identitas sebenarnya adalah hasil dari pengulangan performatif yang dibentuk oleh norma-norma sosial yang terinternalisasi (Butler, 1990).
Kesimpulan
Mempertimbangkan pemikiran Freud tentang ketidaksadaran dalam konteks akal murni dan pretensi alamiah membuka dimensi baru dalam memahami proses berpikir dan pengambilan keputusan etis kita. Ini menantang kita untuk mempertimbangkan kembali asumsi-asumsi kita tentang rasionalitas dan objektivitas.
Mungkin, alih-alih mencari kebenaran absolut melalui akal murni, kita perlu mengadopsi pendekatan yang lebih refleksif dan introspektif. Ini melibatkan pengakuan akan kompleksitas pikiran manusia dan kemauan untuk mengeksplorasi motivasi tidak sadar yang mungkin mempengaruhi pemikiran sadar kita.
Dalam konteks etika, ini mungkin berarti mengembangkan pendekatan yang tidak hanya mengandalkan penalaran abstrak, tetapi juga mempertimbangkan dinamika emosional dan psikologis. Seperti yang disarankan oleh filosof kontemporer Martha Nussbaum, emosi dan intuisi mungkin memainkan peran penting dalam penalaran etis yang tidak dapat sepenuhnya ditangkap oleh model rasionalitas murni (Nussbaum, 2001).