KEONG RACUN.
- cerpen.
Pada - debur pantai yang berlari-lari dan langkah, kakinya yang menginjak menapaki butir-butir pasir putih, pantai Losari. Dia kembali menyanyikan, lagu populer, dari dua Jelita-panggung itu, dalam gelegar gema industri musik di tanah air.
Nampaknya, industri musik, pada waktu itu, bagi Nayo, masih belum berkenan, untuk berhenti dalam memfasilitasi penayangan trend, dari lirik lagu tersebut. Membincangkan, susila, dalam klise cinta asmara, yang terjatuh ke dalam dilema jurang yang curang, dan mencurigai satu dengan yang lain sebagai pasangan.
"Oh, Jelita!"
Tukas, Nayo berbisik lirih demi mengilhami sebutannya bagi penyanyi pelantun lagu keong racun tersebut. Dan berusaha, menjawab panggilan ide di pikirannya, tentang setengah kisah dari lagu, tersebut. Dan, dengan berbisik lirih, seraya memuji keindahan pada metafora kata-kata pada logika lagu tersebut bekerja terhadap harmoni lagu tersebut. Di dalam pikiran, semisal frekuensi suara gemericik sebuah radio butut, yang kerap di sebut orang "cawang" di masa yang telah lampau.
"Dasar kau keong racun!"
Sambil, memegangi sebentuk cakang keong laut di pantai lepas Losari. Nayo, mengulangi, lirik itu dengan setengah berteriak di tepi pantai. Lagu lain, yang mungkin akan tercipta di telinganya itu, saat melihat pusaran, labirin pada cakang ekor keong laut. Yang, kemudian berdendang di labirin telinganya.
Dan, tanda-tanda pola-pola yang tergambar, dalam luasnya alam semesta raya ini.Â
"Dia, Tuhan semesta alam ini," tentulah yang mengasuh semua yang terjadi pada dunia ini." Bisik, lembut di hati Nayo berkata.
Dan, yang, membuatnya terdiam dalam do'a, terguyur keindahan ciptaan-Nya. Dan dia penuh misteri ungkapnya kepada diri sendiri, di dalam sela-sela, semesta gelisah pikirannya yang terkadang bertanya-tanya.