Suatu hal yang sempat hadir dalam benak Nayo terpikirkan sejenak, jika mungkin niat urung, karena bising labirin keong racun, di meja restoran yang membuatmu bisa jatuh tergelatak, setelah usai menikmati sepiring seafood, kerang, keong, dan tripang laut. Yang bisa membuat seseorang bukan saja membuat tubuh seseorang itu, terjungkal dan tak sadarkan diri tapi juga berakibat fatal sehingga membunuhmu, karena peningkatan kolesterol, jika seseorang memiliki problem gejala kolesterol dalam darah atau penyakit gula, karena kelebihan kadar glukosa, dalam darah. Yang berdampak kepada kadar kolesterol tinggi. Yang tak hanya, sanggup mengantarmu ke rumah sakit, yang mungkin dapat berakhir dengan diagnosa stroke oleh dokter yang menangani di rumah sakit. Dan seperti yang pernah terjadi di saat itu. Bertepatan dengan pelaksanaan akad pernikahan kedua mempelai berlangsung. Dimana, seorang wanita yang belum lagi renta pernah memecahkan pembuluh syaraf ke otaknya dan membuatnya tak sadarkan diri, oleh status koma di rumah sakit. Setelah sepulang dari restoran ini pada malam harinya. Sungguh merupakan sebuah kisah tragis yang membunuh siapa saja yang membacanya, dalam sebilah sepi yang sunyi di dalam dilema lamunan yang melintas panjang. Bagi, Nayo malam itu, mengunyah sepotong steak daging sapi, mengutarakan kisah di malam itu. Di sebuah restoran seafood di kota Batam. Dengan, kondisi giginya, yang telah rapuh keropos seluruh.
"Dasar, kau keong racun!"Â
Bisik, di dalam hati kecil, Nayo, kepada menu masakan seafood di atas meja.
Tak, kunjung beranjak pergi, haru, hari ini di penghujung tabir waktu, musim-musim berganti hujan di akhir bulan Juni. Di tahun-tahun yang berlalu.
Dan, saat - hujan, belum lagi terbayar, oleh dingin gigil cuaca mendung malam itu hingga lunas dan usai. Namun, segala kisahmu, lunas mengenang Lara Luka meski, pun itu di atas meja, penantian janji berkencan dan menari liuk jemari masih berada di tengah kenangan, malam yang manis dan penuh dengan cinta, dan janji-janji, yang belum lagi usai, terwujud oleh pelita harapan yang masih tak selesai.
Dan, di dalam pantun yang abadi pun namamu pastilah, masihlah Lara Luka yang belum lagi segata bersusun empat bait bersemi isinya, yang masih sampiran. Sedang matahari kelabu, membelok ke arah senja di hati. Kini, surat tak berkasih-, sayang dan cinta kepada alamat, yang kemana. Engkau, tetaplah saja Lara Luka bidadariku. Petik, Nayo memukul piring dengan bedana bilah sumpit.
Nayo, menutup buku harian yang di tulisnya. Mendekap bantal guling di atas kasur berdipan kayu Jati, asal Jepara.
Sementara, labirin, suara adzan Isya selepas waktu sholat Maghrib, membincangkan, dan mendendangkan kisah di telinga malam, mendengar gerutu, anak manusia di bawah temaram bokhlam lampu tidur, yang redup tertidur. Cinta, pada kekasih, tak kunjung sampai, dalam secercah pandangan mata di dalam mimpi, sementara akal-budi pekerti yang baik, masih tetap harus terkenang jua.
------------
Minggu, pagi langit menopang luasnya warna semerbak biru, angkasa dunia dirgantara, di atas nafas udara kepulauan Batam. Di atas bangku penerbangan pesawat udara jenis Boeing, Garuda Airlines, terbang membawa kembali, sepucuk surat cinta, dan selembar harapan di hati. Yang sudah mati. Terdiam membisu dari kata. Namum, masih saja waktu tak tersampaikan maksud risalah di hati ini.
Di telinga, dengan earphone pesawat, menghalangi bising dan bising kipas di dalam kamar malam itu, berlalu, dari pandangan kota Batam. Beberapa catatan, dan suara bergema dari restoran seafood, dan buntut labirin cakang sang keong, menjadi lagu yang berputar di labirin telinga, kini.