Mohon tunggu...
Ahmad Rivan Riyadi
Ahmad Rivan Riyadi Mohon Tunggu... Programmer - Mahasiswa - Universitas Mercubuana

Ahmad Rivan Riyadi - 415200010007 - Ilmu Komputer/Teknik Informatika - Universitas Mercubuana - Prof Dr Apollo, M.Si.Ak,CA,CIBV,CIBV, CIBG;

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Etika Jawa Kuna dan Sedulur Papat Lima Pancer dalam Jawa Kuna

16 Juli 2023   19:07 Diperbarui: 16 Juli 2023   20:29 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Nama : Ahmad Rivan Riyadi - NIM : 41520010007 - Fakultas/Prodi : Ilmu komputer/Teknik Informatika - Universitas Mercubuana -Doesen : Apollo, Prof. Dr, M.Si. Ak, CA, CIBV, CIBG

/Etika Jawa Kuna

Etika Jawa Kuna mencakup pengembangan nilai-nilai dan prinsip moral yang telah ada di masyarakat Jawa selama berabad-abad. Etika Jawa Kuna dipengaruhi oleh berbagai agama dan kepercayaan yang berkembang di wilayah tersebut, seperti agama Hindu-Budha dan kepercayaan animisme.

Pada masa Hindu-Budha (abad ke-8 hingga ke 15 Masehi), etika Jawa Kuna terpengaruh oleh ajaran agama Hindu-Budha yang berasal dari india. Nilai-nilai seperti kesopanan, pengorbanan, dan pemenuhan tugas sosial (dharma) menjadi dasar dalam masyarakat Jawa pada saat itu. Prinsip-prinsip moral etika yang di jelaskan dalam kitab-kibat suci Hindu-Budha, seperti Ramayana dan Mahabharata, memainkan peran penting dalam membentuk nilai-nilai tersebut.

Pada abad ke-15, Islam mulai tersebar di pulau Jawa dan terbawa pengaruh yang signifikan terhadap etika Jawa Kuna. Islam memberikan fondasi baru dalam etika dan moralitas, dengan penekanan pada konsep keadilan, kejujuran, kasih sayang, dan tanggung jawab nasional. Nilai-nilai Islam secara bertahap disesuaikan dengan budaya Jawa yang sudah ada sebelumnya, menghasilkan bentuk etika Jawa Islam yang unik.

Selama periode Kesultanan Mataram (abad ke-16 hingga ke-18), etika Jawa Kuna mengalami perkembangan lebih lanjut. Konsep seperti kebijaksanaan (keblat-kablatan), laku tunggal (kesederhanaan), dan rasa syukur semakin ditekanan dalam budaya Jawa. Puisi-puisi Jawa klasik, seperti Serat Centhini dan Serat Wedhatama, menyampaikan ajaran etika dan moralitas yang menjadi panduan bagi masyarakat Jawa.

Jawa Kuna sebelum Hindu-Budha masuk dengan seperangkat otoritasnya, yang mengabadikan diri pada kehidupan sesuai ajaran tersebut. Pejabat otoritas disebut dengan wiku. Wiku adalah kata asli Jawa Kuna yang berujuk pada arti orang berstatus religius. Keberadaan wiku menunjukkan jika ada seperangkat nilai ajaran asli Jawa Kuna, yang membuat para wiku tersebut mengabadikan diri untuknya.

Kemajuan Jawa Kuna dibanding negara lain di dunia pada masanya adalah karena berkembangnya rasionalisme yang mengakar kuat dalam budaya masa lampau. Pengetahuan mengenai Jawa Kuna dapat diketahui berdasarkan peninggalan prasasti yang di tulis di atas batu lempengan logam (tembaga, perunggu, atau emas) maupun kitab-kitab kesusastraan yang menggunakan bahasa Jawa Kuna.

Kata-kata bahasa Jawa Kuna yang menggambarkan krama atau ungkapan sopan dalam berkomunikasi :

  • Kulo (Saya) : Merupakan kata ganti orang pertama untuk menyatakan diri sendiri dengan krama. Contoh penggunaannya: "Kulo sapunika seneng nyuwun pangapunten dipun panggih wonten rahina kapindho", (Saya sangat senang meminta maaf dan berharap bertemu lagi suatu hari nanti).
  • Sampeyan (Anda) : Merupakan kata ganti orang kedua untuk menyapa dengan krama. Contoh penggunaannya: "Sampeyan apik banget, sampun madhang mriksa ing pawiyatan", (Anad sangat baik, telah memberikan kontribusi yang besar dalam masyarakat).
  • Gusti (Tuhan) : Merupakan ungkapan yang digunakan untuk merujuk kepada tuhan dengan krama. Contoh penggunaannya : "Gusti Allah mugi enggal sagunging tiyang sedaya", (Tuhan, semoga engkau memberkahi kita semua).
  • Pangapunten (Maaf) : Merupakan permohonan maaf dengan krama. Contoh penggunaannya: "Pangapuntenipun sampeyan, kulo pada ngetrapaken kesalahan", (Mohon maaf, saya telah melakukan kesalahan).
  • Mugi (Semoga) : Merupakan kata pengharapan dengan krama. Contoh penggunaannya: "Mugi kabeh awak dewasa mugi lahir bathin", (Semoga segala urusan lahir dan batin kita selalu baik).
  • Nyuwun (Mohon) : Merupakan ungkapan permohonan dengan krama. Contoh Penggunaannya: "Nyuwun pangapuntenipun, kulo dipun agung-agungi padha woten kene", (Mohon maaf, saya ingin meminta perhatian semua orang di sini).

Kata-kata tersebut mencerminkan kebijaksanaan dan sikap sopan dalam berkomunikasi dalam budaya Jawa Kuna. Penting untuk menggunakan kata-kata ini dengan tepat dalam situasi  yang sesuai  untuk menunjukkan penghormatan dan adab dalam percakapan.

 

Etika Jawa Kuna merujuk pada seperangkat nilai dan prinsip yang berlaku di kalangan masyarakat Jawa pada masa lampau. Budaya Jawa memiliki tradisi yang kaya dan kompleks, etika Jawa Kuna sangat dipengaruhi oleh ajaran agama, khususnya agama Hindu-budha dan Islam.

Bahasa yang digunakan dalam Etika Jawa Kuna adalah bahasa Jawa Kuna atau Jawa Kuno. Sebagian besar teks-teks klasik Jawa Kuna ditulis dalam bentuk sastra Jawa Kuna, seperti tembang, serat, dan kakawin. Contoh-contoh penting dari sastra Jawa Kuna termasuk Serat Centhini, Serat Wedhatama, dan Kitab Nagarakertagama. Teks-teks ini berisi ajaran moral, etika, serta petuah dan nasihat bagi masyarakat Jawa. 

Beberapa prinsip etika Jawa Kuna yang mungkin menjadi landasan masyarakat Jawa, meliputi :

  • Kebijaksanaan (keblat-kablatan) : Masyarakat Jawa Kuna sangat menghargai kebijaksanaan dan keseimbangan dalam segala hal. Mereka meyakini bahwa setiap tindakan harus dipertimbangkan secara matang untuk mencapai hasil yang baik.
  • Kesopanan (alamiah) : Sikap sopan dan hormat merupakan nilai yang sangat di junjung tinggi dalam budaya Jawa. Hali ini tercermin dalam tutur kata, sikap tubuh, dan adab dalam berinteraksi dengan orang lain.
  • Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh : Prinsip ini mengajarkan tentang saling menghormati, menyayangi, dan merawat satu sama lain. Silih Asah mengacu pada  saling membantu untuk mencapai kesempurnaan, Silih Asih merujuk pada kasih sayang dan empati antara individu, sedangkan Silih Asuh menunjukkan adanya tanggung jawab dalam merawat dan membimbing generasi muda. 
  • Adiluhung : Konsep ini menekankan pentingnya integritas, kejujuran, dan keadilan. Masyarakat Jawa Kuna berusaha hidup dengan kehormatan dan menjunjung tinggi kebenaran serta kesetaraan dalam segala aspek kehidupan.
  • Laku Tunggal : Prinsip ini mengajarkan pentingnya kesederhanaan dan menghindari perilaku yang berlebihan. Masyarakat Jawa Kuna meyakini bahwa hidup yang baik adalah hidup yang sederhana dan tidak berlebihan.
  • Rasa Syukur : Ungkapan rasa syukur kepada Tuhan dan berterima kasih kepada sesama merupakan sikap yang ditekankan dalam etika Jawa Kuna. Rasa syukur diyakini sebagai landasan untuk menjaga keseimbangan dan keharmonisan dalam kehidupan sehari-hari.

Nilai- nilai ini masih pengaruh dalam budaya Jawa modern meskipun dengan beberapa perubahan dan penyesuaian dengan zaman. Masyarakat Jawa saat ini masih memegang teguh nilai-nilai tersebut sebagai bagian dari identitas dan warisan budaya mereka.

Meskipun bahasa Jawa Kuna tidak digunakan lagi secara luas dalam kehidupan sehari-hari, ungkapan-ungkapan ini masih diwariskan dan dipahami oleh masyaratkat Jawa modern. Bahasa Jawa Kuna  merupakan bagian penting dari warisan budaya Jawa dan memainkan peran penting dalam memahmi dan mempraktikkan etika Jawa.

Etika Jawa Kuna menurut para ahli

Etika Jawa Kuna merupakan bidang yang telah diperbincangkan oleh banyak ahli dalam studi budaya Jawa dan sejarah Jawa. Berikut adalah beberapa ahli mengenai Etika Jawa Kuna : 

  • Menurut, Prof. Dr. Poerwadarminta : Seorang ahli bahasa dan budaya Jawa yang terkenal. Beliau menyatakan bahwa Etika Jawa Kuna didasarkan pada ajaran agama Hindu-Buddha yang dipraktikkan pada masa Jawa Kuno. Etika ini mencakup prinsip-prinsip moral dan tata krama yang dijunjung tinggi dalam kehidupan sehari-hari.

  • Menurut, Dr. Soepomo Poedjosoedarmo : Seorang ahli dalam bidang antropologi budaya Jawa. Beliau menyoroti pentingnya nilai-nilai sosial seperti gotong royong, rasa hormat kepada orang tua dan sesama, serta tanggung jawab sosial dalam Etika Jawa Kuna.

  • Menurut, Prof. Dr. Koentjaraningrat : Seorang ahli antropologi terkemuka di Indonesia. Beliau menganggap Etika Jawa Kuna sebagai landasan moral masyarakat Jawa yang mencerminkan harmoni dan keseimbangan antara manusia dan alam semesta.

  • Menurut, Dr. Haryono Suyono : Seorang ahli bahasa dan budaya Jawa. Beliau menjelaskan Etika Jawa Kuna sebagai sistem nilai yang mendasari tindakan dan perilaku masyarakat Jawa. Etika ini mencakup kejujuran, kesopanan, tanggung jawab sosial, dan sikap saling menghormati.

  • Menurut, Dr. Harjito : Seorang ahli dalam bidang sastra Jawa dan budaya. Beliau menekanan pentingnya Etika Jawa Kua dalam mempengaruhi pola pikir, sikap, dan perilaku masyarakat Jawa. Etika ini berperan dalam menjaga harmoni sosial dan menghormati nilai-nilai budaya Jawa.

pandangan para ahli memberikan pemahamam yang lebih dalam tentang Etika Jawa Kuna. Namun, perlu dicatat bahwa pandangan dan interpretasi terhadap Etika Jawa Kuna dapat bervariasi di antara para ahli dan juga di dalam masyarakat Jawa itu sendiri. Etika ini berkembang seiring waktu dan pengaruh budaya yang beragam. 

Sadulur Papat Lima Pancer 

"Sadulur Papat Lima Pancer" adalah istilah dalam kepercayaan Jawa yang merujuk pada sistem kekerabatan yang dianut dalam masyarakat Jawa. Istilah ini mencerminkan struktur keluarga atau hubungan kekerabatan yang kompleks  dalam budaya Jawa.

"Sadulur" berarti saudara atau keluarga, sementara "Papat Lima Pancer" secara harfiah berarti empat lima tujuh. Istilah ini mengacu pada perincian hubungan kekerabatan dalam keluarga Jawa yang melibatkan empat generasi.

Secara lebih spesifik, "papat" merujuk pada empat generasi: kakek/nenek (generasi pertama), orang tua (generasi kedua), anak (generasi ketiga), dan cucu (generasi keempat). "Lima" mengacu pada jumlah saudara kandung atau  anak dari satu pasangan orang tua. "Pancer" berarti tujuh, yang menunjukkan jumlah anak atau generasi keempat dari satu pasangan orang tua.

Dalam konsep Sedulur papat Lima Pancer, penting untuk memahami dan menjaga hubungan kekerabatan di antara anggota keluarga yang terlibat dalam empat generasi tersebut. Hal ini mencakup saling menghormati, menyayangi, serta bertanggung jawab satu sama lain.

Istilah "Sadulur Papat Lima Pancer" menggambarkan pentingnya keluarga dan hubungan kekerabatan dalam budaya Jawa. Konsep ini menekankan pentingnya kebersamaan, gotong royong, dan rasa tanggung jawab terhadap anggota keluarga dalam menjaga keharmonisan dan kesejahteraan bersama.

Dalam prakteknya, Sadulur Papat Lima Pancer juga digunakan untuk merujuk pada kelompok sosial atau komunitas yang paling berkait dan bersatu dalam kehidupan sehari-hari. Anggota Sadulur Papat Lima Pancer dianggap memiliki kewajiban untuk saling membantu dan melindungi satu sama lain, mirip dengan bagaimana jari-jari tangan saling bekerja sama.

Sadulur Papat Lima Pancer adalah nilai yang sangat dihormati dalam budaya Jawa, menekankan pentingnya persaudaraan, persatuan, dan kerja sama dalam membangun masyarakat yang harmonis dan seimbang. Konsep ini mencerminkan prinsip dan nilai-nilai sosial yang kuat dalam budaya Jawa yang masih relevan hingga saat ini.

Sadulur Papat Lima Pancer adalah falsafah Jawa Kuna yang memliki makna spiritual teramat dalam. Dalam tradisi Jawa, siklus hari dalam kalender Jawa, yang dikenal "Pancawara" atau "Pasaran". Dalam konteks ini, empat arah mata angin dikaitkan dengan lima hari dalam siklus Pancawara, yaitu Wage, Kliwon, Legi, Pahing, dan Pon. 

1.) Utara (Wage) : Wage merupakan salah satu hari dalam siklus Pancawara. Wage dikaitkan dengan arah utara dalam metafora ini. Wage dianggap sebagai hari yang memiliki energi kuat, penuh kebijaksanaan, spiritualitas.

2.) Barat (Pon) : Pon adalah hari dalam siklus Pancawara yang dikaitkan dengan arah barat. Pon dianggap sebagai hari yang mewakili keberuntungan, kejayaan, dan kekayaan. Pon juga dikaitkan dengan kemakmuran dan kelimpahan.

3.) Timur (Legi) : Legi adalah hari dalam siklus  Pancawara yang dikaitkan dengan arah timur. Legi dianggap sebagai hari yang melambangkan pertumbuhan, keberanian, dan energi kehidupan. Legi juga dikaitkan dengan kekuatan dan semangat.

4.) Selatan (Pahing) : Pahing merupakan salah satu hari dalam siklus Pancawara. Pahing dikaitakn dengan arah selatan dalam metafora ini . Pahing dianggap sebagai hari yang melambangkan ketenangan, keseimbangan, dan kestabilan. Pahing juga dikaikan dengan kebijaksanaan dan harmoni.

Pengguna metafora ini mencerminkan pengaruh budaya dan sistem kalender jawa dalam memahami arah mata angin dan mengkaitkannya dengan aspek spiritual dan kehidupan sehari-hari. Interprestasi dan makna metafora ini dapat bervariasi di berbagai komunitas atau kelompok dalam budaya Jawa.

Istilah dalam metafora yang dikaitakan dengan "Sadulur Papat Lima Pancer" dalam budaya Jawa. Pada empat karakteristik atau atribut yang dikaitkan dengan masing-masing bagian dari metafora tersebut.

1.) Watman : Rasa cemas/khawatir dari seorang ibu ketika hendak melahirkan anaknya. Ini Merupakan atribut yang dikaitkan dengan Utara (Wage).

2.) Wahman : Kawah atau air ketuban,  menjaga agar janin dalam kandungan tetap aman dari goncangan. Merupakan atribut yang dikaitkan dengan Barat (Pon).

3.) Rahman : Darah persalinan, gambaran kehidupan, nyawa, dan semangat. Merupakan atribut yang dikaitkan dengan Timut (Legi).

4.) Ariman : Ari-ari atau plasenta, sebagai saluran makanan bagi janin dalam kandungan. Merupakan atribut dikaitkan dengan Selatan (Pahing).

Metafora ini mengubungkan karakteristik atau atribut yang berbeda dengan empat arah mata angin dalam "Sadulur Papat Lima Pancer" dan mencerminkan peran dan makna yang terkait dengan masing-masing arah mata angin dalam kehidupan dan jiwa manusia dalam budaya Jawa.

"Sadulur Papat Lima Pancer" dikaitkan dengan bagian-bagian tubuh manusia yang melambangkan empat arah mata angin dalam budaya Jawa. Berikut penjelasannya :

  • Mata (Utara) => warna hitam, sukma langgeng, dihuni oleh Batara Sriten, atau teks Sunda Wiwitan Sang Hyang Tunggal_Mandala Agung. Mata memungkinkan kita melihat dan memahami dunia disekitar kita dan konteks ini menecrminkan kamampuan untuk melihat dan memahami secara holistik.
  • Telinga (Barat) => warna kuning, dihuni Batara Sambu atau teks Sunda Wiwitan Sang Hyang Wenang_Bharma. Telinga memungkinkan kita menerima informasi dan suara dari lingkungan sekitar, dalam konteks ini mencerminkan pentingnya mendengarkan dengan teliti dan memperhatikan.
  • Lobang hidung (Timur) => warna putih, Sukma Purba, dihuni oleh Batara Bayu atau teks Sunda Wiwitan Sang Hyang Wening_Wisnu. Lobang hidung memungkinkan kita mengalami dunia melalui indra penciuman, dalam konteks ini mencerminkan sensitivitas tehadap lingkungan dan kemampuan untuk mengenali dan memahami aroma yang ada.
  • Bibir atau mulut (Selatan) => warna merah, Sukma Wasesa,  dihuni oleh Batara Brahma atau teks Sunda Wiwitan Sang Hyang Guring Tunggal_ Sang Hyang Guru Siwa. Bibir atau mulut memungkinkan kita untuk mengungkapan pikiran, perasaan, dan gagasan kita, dalam konteks ini mencerminkan pentingnya berbicara dengan bijaksana dan bertanggung jawab.

Metafora ini menunjukkan hubungan antara empat bagian tubuh manusia dengan empat arah mata angin dalam budaya Jawa. Ini menyoroti pentingnya menggunakan indra kita secara bijaksana, berkomunikasi dengan baik, dan memperhatikan lingkungan kita dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Penjelasan What, Why, Who pada Etika Jawa Kuna :

  • What (Apa) : Etika Jawa Kuna menekankan prinsip-prinsip moral dan nilai-nilai yang di junjung tinggi dalam kehidupan sehari-hari. Ini meliputi nilai-nilai seperti kejujuran, kehormatan, kesopanan, tanggung jawab sosial, gotong royong, keseimbangan, keadilan, dan rasa syukur.

  • Why (Mengapa) : Etika Jawa Kuna mengajarkan prinsip-prinsip ini penting dalam kehidupan yang baik dan bermanfaat. Niai-nilai ini di anggap penting karena mereka memperkuat hubungan sosial, menciptakan harmoni dalam masyarakat, memupuk rasa saling menghormati, menyebarkan keadilan, dan menjaga keseimbangan dengan alam semesta.

  • Who (Siapa) : Etika Jawa Kuna mengajarkan siapa yang bertanggung jawab untuk menerapkan prinsip-prinsip ini dalam budaya Jawa Kuna, setiap individu diharapkan untuk mempraktikkan nilai-nilai etika dalam tindakan dan perilaku sehari-hari. Masyarakat Jawa Kuna Mengakui tanggung jawab kolektif untuk menciptakan lingkungan sosial yang baik dan individu-individu secara kolektif bertanggung jawab untuk menjaga niai-nilai tersebut.

Dengan pertanyaan di atas bahwa Etika Jawa Kuna memberikan panduan bagi individu dan masyarakat Jawa Kuna tentang cara hidup yang harmonis, adil, dan bertanggung Jawab. Etika ini bertujuan untuk menciptakan hubungan baik antara manusia, alam, dan Tuhan serta mendorong kesejahteraan bersama dalam masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun