Mohon tunggu...
Ahmad W. al faiz
Ahmad W. al faiz Mohon Tunggu... Penulis - Penulis.
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

a little bird which surrounds this vast universe, does not necessarily change itself, becoming a lizard. Do you know why. Yes you do.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Keong Racun

11 Agustus 2023   03:12 Diperbarui: 11 Agustus 2023   03:15 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KEONG RACUN.

- cerpen.

Pada - debur pantai yang berlari-lari dan langkah, kakinya yang menginjak menapaki butir-butir pasir putih, pantai Losari. Dia kembali menyanyikan, lagu populer, dari dua Jelita-panggung itu, dalam gelegar gema industri musik di tanah air.

Nampaknya, industri musik, pada waktu itu, bagi Nayo, masih belum berkenan, untuk berhenti dalam memfasilitasi penayangan trend, dari lirik lagu tersebut. Membincangkan, susila, dalam klise cinta asmara, yang terjatuh ke dalam dilema jurang yang curang, dan mencurigai satu dengan yang lain sebagai pasangan.

"Oh, Jelita!"

Tukas, Nayo berbisik lirih demi mengilhami sebutannya bagi penyanyi pelantun lagu keong racun tersebut. Dan berusaha, menjawab panggilan ide di pikirannya, tentang setengah kisah dari lagu, tersebut. Dan, dengan berbisik lirih, seraya memuji keindahan pada metafora kata-kata pada logika lagu tersebut bekerja terhadap harmoni lagu tersebut. Di dalam pikiran, semisal frekuensi suara gemericik sebuah radio butut, yang kerap di sebut orang "cawang" di masa yang telah lampau.

"Dasar kau keong racun!"

Sambil, memegangi sebentuk cakang keong laut di pantai lepas Losari. Nayo, mengulangi, lirik itu dengan setengah berteriak di tepi pantai. Lagu lain, yang mungkin akan tercipta di telinganya itu, saat melihat pusaran, labirin pada cakang ekor keong laut. Yang, kemudian berdendang di labirin telinganya.

Dan, tanda-tanda pola-pola yang tergambar, dalam luasnya alam semesta raya ini. 

"Dia, Tuhan semesta alam ini," tentulah yang mengasuh semua yang terjadi pada dunia ini." Bisik, lembut di hati Nayo berkata.

Dan, yang, membuatnya terdiam dalam do'a, terguyur keindahan ciptaan-Nya. Dan dia penuh misteri ungkapnya kepada diri sendiri, di dalam sela-sela, semesta gelisah pikirannya yang terkadang bertanya-tanya.

Dan Nayo, merasa bagaikan, terguyur sinar matahari suasana senja di tepi pantai Losari. Sehingga membawanya kepada pertanyaan-pertanyaan lain, bagi semesta di balik, langit yang masih jingga.

Nayo, meletakkan kembali cakang keong, tersebut si atas butir pasir pantai.

Telinganya, terasa masih berdenging, mendidih menyinsih batin sesekali mendengarkan semilir angin.

Seraya, angin, berbunyi bersisik,

 "nginnnngggg ... !"

Seolah-olah, membunyikan suara labirin yang berputar di frekuensi yang sama dari ekor dari cakang keong laut itu.

----------------

Tiba-tiba, suara panggilan senandung di selulernya berbunyi dering, sebuah nada dari lagu pembuka film kartun anak-anak, berjudul Doraemon, berbunyi sebagai nada tanda panggilan masuk, sambil jemari dan tangannya mengangkat selulernya dan menjawab panggilan dering itu. Dari Lara Luka, seorang gadis teman SMA Nayo.

"Halo!"

"Hei, Nayo!"

Kapan, kau akan singah kemari?" Tanya, Lara Luka.

Lara Luka adalah nama sahabat, wanita, Nayo semasa sekolah di sekolah SMA, yang menetap di kota Batam.

Lara Luka, bertanya khabarnya juga, dalam suara panggilan telepon seluler di genggamannya, Nayo. Lara Luka adalah suara sang kekasih bagi sebuah kisah dalam imajinasi dan khayalannya, yang terus bersambung dalam cerita, yang di tulis dalam darah dan nafasnya. 

Setiap, ada waktu yang lenggang Nayo, secara sadar, berusaha menuliskan kembali khayalannya itu, dalam kisah-kisah imajinasinya itu. Dan tertidur diantara sunyi sendiri di tengah-tengah ilusi, di dalam pergantian waktu, yang seakan-akan terulang, hari demi hari.

Sementara, hatinya mengukir catatan gumam di batin Nayo. Dan bergerak bak bagai pena di atas kertas buku catatan hariannya, mencatat peristiwa di dalam pikirannya sendiri.

Dan juga dia, Lara Luka, adalah sesosok demit dan banyangan imajinasinya, seorang gadis jelita. Bagaikan, Parhiyangan Si Jelita. Tentang sesosok bidadari dalam dilema khayalan Nayo. Tentang seorang bidadari kekasihnya. Yang turun dari bis kota ber-AC. Dan, juga tentang, hari esok yang suram di pelupuk matanya yang buram. Kisah-kisah dan kerinduan bak bagaikan mengambang terbuang dalam waktu. Yang sangsi dan mengembara entah kemana.

"Tidak, sekarang Lara!"

Kata Nayo menjawab pertanyaan Lara, sembari menendang butir-butir pasir putih di pantai Losari yang di sapu ombak, di tepi suara deburan pantai membasuh.

"Lalu, kapan Nayo, janjimu kau tepati?" 

Suara Lara meminta jawaban, dan kepastian dari Nayo.

"Tanjung, telah memintaku untuk lebih lama, tinggal di sini, menemaninya, melukis." Nayo, memberitahukan kembali terkait permintaan Tanjung. Kepada Lara.

"Oh, Tanjung!" Toh, teman melamunmu itu, yang memintamu, untuk tetap tinggal, baiklah" tak apa-apa!" Kata Lara, mejawab, dan menutup telepon kembali. Dengan, sedikit ngambek.

---------------------------

Sementara, angin berputar semilir di dalam ruang kamar, yang tak seperti di hotel berbintang dengan sebuah AC di dinding kamar hotel. Yang, dingin mengigit, mencubit-cubit beku kulit Nayo, pada suhu yang rendah mengantarkan kantung mata yang lelah, dan mengusapnya membawakan sekantung sisa-sisa tubuh yang nan sudah lelah, yang mengajak bergegas mengantuk kepada lelap tidur dan mimpi. Segelas kopi sudah bocor di dalam, lubang tenggorokannya.

Dan untung saja tubuh Nayo bagian leher, bukanlah penganut dari aliran tembolok ayam betina maupun jantan, atau unggas manapun juga yang berisi biji-bijian, dan beras. Juga jagung.

Setelah, bicara pada Tanjung, bahwa dirinya, akan meneruskan persinggahannya menuju kota Batam di kepulauan Batam. Ke tempat, seseorang, kawan dan kerabat dari almarhum ayahnya. Dan jika tidak berhalangan Nayo juga ingin sekali untuk akan bertemu dengan gadis itu, Lara Luka di sana.

Secarik sinar bintang dalam layar langit-langit, atap kamar di rumah itu. Setiba di rumah kerabat almarhum ayahnya. Ayah Nayo yang wafat tiga tahun sudah berlalu. Dan meninggalkan sufah kenangan yang hangat dari hitamnya wajah pria itu terbakar matahari yang menyengat.

Yang, diiringi dengan gemuruh suara angin dari putaran rotasi dari kincir sebuah kipas angin, yang terus-meneus menggeleng-gelengkan dirinya. Seakan-akan berkata-kata, tentang panasnya udara malam di tepi laut pantai pulau Batam. Malam, itu, selayaknya malam yang penuh keramat, dimana setiap bangsa Jin bersegama membuang anak-anak manusia ke dasar laut di pelabuhan Marina, di sudut lain dari kota Batam.

Pada malam kedua. Nayo megunjungi dan singgah pada kekeruhan di atas meja restoran.

Dan, sambil menunda kepulangan ke Jakarta besok. Sementara itu, direstoran seafood tersebut, tampak beberapa kader partai politik, menjelang pemilihan Walikota, menyantap menu seafood. Sambil, membincangkan dengan serius kandidat yang sedang mereka usung dalam pemilihan. Sambil, membuang sisa cakang dari keong laut, yang baru saja di santap ke atas piring, seorang pria bertubuh hitam, dan gemuk itu, lalu meminum jus yang tersedia di meja. Dan, malam, bergeser hampir tiba pada pukul jam 9 waktu setempat.

Selembar, amplop berisi surat, dan uang, yang masih tersimpan dalam saku. Dan, Nayo masih nampak bimbang memberikannya, kepada lelaki berkulit, hitam bertubuh, gemuk di sebuah meja besar restoran tersebut. Yang sedang duduk bersama, orang-orang para kader partai pendukung, kandidat calon pemilihan Walikota pulau Batam.

Beberapa, tahun lalu, orang-orang para alumni pergerakan mahasiswa juga turut di undang dalam pesta perjamuan, pernikahan putra si pria gemuk berkulit hitam yang duduk bersama-sama dengan kader partai di dalam restoran seafood diantara para pelayan restoran yang hilir mudik mengantarkan pesanan para pelanggan lain. Pesta perjamuan, pernikahan, yang memakai konsep pesta standing party di balai wisma haji, kota Batam. Dan seluruh staf administrasi pemerintahan kepulauan Batam, kota Batam yang ikut terlibat. 

Dari, sudut ke sudut halaman wisma, para penjaja makanan pesta dengan gerobak, mereka adalah para pedagang makanan di seputar wilayah kota Batam, kepulauan Batam. Yang memang dengan sengaja di bayar keikutsertaannya, untuk mengisi, logistik kuliner perjamuan pesta, dalam nuansa yang berdiri itu. Dan beberapa panggung berisi pementasan nyanyian lagu-lagu kekinian, serta panggung berisi kesenian lagu-lagu bermotif Melayu dengan pianika, dan gitar gambus, serta kendang rentak. Yang serentak tampak serasi dan harmoni dalam alunan nada dan iramanya. Mendendangkan pesta dengan lagu populer, berjudul Bunga Seroja dari puan Datuk Siti Nurhaliza. Kini, syairnya, sayang lebih serupa lagu pop untuk remaja Melayu yang saat ini semerbak adatnya, tak lagi ber-indai dan berkain sarung sehari-harinya. Mengaji, menuju surau di tengah gelap pulang ke rumah membawa obor dan mendekap kitab suci.

Suatu hal yang sempat hadir dalam benak Nayo terpikirkan sejenak, jika mungkin niat urung, karena bising labirin keong racun, di meja restoran yang membuatmu bisa jatuh tergelatak, setelah usai menikmati sepiring seafood, kerang, keong, dan tripang laut. Yang bisa membuat seseorang bukan saja membuat tubuh seseorang itu, terjungkal dan tak sadarkan diri tapi juga berakibat fatal sehingga membunuhmu, karena peningkatan kolesterol, jika seseorang memiliki problem gejala kolesterol dalam darah atau penyakit gula, karena kelebihan kadar glukosa, dalam darah. Yang berdampak kepada kadar kolesterol tinggi. Yang tak hanya, sanggup mengantarmu ke rumah sakit, yang mungkin dapat berakhir dengan diagnosa stroke oleh dokter yang menangani di rumah sakit. Dan seperti yang pernah terjadi di saat itu. Bertepatan dengan pelaksanaan akad pernikahan kedua mempelai berlangsung. Dimana, seorang wanita yang belum lagi renta pernah memecahkan pembuluh syaraf ke otaknya dan membuatnya tak sadarkan diri, oleh status koma di rumah sakit. Setelah sepulang dari restoran ini pada malam harinya. Sungguh merupakan sebuah kisah tragis yang membunuh siapa saja yang membacanya, dalam sebilah sepi yang sunyi di dalam dilema lamunan yang melintas panjang. Bagi, Nayo malam itu, mengunyah sepotong steak daging sapi, mengutarakan kisah di malam itu. Di sebuah restoran seafood di kota Batam. Dengan, kondisi giginya, yang telah rapuh keropos seluruh.

"Dasar, kau keong racun!" 

Bisik, di dalam hati kecil, Nayo, kepada menu masakan seafood di atas meja.

Tak, kunjung beranjak pergi, haru, hari ini di penghujung tabir waktu, musim-musim berganti hujan di akhir bulan Juni. Di tahun-tahun yang berlalu.

Dan, saat - hujan, belum lagi terbayar, oleh dingin gigil cuaca mendung malam itu hingga lunas dan usai. Namun, segala kisahmu, lunas mengenang Lara Luka meski, pun itu di atas meja, penantian janji berkencan dan menari liuk jemari masih berada di tengah kenangan, malam yang manis dan penuh dengan cinta, dan janji-janji, yang belum lagi usai, terwujud oleh pelita harapan yang masih tak selesai.

Dan, di dalam pantun yang abadi pun namamu pastilah, masihlah Lara Luka yang belum lagi segata bersusun empat bait bersemi isinya, yang masih sampiran. Sedang matahari kelabu, membelok ke arah senja di hati. Kini, surat tak berkasih-, sayang dan cinta kepada alamat, yang kemana. Engkau, tetaplah saja Lara Luka bidadariku. Petik, Nayo memukul piring dengan bedana bilah sumpit.

Nayo, menutup buku harian yang di tulisnya. Mendekap bantal guling di atas kasur berdipan kayu Jati, asal Jepara.

Sementara, labirin, suara adzan Isya selepas waktu sholat Maghrib, membincangkan, dan mendendangkan kisah di telinga malam, mendengar gerutu, anak manusia di bawah temaram bokhlam lampu tidur, yang redup tertidur. Cinta, pada kekasih, tak kunjung sampai, dalam secercah pandangan mata di dalam mimpi, sementara akal-budi pekerti yang baik, masih tetap harus terkenang jua.

------------

Minggu, pagi langit menopang luasnya warna semerbak biru, angkasa dunia dirgantara, di atas nafas udara kepulauan Batam. Di atas bangku penerbangan pesawat udara jenis Boeing, Garuda Airlines, terbang membawa kembali, sepucuk surat cinta, dan selembar harapan di hati. Yang sudah mati. Terdiam membisu dari kata. Namum, masih saja waktu tak tersampaikan maksud risalah di hati ini.

Di telinga, dengan earphone pesawat, menghalangi bising dan bising kipas di dalam kamar malam itu, berlalu, dari pandangan kota Batam. Beberapa catatan, dan suara bergema dari restoran seafood, dan buntut labirin cakang sang keong, menjadi lagu yang berputar di labirin telinga, kini.

--------------------

"Dasar, kau! keong racun." Uh!" Ujar, Nayo berkeringat dan terbangun dari mimpi, bergegas memeriksa tas miliknya, dan menatap Tanjung di sisi dipan, di atas kasur tertidur pulas, karena terlampau letih melukis dunia di atas kanvas putih miliknya.

"Ah! Dasar, keong!" 

Kata, Nayo seakan-akan merasa kesal sambil meraih gelas air putih di sudut atas meja kecil, di tepi sudut ranjang dipan, tempat jam Weker, berbunyi, berdering, di dalam kaca waktu, sudah, pukul. 05.00 subuh, di Losari.

A. Wansa Al-faiz (El-Sabat).

Bandar Lampung, Rabu, 15 Juni 2022.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun