Mohon tunggu...
Ahmad Sahidin
Ahmad Sahidin Mohon Tunggu... Freelancer - Alumni UIN SGD Bandung

Orang kampung di Kabupaten Bandung. Sehari-hari memenuhi kebutuhan harian keluarga. Beraktivitas sebagai guru honorer, editor and co-writer freelance, dan bergerak dalam literasi online melalui book reading and review.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

New Normal, Pendidikan, dan Masalahnya

29 Mei 2020   21:27 Diperbarui: 30 Mei 2020   14:19 1807
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Michal Jarmoluk dari Pixabay

Sekarang ini pemerintah berupaya untuk mengubah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menjadi New Normal, yaitu adaptasi kebiasaan baru dalam hidup di tengah pandemi. Bahkan untuk Jawa Barat menetapkan pertengahan Juni 2020 dimulai untuk New Normal bagi masyarakat. 

Dengan New Normal berarti masyarakat diperkenankan kembali bekerja dan beraktivitas, anak-anak kembali ke sekolah dan pesantren, dan para guru dan dosen kembali ke ruang kelas. Para tokoh agama pun kembali ke rumah ibadah masing-masing bersama umatnya dan kembali pada lembaga pendidikan agama mereka.

Bedanya dengan situasi sebelum pandemi Covid19, yaitu saat kembali ada protocol dari pemerintah seperti memakai masker, sarung tangan, rajin cuci tangan, dan duduk berjarak sekurangnya satu meter.

Kemudian pusat perbelanjaan dan peribadatan agama serta aktivitas yang menghimpun massa pun dibolehkan lagi selama mengikuti protocol pemerintah.

Saya paham ini muncul terkait situasi menurunnya perekonomian di masyarakat. Pemerintah tidak bisa terus menanggung kebutuhan masyarakat.

Sebab penyaluran bantuan sosial masih terdapat orang-orang yang "memainkan" kemurahan pemerintah agar sesuai dengan seleranya.

Tidak peduli orang-orang lapar dan kekurangan dalam urusan kebutuhan dasar hidup. Yang penting ia senang bersama kroninya. Ini kenyataan di masyarakat yang ramai dibicarakan.

Perlu direnungkan tentang kembalinya anak ke sekolah dan pesantren, serta karyawan ke perusahaan dan pabrik-pabrik. Begitu juga pasar tradisional dan modern tidak lagi dibatasi yang hanya beberapa jam.

Aktivitas yang disebutkan tersebut terkait dengan massa yang banyak. Berkumpul dan interaksi satu sama lain. Dan ini sebenarnya yang dicegah agar penularan tidak terjadi.

Meski jumlah positif corona kian bertamah terus, pemerintah tidak punya cara jitu selain membuat protocol yang ketat. Akankah berhasil? Doakanlah. Meski selama PSBB kemarin ada saja manusia yang "nakal" alias mengabaikan protocol Covid19. Bahkan ada yang menentang dengan dalih agama dan ideologi.

Terkait dengan anak sekolah, saya kira memang suatu masalah. Di lingkungan kampung tempat tinggal saya, Kabupaten Bandung, selama PSBB dengan menetapkan pembelajaran jarak jauh atau daring bahwa situasi tersebut oleh anak-anak dianggap masa liburan. Meski ada tugas via online, orangtua yang keteteran.

Bukan hanya urusan belajar, bahkan jajan anak tidak bisa terkendalikan. Alih-alih minta uang quota, malah digunakan games online.

Tugas pun dibiarkan karena tidak ada pengawasan. Biasanya orangtua lepas saja. Ini masalah juga dalam pembelajaran jarak jauh, yaitu tidak ada tanggungjawab dan tidak ada kejujuran dari murid selama di luar sekolah. 

Saya selaku pengajar dapat mengetahui tidak seluruh anak dari satu kelas yang cepat respons dengan belajar online. Walau pemerintah buat program pendidikan di TVRI, ternyata di lingkungan saya, saat jam tayang pelajaran bahwa anak-anak lebih banyak bergerombol di luar rumah bersama teman-temannya dan nongkrong di sudut gang. Sambil megang gadget memainkan games. Saya kira efektivitas dari program TVRI pun perlu dievaluasi.

Sekarang ini memasuki tahun ajaran baru dan penerimaan pun via online. Pada bulan Juni 2020 pun kalender pendidikan menjadwal penilaian akhir tahun. Tentu akan ada masalah lagi kalau digali dari lapangan. Biarlah itu menjadi dinamika sekolah dan tantangan pendidikan di negeri ini. Biarlah itu menjadi bahan kajian para pejabat, para ahli dan praktisi pendidikan. 

Sekadar berbagi saja. Di SMP Bahtera Bandung, tempat saya mengajar, sejak didirikan berupaya menjawab tantangan zaman sehingga dalam pembelajaran tidak lepas dari teknologi informasi.

Karena itu, saat pandemi tidak bermasalah bagi guru dalam menyajikan pembelajaran jarak jauh. Mungkin yang bisa disebut masalah hanya kuota internet. Yang ini bisa diselesaikan dengan kerelaan pihak sekolah untuk menyiapkannya agar proses pembelajaran berjalan dengan baik dan lancar.

Adapun problematika yang dihadapi saat proses belajar via online adalah disiplin murid; jam belajar dan tenggat waktu penyelesaian tugas yang bermasalah.

Namun itu pun dicoba cari solusinya. Di antaranya guru menghubungi orangtua dan anak tersebut. Jadi, guru aktif dalam pembelajaran jarak jauh ini. Meski demikian, tetap saja ada murid yang cuek dengan pembelajaran online.

Saya kira dalam pembelajaran online tidak maksimal. Jarak yang memisahkan membuat gerak guru tidak maksimal karena tidak dapat mengkontrol muridnya.

Daya serap murid pun sulit terlihat kalau hanya andalkan mengerjakan tugas.  Dan orangtua pun kadang lepas tangan saja ketika anaknya mulai berkeluh kesah dengan tugas atau ketika malas belajar. Mungkin dengan kembali pada lingkungan sekolah, dengan protocol yang ketat, akan membuat setiap anak memposisikan dirinya sebagai murid. 

Sulit memang menanamkan pada anak-anak bahwa sekolah dan pendidikan (dalam hal ini belajar) adalah penting bagi mereka. Pentingnya belajar dan menjalani proses pendidikan sampai saat ini, yang saya lihat pada diri anak-anak adalah sebagai beban. Dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi, banyak mata pelajaran dan hilang begitu saja saat sudah tidak masuk dunia pendidikan.

Saya kira yang sampai saat ini terpakai dari pelajaran dari sejak kecil sampai dewasa adalah membaca, menulis, berhitung, dan agama. Itulah yang terpakai sampai saat ini.

Pelajaran lainnya, baik sosial maupun sains, hanya menjadi pengetahuan yang setelah lulus maka tidak ingat lagi. Yang teringat hanya pengalaman saja. Dan ini berharga untuk tumbuh kembang jiwa dan pemikiran anak sampai dewasa.

Korea Selatan dan Finlandia

Belajar dari Korea Selatan, ternyata kembali ke sekolah makin menambah jumlah positif corona. Finlandia pun tidak jauh beda dengan nasib Korea Selatan.

Dua negara ini kemudian mengembalikan pendidikan ke rumah masing-masing secara online dengan meminta bantuan orangtua. Saya kira semua negeri yang kena pandemi covid19 ini pun sama punya masalah dengan pendidikan dan sekolah.

Menurut saya bahwa pembelajaran jarak jauh dengan muatan (fokus) pendidikan karakter (akhlak) dan lingkungan hidup; dilengkapi dengan kecakapan hidup (lifeskills) dan literasi kebangsaan Indonesia serta pengabdian di rumah dan sekitarnya, akan jauh lebih baik ketimbang kembali ke ruang kelas. 

Di sekolah kami, SMP Bahtera, pendidikan karakter dan lifeskill dihubungkan dengan mata pelajaran regular. Saat proses belajarnya diberi kebebasan pada murid untuk kreatif dan belajar dari internet. Selanjutnya menjalani tugas sesuai dengan arahan dan bimbingan dari para guru. 

Bahkan para orangtua yang memiliki keahlian, misalnya bidang elektronika atau manajemen finansial maka diminta untuk berbagi pengalaman dan menambah wawasan para murid.

Jadi dengan hal-hal yang disebutkan itu, seharusnya pendidikan di tengah pandemi ini fokus pada pengembangan karakter anak dan kecakapan hidup (lifeskills) serta memupuk empati pada keluarga di rumah dan sekitarnya.

Masih terkait dengan SMP Bahtera bahwa hampir setiap pergantian mata pelajaran dijeda dengan istirahat selama lima belas menit. Kemudian masuk pelajaran lagi dan dijeda lagi dengan istirahat saat beres pelajaran. Begitulah terus sampai masuk jadwal shalat dzuhur dan makan siang. 

Kemudian masuk pelajaran lagi sampai jam pulang. Tentu pada setiap kali jeda (istirahat) ini dapat dimanfaatkan oleh para murid dan guru untuk cuci tangan dan berjemur, mengganti masker atau membersihkannya kalau kotor, dan lainnya. Meski dapat disesuaikan dengan protocol medis, tetapi peluang tidak aman pasti akan ada.

Banyak risiko jika dipaksakan kembali ke ruang kelas, ketika pandemi ini belum benar-benar lenyap. Kita tahu bahwa setiap hari tambah naik angka yang positif corona.

Jika tetap harus masuk ruang kelas, pastikan pelajaran regular yang diajarkan dikurangi bobot dan durasinya. Mungkin dapat fokus seperti yang dikembangkan pada sekolah kami dengan titik tekan pada karakter dan lifeskills.

Saya kira harus dipastikan saja dahulu kalau sekolah dan lembaga pendidikan benar-benar siap dan aman. Kalau sudah siap maka dapat kembali ke ruang kelas. Jangan sampai pengalaman Korea Selatan dan Finlandia terulang lagi di Indonesia. Alih-alih ingin mengurangi dan sehat, malah tambah lagi yang positif. 

Semoga saja sesuai dengan harapan dari pemerintah bahwa dengan New Normal jumlah positif corona berkurang dan masyarakat sehat lahir batin. Ya, mari kita doakan bersama. *** (ahmad sahidin)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun