Sore itu semuanya terlihat merah. Angin sedikit bising menjilat-jilat kepala hingga lutut hingga dingin menerpa. Matahari tengah menunggu sesuatu sepertinya, sebelum ia membenamkan diri di ujung barat. Lautan memanggil-manggil. Ikan-ikan bersembunyi. Di atas geladakutama kapal, Kapten Baron berdiri gelisah sambil memegang erat senapan kebangaannya. Senapan itu ia beri nama “Khon”.
Suara tiang layar berderit-derit, kesusahan memanggul tali serta kain layar tua yang lapuk. Kapten Baron berjalan maju mendekati haluan kapal. Kapten Baron berhenti. Tersenyum memandangi laut.
“matahari belum juga tenggelam Khon. Hal Ini terasa lebih lama dari biasanya”
Kapten baron memperlebar senyumannya. Raut wajahnya memperlihatkan kesenangan lama yang serasa telah hadir kembali. Dia tetap memegang Khon dengan keras, sambil menghirup nafas panjang. Sangat panjang dan lama.
Tiba-tiba Kapten Baron terbatuk, sambil memegang dadanya sampai tersandar ke badan kapal. “aku tidak lagio muda Khon. Mengirup nafas panjangpun aku kini tak sanggup”. Lalu ia tertawa keras, sampai membuat Didi, sang awak yang setia berlari keluar dari kabin hendak melihat kondisi kaptennya.
“jangan kau sinari aku dengan senter tua itu Didi. Aku bukanlah pembajak ulung yang ingin merampas kapalku sendiri”.
“kapten!? Kenapa tidak beristirahat? Lihat, kapten jadi tidak sehat kelihatannya”.
“jangan cemaskan aku Didi. Kaptenmu ini tidak akan bisa di takhlukan oleh makhluk apapun”. Masih tertawa.
“tapi kapten ditakhlukan oleh batuk, dan batuk akan takhluk oleh obat batuk. Kapten, minumlah obatmu segera. Saya akan segera ambilakan”. Didi bergegas berdiri. Tapi langkahnya di hentikan oleh perintah kapten. “aku minta kamu berhenti Didi, batuk ini bukanlah makhluk. Jadi wajar saja aku kalah olehnya. Kamu jangan cemas, aku membawa air putih”. Kapten berdiri perlahan. “aku yakin, air putih sanggup menolak kematianku”
Didi tersenyum kagum melihat semangat kaptennya, sentak berdiri tegap sambil memberikan hormat. “hidup di atas samudera, mati berkubur laut”.
“hidup di atas samudera, mati berkubur laut”. Jawab Kapten baron sambil mengangkat senapannya tinggi ke udara. Didipun kembali ke kabin.
Kapten Baron kembali berdiri menatap laut yang tak berujung. Kini kapten mengarahkan Khon kearah laut, memasang posisi hendak menembak. “hidup itu sederhana Khon. Maju atau tidak mundur. Itulah filsafat perang. Dan perang itu adalah seni. Bajak laut tidak akan pernah membuat kapalnya diam. Karna kapal tidak bisa diam Khon, setidaknya pasti begeser sedikit dihembus oleh angin”.
“berarti tidak ada kesempatan untuk mundur. Itulah seni perang yang sebenarnya”
“ha..ha..ha..kukira kau sudah mati Khon. Kenapa kau atdi diam saja?”
“saya segan”. Khon mengeluh.
“segan kenapa?”. Tanya Kapten Baron heran.
“seandainya Didi tau kalau kau dan aku bisa bersapa, dia akan menganggapmu aneh”.
“dia tidak pernah tau. Inilah keistimewaan ku sebagai raja laut cina selatan. Hal ini merupakan kekuatan mistis yang hanya bisa di dapatkan oleh seorang kapten bajak laut”.
Matahari akhirnya tenggelam sepenuhnya. Keadaan menjadi gelap gulita. Namun air laut kini terang oleh plankton. Laut bagaikan kanvas terang yang terbentang.
“laut ini akan tetap menjadi sengketa bagi pemerintah dunia. Tapi tidak untukku”. Ucap kapten dengan sangat berwibawa.
“kita telah melalui perang yang paling mematikan didunia ini Baron. Aku hanya menyisakan satu peluru lagi. Dan aku harap kau menggunakan sisa peluruku ini untuk sebuah tindakan yang paling istimewa selama hidupmu Baron”. Baron berubah mimic mukanya, dari senyum menjadi diam yang penuh perenungan.
“aku juga hanya mempunyai satu nyawa lagi Khon. Dan semoga juga, satu-satunya nyawaku ini akan pergi atas sebuah kehormatan yang paling tinggi selama hidupku”. Kapten Baron melangkah memanjat haluan kapal. Dan berdiri diatas pagar pembatas kapal. Dan memegang tali yang membentang dari haluan ke ujung tiang layar. Tangannya sedikit gemetar.
“apakah kau siap Baron?, ini adalah sejarah. Ini adalah prinsip bajak laut. hidup di atas samudera, mati berkubur laut”.
“ini adalah kematian yang aku tunggu Khon. Laut cina selatan ini akan menjadi rumah terakhir yang telah aku pertahankan selama hidupku. Nyawaku yang hanya tinggal satu akan pergi diatas lautku. Dan itulah sebuah kehormatan terbesar”. Kapten baron mengarahkan ujung senapan ke kepalanya.
“peluruku yang tinggal satu-satunya ini juga akan menjadi peluru yang terbaik didunia, karna telah merenggut nyawa tuannya yang hanya tinggal satu-satunya”.
Kapten Baron akhirnya melepaskan peluru tersebut dari sarangnya, dan peluru tersebut melaju kencang memecahkan tengkorak kepala kapten. Kapten baron pun jatuh lunglai tercebur ke dasar laut. Suara tembakan itu seperti tiada habisnya melontarkan bunyi kepedihan. Suara itu terdengar jelas oleh Didi yang sedang mengepel lantai kabin. Didi kaget, dan dengan sigap menyalakan senternya. Sangat tergesa sekali Didi berlari kearah haluan, dan tidak menemukan sosok kapten Baron di geladak utama. Didi menuju haluan dan menyenteri laut yang kini sudah tidak terang lagi, melainkan gelap sama sekali.
Angin behembus pelan. Menebarkan wangi perjuangan. Masih tidak ada tanda-tanda dari kapten. Didi masih menembakan cahaya dari senter yang ia namai Don ke arah laut. “apakah kau melihat kapten di bawah sana Don?”
“aku tidak dapat melihatnya Didi, barangkali cahayaku telah usang”
Kapal itu tidak berlayar sama sekali. Diam, padahal jangkar tidak turun. Didi menutup matanya lalu duduk bersandar pada pagar haluan.
“buka matamu Didi. Lihat! Ada belasan kapal pemerintah mendekat”.
“aku tahu”. Semuanya sunyi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H