Bibir Ombak.
Suaramu membangunkan tidurku
melupakan mimpi yang tidak Indah
Yang membuat terjaga,
mata-naluri, mata simpati,
mata atensi,
mata-mata yang siaga. - mata sangsi,
mata yang amarah dan sepi.
Di sana ada, banyak hal tak dapat aku katakan
Di setiap tempat aku merasa takut dan
merasa sendiri, sehingga sunyi dan sepi menjadi teman yang menyatu
begitu hening tandas di balik keriuhan uforia tahun-demi tahun:
Meski aku tahu semua akan berlalu, sunyi sepi itu
terus membantu membuatku fokus dan:
menyadari setiap jengkal dari perjalanan
Yang limbung, tak jarang menjadi ling-lung.
Risau ini milik siapa?
Resah ini milik siapa?
Rindu ini pada apa?
Matiku, bagai matihari-kawanku bagai surya yang sendiri:
Dan, aku hanya langit dengan lampu bintang-bintang
Yang kemerlip, mungkin aku akan menjadi buta :
Terlampau sering melihat langit malam yang gelap.
Awe.
15/06/2024.
NAZARET
Hari itu, mungkin sebah batas telah dalang untuk datang. Aku menuju pantai, menghilangkan kegetiran. Mendengarkan bibir ombak bicara, seperti kata-kata dia menghempas tepi. Bagaimana, tubuhku berada di dalam, seorang anak perempuan apakah aku telah benar-benar menyalahi kodrat. Ketakutan, "akan kata-kata normal atau tidak normal. "
Angin menghembuskan dirinya mengusir air laut menuju tepi, di sana suara bibir pantai mendesah berkata-kata, "pulanglah!" kepada tuhan yang meridhoimu. " tapi, aku tetap merasa bingung ini risau milik siapa? ini resah milik siapa? Dia menuju singgahsana sehari sebelum maghligai bersanding pada sisi cinta, ini seperti angan yang memiliki kiasan metafora mata dalam zaharnya nazar. Yang mengingatkanku pada nazaret.
Awe.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H