Peradaban Barat modern[1] adalah pihak yang dianggap harus bertanggung jawab atas terjadinya krisis dan dekadensi humanistik. Desakralisasi sains sebagai dampak dari renaisans di barat telah melahirkan paradigma materialistik, bahkan di era post-positivisme sekarang, segala sesuatu harus terukur pada kebenaran logis empiris, sehingga kebenaran diukur melalui proses verafikasi. Aktivitas ilmiah kemudian melepas unsur illahi pada alam, baik bernuansa metarialisme atau naturalisme.[2] Paradigma yang demikian mengakibatkan dimensi spiritual humanistik dalam ajaran agama terdistori oleh pola pikir yang rasional dan materialistik.
Sayyed Hossein Nasr adalah salah seorang pemikir kontemporer islam terkemuka di amerika (setelah meninggalnya Fazlur Rahman dan Isma’il raji al-Furuqi). Dalam kapasitas dan posisi yang ada, Nasr mencari alternatif baru dengan menggunakan pendekatan filsafat dan tasawuf. Nasr tampil sebagai juru bicara, baik kepada masyarakat barat maupun masyarakat islam di timur. Kepada dunia barat ia menyarankan pemikiran islam sebagai alternatif nilai dan way of life, sementara pada dunia islam ia memberitahukan bahwa barat tengah mengalami kebangkrutan spiriitual yang tidak cukup dipahami oleh dunia islam di timur.
Dalam beberapa buku tulisan Nasr, mengesankan adanya dua arus pemikiran yang dikonfrontasikan antara satu dengan yang lain yaitu paham metafisika barat di satu pihak dan paham metafisika islam di pihak lain. Yang terakhir ini menekankan paham sufisme, meskipun Nasr sendiri nempaknya belum sampai pada tingkat seorang sufi sebagimana tokoh-tokoh sufi yang dikenal di dunia islam. Akan tetapi Nasr justru mempunyai orisinalis tersendiri pada batas-batas tertentu yakni dia meramu paham sufisme yang dikuasai dengan pengalaman dan hasil studinya di barat, untuk mencari alternatif jawaban bagi problem manusia modern. Istilah modern berulang-ulang dia kemukakan meski dalam pengertian kurang jelas. Akan tetapi melihat konteksnya, istilah tersebut merujuk pada pandangan dan cara hidup masyarakat di barat.
PEMBAHASAN
Riwayat Hidup Seyyed Hossein Nasr
Seyyed Hossein nasr adalah seorang filosof muslim terkemuka yang namanya telah diabadikan dalam serial The Lining Philosepher [1]. Ahli dibidang filsafat ilmu, teknologi, dan ilmu-ilmu tradisional islam serta salah satu penulis terkemuka di barat dengan penjelmaan akan nilai-nilai tradisional.
Seyyed Hossein Nasr lahir pada tanggal 17 april 1933 di teheran iran, dari keluarga ahli bait yang terpelajar. Ibunya terdidik dalam keluarga ulama, sedangkan ayahnya Seyyed Waliyullah Nasr adalah seorang dokter dan pendidik pada dinasti Qatar yang diangkat sebagai penjabat seatingkat menteri pada masa Reza Pahlevi (Khudori Sholeh, 2003: 380-381).
Setelah Nasr mendapatkan pendidikan dasar tradisional Iran yang masih mengakar kuat didalamnya nilai-nilai islam tradisional dia pindah ke Qum untuk mengkaji ilmu kalam, tasawuf, dan filsafat. Selanjutnya menempuh pendidikan di Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan Harvard University Amerika Serikat. Di Massachusetts Institute of Technology (MIT) Seyyed Hossein Nasr memperoleh gelar B.S dan M.A dalam bidang fisika, sedangkan di Harvard University dalam bidang geologi dan geofisika (Khudori Shaleh, 2003:37).
Pendidiikan yang dilaluinya di dua Universitas ini dan pertemuannya dengan Bertrand Russel telah mengubah haluan pendidikan dengan memilih philosopy and history of science dalam spesialis Islamic Science and Philosopy, sampai maraih gelar Ph.D. pada tahun 1958, dengan disertai berjudul Science and Civilzation in Islam. Spesialisasi tersebut memberi academic credential pada sayyed Hossein Nasr untuk berbicara tentang diskursus intelektual barat. Setelah itu kembali ke Iran dan mengajar di Universitas Teheran bersama beberapa tokoh terkemuka. Saat terjadi revolusi Iran pada 1979 dia masih menjabat sebagai direktur Imperial Iranian, academy of Philosofy (Khudori Sholeh, 2003: 37).
Popularitas yang dicapai oleh Seyyed Hossein Nasr menjadikannya orang muslim dan orang timur yang mendapat kesempatan untuk menyampaikan pidato dalam Gifford Lecture, sebuah forum sangat bergensi bagi kalangan teolog, filosof, dan saintis Amerika dan Eropa sejak didirikan pada tahun 1889 di Universitas Edinburg. Peristiwa yang terjadi pada tahun 1981 ini di gunakannya untuk menyajikan beberapa aspek kebenaran yang terletak dijantung tradisi-tradisi timur dan di jantung semua tradisi (Khudori sholeh, 2003: 382).
Berbagai prsentasi yang sangat tinggi dan menonjol yang telah dicapai oleh seyyed hossein nasr menghantarkannya untuk menjadi seorang profesor kajian islam di universitas George Washington D.C Amerika Serikat (Jane, 1995: 230).
Latar belakang Seyyed Hossein Nasr
Pendidikan tradisional yang didapat oleh Nasr telah membawanya untuk melihat dunia barat modern yang saat itu sangat menarik sekaligus mengancam. Ia memilih mempelajari sains, dan fisika karena menurutnya sains akan memenuhi keinginannya untk mengerti akan hakikat dari segala sesuatu yang dihadapinya, Nasr sendiri menulis: saaya tertarik dalam sains sejak masih muda sekali. Saya pikir melalui sains saya dapat mengungkap hakikat sesuatu; tetapi saya sadar bahwa pencapaian akan hakikat realitas sama sekali bukan menjadi pesan sains modern (Adnan Aslan. 2004: 22)
Meskipun pendidikanyang dijalankannya dalam studi sains terutama fisika tidak terlalu lama, akan tetapi dari studi inilah mengilhami Seyyed Hossein Nasr untul melihat realita manusia modern dari berbagai aspek-aspeknya.
Kauatnya nilai-nilai tradisional yang terdapat dalam diri Seyyed Hossein Nasr yang terdidik dengan dasar dari orang tuanya menciptakannya untuk menjadi orang tradisionalis. Disamping itu kedua orang tua terkemuka, Frithof Schuon dan Titus Burckhardt yang pertama adalah guru spiritualnya dan yang kedua temen dekatnya telah memainkan peranan penting ketika Seyyed Hossein Nasr menjatuhkan pilihan pada filsafat parenial.
Kehadiran Schuon bagi Seyyed Hossein Nasr di zaman modern bukan tanpa arti. Kehadiiran Schuon telah memberikan sumbangan yang sangat berarti dalam pengembangan pemahaman terhadap pengurain akan semua masalah eksistensi manusia dalam tujuan pengetahuan suci (Adnan Aslan. 2004: 22)
Nilai-nilai esoteris yang dimiliki oleh Seyyed Hossein Nasr banyak dilalui dengan persahabatannya dengan Titus, dialah yang banyak mengilhaminya. T. Burckhardt yang banyak menulis tentang esotetisme islam, seni dan seni islam merupakan tokoh utama mahzab shopia perennis (Adnan Aslan. 2003: 22)
Sejarah Sains dan Hilangnya Rujukan Transenden
Pembicaraan tentang pemikiran Nasr tidaklah lengkap bila tanpa menyinggung pandangannya tentang kedudukan sains dalam islam. Dan bidang inilah yang semula menjadi keahlian profesionalnya. Semua gelar formal yang diperoleh di MIT dan Harvard berkenan dengan sejarah sains (islam) ini. Sejauh menyangkut bidang tersebut setidaknya ia menulis karya-karya penting:
- Islam Science: An Illustrated Study (1976)
- Sciencce and Civilization in Islam (1967)
- Knowledge and The Sacred (1989)
Secara historis, pada mulanya sains tradisional memang sudah berkembang jauh sebelum yunani, berbagai mazhab sains tradisional tersebut adalah india, china, banylonia, mesir dan seterusnya. Suatu prestasi yang luar biasa dicapai oleh para ilmuan muslim yang mampu menyerap berbagai sains tradisional tersebut, inilah yang sangat membedakanya dari segi capaian tingkat pengetahuan dari tradisional sains di barat. Islam mewarisi aspek-aspek tertentu dari warisan ilmiah dunia mediterania yang tidak sampai di tangan yunani, islam menyerap hampir sekuruh himpunan sains aeistotelian, termasuk berbagai karya-karya komentator Alexandira berikut satelit-satekitnya di pergamon dan segi esoteris sanis yunani yang berkaitan dengan pythagoreanisme dan hermetisme.
Menurut Nasr tidak seluruh sanis kuno sampai ke dunia barat kristen. Sabagian besar warisann Aristotelian, Hermetisisme dan pythagoreanisme belum diketahui di eropa hingga milenium kedua masehi. Karena itulah warisan sains barat dan sains islam tidak sama. Hanya saja fakta menunjukkan bahwa keduannya sama-sama mewarisi sains dari dunia yang sama berikut cara pandangnya terhadap konsep, hukum kausalitas, dan kosmologi umum yang diambil dari sumber-sumber serupa, meskipus mereka masing-masing mengembakan konsep warisan yang berbeda dan berlainan.[2]
Karena kriten dan islam termasuk rumpunan agama yang sama dalam mahzab monoteisme, maka sebelumnya pada mulu sains berkembang di barat kristen berada sepanjang garis yang sama dalam peradaban sains islam tradisional. Paralesisme ini terutama disebabkan oleh kesamaan metode, gagasan kosmologis dan filosofis tentang materi, gerak dan sebagainya serta tujuan sains-sains alam sebagai sarana untuk menemukan hikmah tuhan yang ada dalam sains islam. Hal ini terbukti di abad pertengahan muncul mazhab Chartes, Albertus Magnus, Robet Grossetetes, Roger Bacon, Raymond Lull dan seterusnya. Mengembangkan sains yang memiliki sifat, metode, dan lingkup yang sama dengan sains-sains di kalangan kaum muslimin.
Corak Pemikiran Seyyed Hossein Nasr
Mengkategorikan seorang tokoh dalam suatu pemikiran tertentu tidaklah begitu mudah. Salah satu alasan kesulitannya adalah banyaknya hasil-hasil pemikiran yang disampaikannya. Begitu juga dengan jalur pemikiran Seyyed Hossein Nasr. Pemikiran Nasr sangat kompleks dan multidemensi. Dapat dilihat dari karya-karyanya yang membahas berbagai topik mulai dari persoalan manusia modern, sains, ilmu pengetahuan, seni sampai pada sufisme. Mengingat kompleksitas pemikirannya, harus diakui sangat sulit memasukkan Seyyed Hossein Nasr kedalam suatu tipologi tertentu yang pernah dibuat beberapa ahli (Azyumardi Azra, 2002:193).
Sebagian orang mungkin akan menggolongkan Seyyed Hossein Nasr sebagai noe-modernis mengiat kepeduliannya kepada konformitas isalm dengan dunia modern, apalagi ia meyakini bahwa islam dengan watak universalnya dan perenialnya mempu menjawab tantangan spiritual dunia modern (Adnan Aslan. 2004:193). Karakteristik lain yang dapat diliat dari Seyyed Hossein Nasr adalah sebgai cendekiawan muslim yang dibesarkan dalam dunia “tradisi islam tradisional dan barat modern”. Seperti akuinya, ia sebenernya hidup dalam tension (ketegangan) yang berlanjut (Azyumardi Azra,1993: 106).
Kritik Nasr atas problem Modernitas
Kata modern dan beberapa kata jadiannya memiliki arti: moderate (orang moderat atau tidak ekstrim), moderator (penengah), modernistic (model baru), modernity (kemodernan), modernize (memodernkan), Modern juga bisa kekinian di sekarang ini. Oleh karena iitu, kata modern ini sangat tergantung pada konteks yang digunakan. Jika disebut zaman modern maka hal itu berati menunjukkan priode sejarah tertentu dari perjalanan manusia. Zaman sebelumnya lazim disebuut sebagai zaman pra-modern atau tradisional.
Bagi Nasr, term modern tidak menunjukkan suatu keberhasilan dalam penguasa atau dominasi atas dunia alam. Melainkan “modern” bearti sesuatu yang dilepas (cut off) dari yang trasenden, dari prinsip-prinsip abadi yang dalam realitas menagtur segala sesuatu yang dikenal melalu pewahyuan.[3] Dengan demikian dalam pandangan Nasr istilah modern nampak menunjuk pada pandangan dan cara hidup masyarakat di barat, dimaksudkan sebagai kaulitas kehidupan yang rasionalistik, kapitalistik, sekularistik, dan cenderung melepas pandangan keagamaan.[4] Disamping itu meski Nasr tidak bermaksud membedakan dua wilayah itu secara geografis, namun yang dimaksud barat dalam pandangan Nasr adalah suatu wilayah (geografis) yang berada dengan dunia timur, asia, china, jepang dan india misalnya. Barat adalah dunia eropa yang pada abad 17 mengalami masa renaissance.[5]
Dunia eropa mengalami masa transformasi ketika terjadi pemberontakan terhadap doktrin agama atau wahyu (kristen). Masa itu dikenal dengan renaisance yanki lahirnya kembali unsur-unsur tertentu dari paganisme yunani romawi. Dalam sejarah perjalanan barat, hal itu dimulai dari adanya revolusi sains di itali yang kemudian menyebar ke seluruh eropa. Revolusi sains menandai dimulainya pembalikan kultur zaman yang semula didominasi oleh doktrin langit menjadi dominasi manusia melalui ilmu. Oleh Nasr dan para pengkritik barat, peristiwa itu dimaknai sebagai peristiwa pemberontakan manusia terhadap kehendak ilahi. Modernitas sebagai anak kandung renaissance lahir dari spirit pemberontakan tersebut.
Keaadan tersebut memberikan pengertian kepada diri Nasr bahwa dunia modern adalah dunia yag sudah terpisah dari yang transenden dari prinsip-prinsip langgeng yang dalam reaalitas mengatur materi dan yang diberikan, maka bagi Nasr modern bukanlah kotemporer, maju, lanjut, dan berkembang tepi merupakan lawan dari tradisi, lawan dari yang sakral dan trasenden.[6]
Karena dunia modern adalah dunia yang sudah lepas terpisah dari yang trasenden, maka dunia modern bersifat sekuler. Kata sekuler sendiri berasal dari bahasa latin speculum yang bearti “zaman”. Menjadi sekuler bearti di orientalisikan pada zaman ini, yakni pada sekarang ini.[7]
Karya-karya Seyyed Hossein Nasr
Seyyed Hossein Nasr merupakan salah satu tokoh yang produktif dalam mewadahi semua pemikiran yang dimiliki, banyak karya-karyanya yang dijadikan rujukan pemikiiran para ilmuan. Karya buku seyyed hossein nasr sebagai berikut:
- An Intriduction to Islamic Cosmological Doctrin: Conseption of Nature and methodes used for study by ukhwan ash-shafa, al-biruni and ibn sina (1964)
- Three Muslim Sages: ibn sina, suhrawardi, ibn arabi (1961-1962)
- Sance and civization in isslam (1968)
- Idealis and realitas of islam (1964-1965)
- Man and nature (1968)
- islam and the plight of modern man (1975)
- sufi essays (1972)
- knowledge and though (1981)
- tradisional islam in the modern world (1987)
- islam, art and spiritualty (1987)
- a young muslim’s guide to the modern world (1993)
- the heart of islam: enduring valnes humanity (2002)
- islam: relegion, history, and civilization (1003)
Dari buku-buku diatas sumber pemikiran Seyyed Hossein Nasr dalam dimensi perenial banyak diperbincangkan, dari konsepsinya akan makna islam yang universal, dengan pesan-pesannya untuk kemanusiaan, serta dilema manusia modern dan alternatif untuk keluar dari lemaan itu sendiri Seyyed Hossein Nasr telah membahasnya dalam beberapa buku diatasnya.
KESIMPULAN
Seyyed Hossein Nasr adalah seorang filosof muslim yang terkemuka yang namanya telah diabadikan dalam sejarah dunia barat. Dengan pemikiran Seyyed Hossein Nasr sangat kompleks dan multidemensi dapat dilihat dari karya-karyanya yang membahas berbagai topik mulai dari persoalan manusia modern, sains, ilmu pengetahuan, seni sampai pada sufisme.
Sejarah perjalanan barat dimulai dari adanya revolusi sains di itali yang kemudian menyebar ke seluruh eropa. Revolusi sains menandai dimulainya pembalikan kultur zaman yang semula didominasi oleh doktrin langit menjadi dominasi manusia melalui ilmu. Oleh Nasr dan para pengkritik barat, peristiwa itu dimaknai sebagai peristiwa pemberontakan manusia terhadap kehendak ilahi. Modernitas sebagai anak kandung renaissance lahir dari spirit pemberontakan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal, kritik Hossein Nasr atas problem sains dan modernitas
file:///KritikHosseinNasrAtasProblemSainsDanModernitas-IAINLampung.pdf
Kritik Seyyed Hossein Nasr terhadap klaim kebenaran modernisme
Jurnal, Modernitas dalam perspektif Seyyed Hossein Nasr
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H