Mohon tunggu...
Ahmad Syarief Hidayatullah
Ahmad Syarief Hidayatullah Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

Nama saya ahmad syarief hidayatullah jurusan sejarah peradaban islam UIN SGD bandung

Selanjutnya

Tutup

Analisis

hubungan antara hukum islam dan hukum adat

17 Desember 2024   18:20 Diperbarui: 17 Desember 2024   18:05 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Catatan mengenai Hukum Adat

Pada umumnya dalam sistem hukum Indonesia tradisional terdapat hukum yang tidak tertulis yang tidak dikodifikasikan. Hukum yang tidak tertulis itu dinamakan Hukum Adat yang merupakan sinonim hukum kebiasaan. Apabila dijumpai hal-hal yang tertulis, maka itu merupakan Hukum Adat tercatat (beschreven adatrecht) dan Hukum Adat yang didokumentasikan (gedocumenteerd adatrecht). Pada umumnya Hukum Adat yang tereatat merupakan hasil penelitian para ilmuwan yang kemudian dibukukan dalam bentuk monografi. Hukum Adat yang didokumentasikan merupakan pencatatan Hukum Adat yang dilakukan oleh para fungsionaris atau pejabat.

Setelah merdeka dan berdaulat penuh, struktur politik Indonesia mengalami perubahan sampai dasar-dasarnya. Akan tetapi masyatakat Indonesia yang merupakan negara baru pada waktu itu, diwarisi suatu sistem hukum majemuk. Suatu masalah kemudian timbul, yaitu bahwa bagian terbesar masyarakat Indonesia yang masih tinggal di wilayah pedesaan masih menganut Hukum Adat, sedangkan Indonesia yang melaksanakan pembangunan nasional memerlukan suatu sistem hukum yang seragam, yang sebanyak mungkin diberi bentuk tertulis.

Apabila Hukum Adat dianggap sebagai suatu sistem hukum, maka timbul pertanyaan apakah yang merupakan aspek-aspek pokok sistem tersebut. Secara umum dapat dikatakan, bahwa aspek-aspek pokoknya adalah, sebagaiberikut (Soerjono Soekanto 1981 : 27):

  • adanya pengaruh yang menentu-* kan dari sistem kemasyarakatan, yang dapat dikembalikan pada faktor kekerabatan dan faktor ikatan tempat tinggal.
  • fungsi utamanya adalah untuk menyerasikan hak dan kewajiban pdbadi dengan hak dan kewajiban umum, serta alam sernesta.
  • sistem Hukum Adat merupakan refleksi yang konkret dad harapan masyarakat, yang didasarkan pada sistem nilai-nilai yang berlaku.
  • sistem Hukum Adat merupakan sistern hukum yang tidak tertulis.
  • yang terpenting adalah adanya harmoni internal dan eksternal; dikenakannya sanksi negatif terhadap pelanggaran, merupakan suatu sarana untuk mencapai tujuan itu.
  • cara pemikiran yang bersifat induktif, walaupun ada unsur-unsur yang bersifat umum. Mengenai hal ini Hooker menyatakan bahwa unsur-unsur itu adalah (M.B. Hooker 1978: 25) :
  • . . . the distribution of obligation is often a function of an actual or putative genealogical relationship;
  • . . . . the community, whether defined on a genealogical or a territorial basis, almost always has a greater right over land distribution than the individual prossessor of occupant;
  • . . . . the institution of to long menolong . . . and gotong-roy ong . . . exemplify the individual's subjection to a common set of obiligations.
  • . . . . all the adats posit the preservation of harmony between the community and nature.
  • cita-cita tentang kedaulatan tidak diformulasikan sebagai sesuatu yang * secara mutlak harus dipatuhi. Citacita itu lebih diwujudkan dalam konsepsi ten tang dunia yang nyata. dimana manusia dan alam semesta merupakan bagian dari suatu kesatuan yang bulat dan menyeluruh.

Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa Hukum Adat bersumber pada masyarakat. Akan tetapi, oleh karena Hukum Adat merupakan abstraksi dati sumber terse but yang dilakukan oleh penguasa adat atau kelompok sosial, maka tidak selalu Hukum Adat itu adil bagi warga masyarakat. Adanya penyimpangan-penyimpangan tertentu yang bukan merupakan delik adat, merupakan suatu bukti bahwa Hukum Adat tidak selalu adil. 

Catatan mengenai hukum islam

Pembahasan mengenai pokok-pokok Hukum Islam ada baiknya diawali dengan pernyataan yang pernah dilontarkan oleh Coulson, sebagai berikut (Noel J. Coulson 1969: I):

"1slam means total submission and surrender to Allah. It is therefore the will of the Muslim God, and that will alone, which determines the ultimate values and purpose of human life. The fundamental question of the nature 'of law is answered for Muslim' jurisprudence, in terms that admit of no compromise, by the religious faith itself. Law is the divinely ordained system of God's commands. To deny this principle would be, in effect, to renounce the religious faith of Islam. ' But while law in Islam may be God* given it is man who must apply the law. God proposes; man disposes. And between the original divine proposition and the eventual human disposition is interpreted and extensive field of intellectual activity and decision. "

Selanjutnya Coulson menyatakan, bahwa (Noel J. Coulson 1969: 2)

". . . jurisprudence in Islam in the whole process of intellectual activity which ascertains and discovers the terms of the divine will and transforms them into a system of legally enforceable rights ' and duties. It is within, but only within, these strict terms of reference that the tensions and conflicts is Islamic legal thought arise. " Hal yang disebut oleh Coulson sebagai "tensions" dan conflicts" mencakup hal-hal, sebagai berikut: 1. Revelation and Reason 2. Unity and Diversity 3. Authoritarianism and Liberalism 4. ledalism and Realism 5. Law and Morality 6. Stability and change.,

Sebenarnya hal-hal itu merupakan antinomi, artinya, pasangan nilai-nilai yang kadang-kadang bersitegang.

Dari penjelasan singkat di atas dapat ditarik suatu kesimpulan sementara, yakni bahwa Hukum Islam mencakup segala bidang kebidupan. Hal itu mencakup hubungan antara manusia dengan Allah, hubungan antara - manusia dengan alam maupun sesamamanya, dan hubungan antara manusia dengan dirinya. HukumIslam merupakan hukum yang berdiri sendiri dan mempunyai sumber yang bersifat mutlak, yakni AI-Quran dan Hadits, yang tidak dapat diubah atau diganti oleh manusia. Akan tetapi yang terdapat dalam AI-Quran dan Hadits mencakup pokok-pokok Hukum Islam, yang dapat dikembangkan sesuai dengan perkembangan masyarakat, asalkan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Ayat-ayat Al Quran yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum disebut ayat ahkam, baik yang mengenai ibadat maupun mu 'amalat. Menurut catatan Harun Nasution berdasarkan sumber lain, maka terdapat 228 ayat ahkam yang menjadi sumber bagi Hukum Islam yang mengatur hidup masyarakat manusia. Ayat-ayat tersebut pada umumnya berisikan dasar-dasar dan prinsip-prinsip tanpa penjelasan atau perincian lebih lanjut (Harun Nasution 1980: 2). OIeh karena itu, maka para sahabat dan ulama Hukum Islam memerlukan hadits sebagai surpber kedua Hukum Islam, yang jumlahnya sekitar 4500 yang pada umumnya memberikan penjelasan terhadap hukum yang disebut dalam Al-Quran. Dalam perkembangan selanjutnya timbullah ijtihad, yang menjadi sumber ketiga Hukum Islam, yang kemudian menimbulkan mazhab-mazhab hukum dalam Islam. Menurut Harun Nasution, maka (Harun Nasution 1980: 5):

Dalam Hukum Islam diokui bahwa situasi dan kondisi dapat mengubah hukum. Mengenai ini Mahmasuni menulis:

"Oleh karena kepentingan umatlah! yang menjadi dasar dari segala hukum, sebagai telah kami jelaskan sebelumnya, maka hukum harus berubah sesuai dengan perobahan zaman dan perubahan lingkungan masyarakat. Benarlah Ibn AlQayyim ketika ia mengatakan bahwa fatwa berubah dan berbeda dengan perubahan zaman, tempat, situasi, niat dan adat-kebiasaan."

Sejarah Hukum Islam menyatakan bahwa perubahan hukum terjadi bukan hanya dalam bidang hukum hasil ijtihad ulama, tetapi juga dalam bidang hukum yang ditentukan AI-Quran sendiri.

Dari catatan-catatan itu dapat ditarik kesimpulan, bahwa walaupun Hukum Islam bersumber pada ajaran-ajaran Tuhan Yang Maha Esa, akan tetapi sifatnya sarna sekali tidak statis dan senantiasa dapat mengikuti perkembangan masyarakat.

Hubungan Hukum Islam dan Hukum Adat dalam sistem Hukum Indonesia

Dahulu, Indonesia merupakan negara yang dijajah oleh bangsa Barat berabad lamanya. Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, terjadi pluralisme hukum atau keanekaragaman hukum. Hal tersebut tergambar pada penggolongan penduduk atas berlakunya Pasal 163 IS (Indische Staatsregering) serta Pasal 131 IS tentang hukum yang berlaku.

Pada masa tersebut, penduduk Indonesia dibagi menjadi tiga golongan penduduk. Ketiga golongan penduduk itu pun memiliki ketentuan hukumnya sendiri-sendiri yang jelas berbeda antar golongan satu dan golongan lainnya. Menurut Pasal 163 ayat (1) IS, ketiga golongan penduduk tersebut antara lainya Golongan Eropa, Golongan Timur Asing, serta Golongan Bumiputera. Keberadaan penggolongan penduduk ini makin memperlancar politik devide et impera dan memecah belah masyarakat Indonesia.

Ketika Indonesia merdeka, terdapat peninggalan Belanda untuk Indonesia yaitu peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Belanda untuk menjajah Indonesia. Sebagian dari perundang-undangan tersebut sampai saat ini masih berlaku di Indonesia.

Sementara itu, penggolongan penduduk yang dahulunya terdapat tiga, saat ini hanya dua yaitu, Golongan Warga Negara Indonesia dan Golongan Warga Negara Asing. Semua itu mempengaruhi bagaimana sistem hukum di negara Indonesia hingga sekarang.

Pada masa politik hukum kolonial, Belanda menempatkan Hukum Islam sebagai bagian dari Hukum Adat. Namun, dalam perkembangannya pasca kemerdekaan Indonesia, bermunculan teori yang membantah masuknya Hukum Islam ke dalam bagian Hukum Adat.

Pada masa penjajahan Belanda, setidaknya terdapat dua pendekatan kebijakan pemerintah waktu itu terhadap pemberlakuan Hukum Islam, yaitu pada masa VOC dan masa pemerintahan Hindia Belanda. Pada zaman VOC berkuasa, Hukum Islam telah mendapat legalitas yaitu adanya resolusi pemberlakuan kumpulan hukum perkawinan dan hukum kewarisan yang dikenal dengan Compendium Freijer.

Politik hukum penguasa Indonesia pasca-kemerdekaan turut mendorong kenyataan yang berkembang, seperti penghapusan peradilan adat (adatrechspraak) secara berangsur angsur. Hapusnya pengadilan Adat telah merusak dan menggerus kekuatan hukum Adat sebagai suatu sistem hukum yang berlaku di Indonesia, sebaliknya Hukum Islam memperlihatkan penguatan peradilan agama yang terakhir ini diatur berdasarkan UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Eksistensi Hukum Islam semakin menguat dengan berlakunya sejumlah peraturan perundang-undangan dalam bidang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) (Sukuk), Perbankan Syariah, Pengelolaan Haji, Pengelolaan Zakat, dan lain-lainnya, serta sebagai suatu sistem hukum, Hukum Islam yang mengusung nilai-nilai Islami (Prinsip-prinsip Syariah), semakin memberi arti dalam pola perilaku bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Meskipun, secara konstitusional ditegaskan bahwa Indonesia bukan negara berdasarkan atas Hukum Islam, namun dalam tataran implementatif, kedudukan dan peran Hukum Islam sebagai bagian dari sistem hukum nasional dihadapkan pada berbagai tantangan.

Pada dasarnya, semua orang mengakui adanya hubungan antara Hukum Islam dan Hukum Adat. Namun, yang menjadi diskursus bersama ialah sejauh mana hubungan itu telah terjadi dan sejauh mana hubungan tersebut terjadi di daerah Indonesia.

Hal yang patut kita pahami bersama ialah bagaimana hubungan antara Hukum Islam dan Hukum Adat terjadi. Hubungan tersebut nyatanya atas dua hal. Pertama, penerimaan terhadap hukum di masyarakat. Hal ini terlihat ketika Hukum Islam diterima oleh masyarakat Indonesia seperti halnya Provinsi Aceh yang menerapkan Hukum Islam secara konsisten serta hukum perkawinan dan hukum waris yang digunakan di seluruh Indonesia. Selanjutnya, kedua, agama Islam mengakui keberadaan Hukum Adat, namun dengan syarat tertentu. Beberapa wilayah yang mempergunakan hubungan antara Hukum Islam dan Hukum Adat seperti pembagian gono-gini di masyarakat Jawa, Gunakaya di Sunda, Hareuta Sihareukat di Aceh, Druwe Gabro di Bali, dan lain sebagainya. Saat ini, di era Revolusi Industri 4.0, perkembangan berbagai aspek kehidupan nyatanya makin menggerus 'kemesraan' antara Hukum Islam dan Hukum Adat.

Itulah yang menjadi tantangan pada kedua sistem hukum di Indonesia ini.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

file:///C:/Users/ACER/Downloads/Hubungan_Hukum_Adat_dengan_Hukum_Islam.pdf

https://kawanhukum.id/hubungan-hukum-islam-dan-hukum-adat-dalam-sistem-hukum-indonesia/4/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun