Mohon tunggu...
Ahmad W. al faiz
Ahmad W. al faiz Mohon Tunggu... Penulis - Penulis.
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

a little bird which surrounds this vast universe, does not necessarily change itself, becoming a lizard. Do you know why. Yes you do.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Meninjau Pretensi Alamiah Akal Murni

17 Juli 2024   04:42 Diperbarui: 17 Juli 2024   04:44 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Freud, Ekspresi Berlawanan Terhadap Laten Ketidaksadaran atas Ekspresi Kesadaran: Meninjau Pretensi Alamiah Akal Murni

Oleh : A.W. al-faiz

Pendahuluan

Pemikiran Sigmund Freud tentang ketidaksadaran (unconscious) telah memberikan dimensi baru dalam memahami pikiran manusia. Ketika kita menggabungkan perspektif Freudian ini dengan konsep akal murni (pure reason) yang diajukan oleh Immanuel Kant, muncul pertanyaan menarik tentang bagaimana ketidaksadaran mungkin mempengaruhi atau bahkan berlawanan dengan apa yang kita anggap sebagai produk dari pemikiran sadar dan rasional. Esai ini akan mengeksplorasi hubungan kompleks antara ketidaksadaran Freudian, ekspresi kesadaran, dan pretensi alamiah akal murni.

Freud dan Ketidaksadaran

Freud, dalam karyanya "The Interpretation of Dreams" (1900) dan "The Unconscious" (1915), memperkenalkan gagasan bahwa sebagian besar proses mental kita berlangsung di luar kesadaran. Ia membagi pikiran menjadi tiga level: sadar (conscious), prasadar (preconscious), dan tak sadar (unconscious). Freud berpendapat bahwa dorongan, keinginan, dan konflik yang direpresi dalam ketidaksadaran dapat mempengaruhi perilaku dan pemikiran sadar kita (Freud, 1915/1957).

Ekspresi Berlawanan dan Laten Ketidaksadaran

Konsep "ekspresi berlawanan" dalam psikoanalisis Freudian merujuk pada fenomena di mana individu secara sadar mengekspresikan sikap atau perasaan yang berlawanan dengan apa yang sebenarnya mereka rasakan secara tidak sadar. Ini bisa dilihat sebagai mekanisme pertahanan ego, di mana pikiran atau perasaan yang tidak dapat diterima direpresi dan kemudian diekspresikan dalam bentuk yang berlawanan (Freud, 1915/1957).

Dalam konteks akal murni, ini menimbulkan pertanyaan: sejauh mana pemikiran "rasional" kita mungkin dipengaruhi atau bahkan didistorsi oleh proses ketidaksadaran ini?

Pretensi Alamiah Akal Murni dalam Perspektif Freudian

Kant, dalam "Critique of Pure Reason" (1781), berpendapat bahwa akal murni memiliki kemampuan untuk memahami realitas melalui kategori dan konsep a priori. Namun, jika kita melihat ini melalui lensa Freudian, muncul kemungkinan bahwa apa yang kita anggap sebagai produk akal murni mungkin sebenarnya dipengaruhi oleh dorongan dan konflik tidak sadar.

Jacques Lacan, seorang psikoanalis post-Freudian, lebih jauh mengembangkan ide ini dengan berpendapat bahwa ketidaksadaran terstruktur seperti bahasa, yang berarti bahwa bahkan proses berpikir yang paling abstrak dan rasional pun mungkin dipengaruhi oleh dinamika ketidaksadaran (Lacan, 1966/2006).

Implikasi untuk Etika dan Epistemologi

Jika kita menerima bahwa akal murni mungkin dipengaruhi oleh proses ketidaksadaran, ini memiliki implikasi signifikan untuk etika dan epistemologi:

  1. Etika: Bagaimana kita dapat yakin bahwa prinsip-prinsip etika yang kita turunkan dari akal murni tidak dipengaruhi oleh konflik dan dorongan tidak sadar?
  2. Epistemologi: Sejauh mana klaim pengetahuan kita dapat diandalkan jika proses berpikir kita mungkin dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar kesadaran kita?

Filosof kontemporer Slavoj iek, yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran Lacan, berpendapat bahwa ketidaksadaran bukan hanya mempengaruhi pemikiran kita, tetapi juga membentuk realitas sosial kita. Ia menyarankan bahwa apa yang kita anggap sebagai realitas objektif sebenarnya dibentuk oleh fantasi-fantasi kolektif yang berakar dalam ketidaksadaran (iek, 1989).

Meninjau Ulang Pretensi Alamiah

Dalam konteks ini, "pretensi alamiah" akal murni dapat dilihat bukan hanya sebagai kecenderungan untuk mengklaim pengetahuan yang melampaui batas-batas kognitif kita, tetapi juga sebagai manifestasi dari dinamika ketidaksadaran. Apa yang kita anggap sebagai pemikiran rasional murni mungkin sebenarnya adalah ekspresi berlawanan dari konflik tidak sadar atau mekanisme pertahanan psikologis.

Judith Butler, dalam karyanya tentang performativitas gender, memperluas ide ini ke ranah identitas sosial. Ia berpendapat bahwa apa yang kita anggap sebagai ekspresi alamiah dari identitas sebenarnya adalah hasil dari pengulangan performatif yang dibentuk oleh norma-norma sosial yang terinternalisasi (Butler, 1990).

Kesimpulan

Mempertimbangkan pemikiran Freud tentang ketidaksadaran dalam konteks akal murni dan pretensi alamiah membuka dimensi baru dalam memahami proses berpikir dan pengambilan keputusan etis kita. Ini menantang kita untuk mempertimbangkan kembali asumsi-asumsi kita tentang rasionalitas dan objektivitas.

Mungkin, alih-alih mencari kebenaran absolut melalui akal murni, kita perlu mengadopsi pendekatan yang lebih refleksif dan introspektif. Ini melibatkan pengakuan akan kompleksitas pikiran manusia dan kemauan untuk mengeksplorasi motivasi tidak sadar yang mungkin mempengaruhi pemikiran sadar kita.

Dalam konteks etika, ini mungkin berarti mengembangkan pendekatan yang tidak hanya mengandalkan penalaran abstrak, tetapi juga mempertimbangkan dinamika emosional dan psikologis. Seperti yang disarankan oleh filosof kontemporer Martha Nussbaum, emosi dan intuisi mungkin memainkan peran penting dalam penalaran etis yang tidak dapat sepenuhnya ditangkap oleh model rasionalitas murni (Nussbaum, 2001).

Akhirnya, mengakui pengaruh ketidaksadaran pada pemikiran kita tidak berarti kita harus menyerah pada relativisme atau irasionalitas. Sebaliknya, ini dapat mendorong kita untuk mengembangkan pemahaman yang lebih kaya dan nuansir tentang rasionalitas yang mengakui kompleksitas pikiran manusia dan interaksi antara proses sadar dan tidak sadar.

Referensi

Butler, J. (1990). Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity. Routledge.

Freud, S. (1900). The Interpretation of Dreams. Basic Books.

Freud, S. (1915/1957). The Unconscious. In J. Strachey (Ed. & Trans.), The Standard Edition of the Complete Psychological Works of Sigmund Freud (Vol. 14). Hogarth Press.

Kant, I. (1781). Critique of Pure Reason. Cambridge University Press.

Lacan, J. (1966/2006). crits: The First Complete Edition in English. W. W. Norton & Company.

Nussbaum, M. C. (2001). Upheavals of Thought: The Intelligence of Emotions. Cambridge University Press.

iek, S. (1989). The Sublime Object of Ideology. Verso.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun