Mohon tunggu...
Ahmad Rivaldi Zuhdi
Ahmad Rivaldi Zuhdi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausaha

Empty

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Konsumerisme Digital: Kebiasaan memiskinkan dengan nada Gembira

12 Desember 2024   05:50 Diperbarui: 12 Desember 2024   05:34 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Efek Samping Konsumerisme Digital

Efek gaya konsumtif ini tidak hanya miris sama dompet, tapi juga pada kesehatan mental, keseharian bahkan lingkungan. Ketergantungan pada belanja daring menciptakan kecanduan yang tidak kalah merusak dari kebiasaan buruk lainnya. Sementara itu, sampah dari kemasan barang yang kita beli terus menumpuk, menjadi bukti fisik dari kerakusan kita.

Konsumerisme digital juga telah mengaburkan makna kebahagiaan. Kita diajari bahwa memiliki lebih banyak barang akan membuat kita lebih bahagia, padahal yang terjadi justru sebaliknya. Kebahagiaan menjadi ilusi sementara, yang cepat pudar begitu kita melihat ada barang lain yang "lebih baik" untuk dibeli.

Melawan Arus Konsumerisme

Bagaimana kita melawan arus ini? Jawabannya sederhana tapi sulit: belajar puas dengan apa yang dimiliki. Namun di tengah gempuran iklan dan promosi yang begitu masif, kepuasan menjadi barang langka. Kita perlu mengubah pola pikir bahwa tidak memiliki sesuatu bukanlah tanda kegagalan, melainkan tanda kebijaksanaan.

Akan sangat membantu jika kita mulai melihat barang bukan sebagai simbol status prestise sosial, tetapi sebagai alat buat mendukung kebutuhan kita. Pertanyaan sederhana seperti "Apakah gua bener-bene ngebutuhin ini?" bisa menjadi tameng pertama untuk melawan godaan konsumerisme digital.

Epilog: Apakah Kita Akan Belajar?

Pada akhirnya, konsumerisme digital adalah cermin besar yang memantulkan hasrat keinginan untuk selalu merasa berkecukupan meskipun kita tahu itu hanya ilusi. Ironisnya, kita tidak benar-benar dipaksa untuk menjadi seperti ini. Kita melakukannya dengan sukarela, bahkan dengan penuh semangat.

Jadi, sambil kita menikmati kemudahan belanja di era digital ini, mungkin ada baiknya kita sesekali berhenti dan merenung: apakah hidup kita lebih baik dengan semua barang yang telah kita kumpulkan? Ataukah kita hanya menjadi aktor dalam sandiwara besar yang disutradarai oleh algoritma dan e-commerce?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun