Sudah jadi pemahaman umum digitalisasi membawa perubahan besar di berbagai aspek kehidupan, termasuk cara kita mengonsumsi barang dan jasa. Namun, di balik kecepatan teknologi dan gemerlapnya e-commerce, ada sebuah ironi besar yang tanpa disadari kita berubah jadi budak dari konsumerisme yang lebih berkilau, lebih instan, dengan sifatnya yg licik.
Bayangkan oleh teman-teman skenario ini: seseorang bangun pagi sebelum membasuh muka hal pertama yang dia lihat adalah gadget dengan notifikasi yg muncul dari aplikasi belanja daring. "Diskon 90%! Hanya 3 jam lagi!" Sontak, tanpa sempat berpikir jernih, dia langsung membuka aplikasinya. Cuci muka saja belum tapi sudah ada tiga barang dalam keranjang belanja, waduh. Barang-barang itu mungkin tidak dibutuhkan, tapi "kan murah banyak diskonnya lagi, jadi rugi nih gua kalo gak dibeli!" Begitu jampe-jampe konsumerisme zaman digital membisik hati rapuh kita
Teknologi: kamu nih pelayan atau Majikan?
Kita dulu acapkali berpikir teknologi akan jadi alat buat memudahkan keseharian kita. Tapi kalo kita lihat lebih jernih, teknologi memegang kendali penuh atas hasrat kita, ia menjadi-jadi khalayak tuan besar. Dengan algoritma yang pintar, apk belanja online membisik alam bawah sadar tanpa sepengetahuan Kita, hebatkan?. Pencarian tentang sepatu model terbaru akan menghantui setiap laman media sosial kita dalam bentuk iklan yang semakin menggiurkan.
Siapapun akan merasa seperti orang yang hokinya kebangetan ketika berhasil menang flash sale, tapi sebetulnya ia hanya menangkap jebakan yang sudah dirancang sedemikian rupa( jadi sebetulnya yg menangkap dan ditangkap siapa?).Di era ini, teknologi bukan lagi media yang ngebantu; ia penyedot isi dompet yang canggih, dilengkapi dengan fitur notifikasi yang tak kenal waktu keseharian kita.
FOMO: Motor Penggerak Belanja Impulsif
FOMO (Fear of Missing Out) adalah salah satu penyakit mental paling ampuh yang digunakan konsumerisme digital untuk menjaring korbannya. Setiap kali ada promo, langsung mikir bahwa kita akan tertinggal jika tidak ikut-ikutan checkout. "Banyak temen tongkrongan gua udah beli nih, yakali gua kagak" di situ kita gatau teman tongkrongan juga sedang terlilit utang karena pola pikir serupa.
Konsumerisme digital juga bermain pada ego manusia. Ketika melihat seorang selebgram atau tiktokers memamerkan barang baru, kita merasa terinspirasi (atau lebih tepatnya iri) buat ngemilikin barang yang sama Dan ketika kita ngebuka marketplace munculah tawaran cicilan nol persen, membuat banyak orang merasa bahwa berutang demi trendi sudah menjadi hal yang wajarÂ
Lingkaran Setan bak istanaÂ
Saat dulu , belanja jadi aktivitas yang membutuhkan usaha lebih ---kita harus keluar rumah, berjalan-jalan ke pasar atau mall, dan sering kali berpikir dua kali sebelum membeli sesuatu. Tapi coba sekarang, cuma beberapa klik, barang yang kita beli akan tiba di depan pintu dalam hitungan jam. Proses ini meskipun sangat efisien, tapi ngehapus jeda dmna refleksi yang penting sebelum ngelakuin transaksi.
Lebih parahnya lagi, banyak dari kita merasa bangga berhasil memanfaatkan diskon dngn promo besar-besaran. Padahal, jika ditelisik lebih jauh, kita sebenarnya membeli barang-barang yang tidak pernah benar-benar kita butuhkan. Dari sinilah lingkaran setan konsumerisme terbentuk: membeli, menyesal, membeli lagi untuk menutupi rasa sesal.
Efek Samping Konsumerisme Digital
Efek gaya konsumtif ini tidak hanya miris sama dompet, tapi juga pada kesehatan mental, keseharian bahkan lingkungan. Ketergantungan pada belanja daring menciptakan kecanduan yang tidak kalah merusak dari kebiasaan buruk lainnya. Sementara itu, sampah dari kemasan barang yang kita beli terus menumpuk, menjadi bukti fisik dari kerakusan kita.
Konsumerisme digital juga telah mengaburkan makna kebahagiaan. Kita diajari bahwa memiliki lebih banyak barang akan membuat kita lebih bahagia, padahal yang terjadi justru sebaliknya. Kebahagiaan menjadi ilusi sementara, yang cepat pudar begitu kita melihat ada barang lain yang "lebih baik" untuk dibeli.
Melawan Arus Konsumerisme
Bagaimana kita melawan arus ini? Jawabannya sederhana tapi sulit: belajar puas dengan apa yang dimiliki. Namun di tengah gempuran iklan dan promosi yang begitu masif, kepuasan menjadi barang langka. Kita perlu mengubah pola pikir bahwa tidak memiliki sesuatu bukanlah tanda kegagalan, melainkan tanda kebijaksanaan.
Akan sangat membantu jika kita mulai melihat barang bukan sebagai simbol status prestise sosial, tetapi sebagai alat buat mendukung kebutuhan kita. Pertanyaan sederhana seperti "Apakah gua bener-bene ngebutuhin ini?" bisa menjadi tameng pertama untuk melawan godaan konsumerisme digital.
Epilog: Apakah Kita Akan Belajar?
Pada akhirnya, konsumerisme digital adalah cermin besar yang memantulkan hasrat keinginan untuk selalu merasa berkecukupan meskipun kita tahu itu hanya ilusi. Ironisnya, kita tidak benar-benar dipaksa untuk menjadi seperti ini. Kita melakukannya dengan sukarela, bahkan dengan penuh semangat.
Jadi, sambil kita menikmati kemudahan belanja di era digital ini, mungkin ada baiknya kita sesekali berhenti dan merenung: apakah hidup kita lebih baik dengan semua barang yang telah kita kumpulkan? Ataukah kita hanya menjadi aktor dalam sandiwara besar yang disutradarai oleh algoritma dan e-commerce?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H