“apakah kau siap Baron?, ini adalah sejarah. Ini adalah prinsip bajak laut. hidup di atas samudera, mati berkubur laut”.
“ini adalah kematian yang aku tunggu Khon. Laut cina selatan ini akan menjadi rumah terakhir yang telah aku pertahankan selama hidupku. Nyawaku yang hanya tinggal satu akan pergi diatas lautku. Dan itulah sebuah kehormatan terbesar”. Kapten baron mengarahkan ujung senapan ke kepalanya.
“peluruku yang tinggal satu-satunya ini juga akan menjadi peluru yang terbaik didunia, karna telah merenggut nyawa tuannya yang hanya tinggal satu-satunya”.
Kapten Baron akhirnya melepaskan peluru tersebut dari sarangnya, dan peluru tersebut melaju kencang memecahkan tengkorak kepala kapten. Kapten baron pun jatuh lunglai tercebur ke dasar laut. Suara tembakan itu seperti tiada habisnya melontarkan bunyi kepedihan. Suara itu terdengar jelas oleh Didi yang sedang mengepel lantai kabin. Didi kaget, dan dengan sigap menyalakan senternya. Sangat tergesa sekali Didi berlari kearah haluan, dan tidak menemukan sosok kapten Baron di geladak utama. Didi menuju haluan dan menyenteri laut yang kini sudah tidak terang lagi, melainkan gelap sama sekali.
Angin behembus pelan. Menebarkan wangi perjuangan. Masih tidak ada tanda-tanda dari kapten. Didi masih menembakan cahaya dari senter yang ia namai Don ke arah laut. “apakah kau melihat kapten di bawah sana Don?”
“aku tidak dapat melihatnya Didi, barangkali cahayaku telah usang”
Kapal itu tidak berlayar sama sekali. Diam, padahal jangkar tidak turun. Didi menutup matanya lalu duduk bersandar pada pagar haluan.
“buka matamu Didi. Lihat! Ada belasan kapal pemerintah mendekat”.
“aku tahu”. Semuanya sunyi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H