Dari zaman dahulu mayoritas penduduk Hulu Sungai di Kalimantan Selatan bekerja di sektor pertanian dan perkebunan.Â
Alam Hulu Sungai yang sangat subur mendukung untuk berlangsungnya kegiatan perkebunan dan pertanian. Maka dari itu daerah Hulu Sungai selalu menjadi primadona penghasil komoditi alam di daerah Kalimantan Selatan.Â
Sejak masa Kerajaan Banjar masih berdiri kawasan Hulu Sungai sudah menjadi lumbung padi terbesar. Lahan-lahan mereka yang terdiri dari rawa dan perbukitan di dataran tinggi menjadi wilayah pertanian yang subur dan menghasilkan beras yang melimpah terutama untuk memenuhi kebutuhan bahan pangan utama di Kalimantan Selatan.
Hulu Sungai pada masa lampau juga memiliki hasil panen berupa lada, kopi, tembakau dan lainnya. Bahkan, ketika era booming karet pada tahun 1920-an kawasan Hulu Sungai menjadi sentral bisnis dan perkebunan karet terbesar yang kemudian mengubah aspek sosial, politik dan kebudayaan di Kalimantan Selatan.Â
Selain itu daerah Hulu Sungai merupakan daerah "kuno" (Banjar Klassik) yang merupakan asal dari peradaban modern di Kalimantan Selatan. Setidaknya tiga buah Kerajaan besar pendahulu Kesultanan Banjar pernah berlokasi di Hulu Sungai. Letak geografis yang diapit langsung oleh Kalimantan Tengah dan Timur menjadikan kebudayaan di Hulu Sungai begitu kaya dan menarik untuk digali lagi jauh lebih dalam.
Rentetan fenomena sejarah dan kebudayaan tersebut menjadikan manusia Banjar Hulu Sungai mewarisi "intelegensi" alami untuk memahami alamnya. Lesley Potter berpendapat "kepekaan" org Banjar secara umum dalam melihat kesempatan dan resiko ini erat kaitannya karna faktor geografis (struktur konstant geografi) alam Kalimantan Selatan.
Seperti masyarakat tradisional dan golongan petani pada daerah Hulu Sungai di Kalimantan Selatan umumnya memiliki pengetahuan khusus tentang cara memulai suatu pekerjaan dan beradaptasi dengan lingkungannya.Â
Kepedulian masyarakat tradisional Hulu Sungai terhadap lingkungannya sesuai dengan tradisi kepercayaan nenek moyang mereka dan kemudian disusul oleh ajaran agama ( Islam ) yang kemudian mayoritas kini mereka anut. Â Pada sisi lain yang saling terkait, mereka beranggapan lingkungan merupakan faktor produksi dan bahan konsumsi yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia untuk dinikmati dan dipelihara. Jadi dengan dasar itu perlakuan masyarakat terhadap lingkungannya sangat tergantung pada pandangan mereka sendiri.
Dengan berdasar pada konsep lingkungan yang telah mereka pegang sejak lama itu, lalu membentuk sebuah anggapan yang kuat dalam meyakini bahwa asal mula tumbuh-tumbuhan dan binatang merupakan salah satu bagian terbesar dari karunia Tuhan yang telah diberikan kepada umat manusia.Â
Masyarakat tradisional Hulu Sungai beranggapan segala makhluk hidup ciptaan Tuhan memiliki manfaat untuk kehidupan manusia. Tumbuh-tumbuhan dan berbagai binatang yang hidup disekitar lingkungan hidup manusia diantaranya dapat dijadikan sebagai pertanda atau isyarat tertentu untuk mengetahui gejala alam yang erat kaitannya dengan usaha masyarakat setempat untuk bercocok tanam.
Gejala-gejala alam ini dapat mereka prediksi melalui tumbuh-tumbuhan, perilaku binatang dan posisi bintang di langit. Hal ini menurut kebiasaannya lebih banyak didapati untuk memperkirakan cuaca yang dekat kaitannya dengan usaha-usaha di bidang pertanian, terutama yang erat kaitannya dengan waktu menanam padi sampai pada menuainya.
Dalam pengetahuan masyarakat Hulu Sungai misalnya, apabila pohon Hambawang (Mangifera foetida) mulai berbunga, maka mereka meyakini bahwa musim panas telah tiba. Jika bunga pohon Hambawang tersebut berwarna merah tua, maka hal itu sebagai pertanda waktu musim panas agak lama. Sedangkan jika bunganya berwarna merah muda, biasanya pertanda musim panas tidak begitu lama.
Begitu pula tanda-tanda musim hujan dapat pula mereka prediksi melalui tanda bermunculannya Kalimbuai atau Gondang (Pila Ampullacea) dalam jumlah yang banyak. Tanda musim hujan tersebut dikenal pula dengan istilah musim pambarat. Biasanya musim hujan diikuti pula oleh bunyi kodok yang terus menerus. Tanda lainnya yang berkaitan dengan musim hujan, adalah jika burung Ranggang Tutup sering berbunyi, berarti sebagai isyarat musim yang baik untuk pelaksanaan memulai penanaman padi.
Untuk memprediksi saat yang tepat untuk menanam padi yang baik dapat pula diketahui dengan memperhatikan bintang di langit. Bintang Karantika Maharam ( bintang kecil-kecil atau bintik-bintik putih) yang muncul nya sekitar pukul 02.00 dinihari, memberi petunjuk akan baiknya tanaman padi.Â
Kemudian untuk memperkirakan kemungkinan hasil padi yang baik, maka pada saat tanaman padi baru mengeluarkan buah dari tangkainya harus diperhatikan pula ke langit, apakah bintang Belantik Maharam juga muncul. Jika munculnya berbarengan dengan bintang Karantika Maharam maka pertanda hasil panen akan baik.
Dalam melihat gejala dan tanda-tanda yang diberikan alam itu masyarakat tradisional Banjar di Hulu Sungai tak hanya melihatnya dari perubahan alam, tumbuh-tumbuhan dan perilaku binatang namun melainkan juga melihat dari sisi astronomi atau perbintangan yang tentu tak melulu bersandar pada hal mistis, magis dan lainnya namun dari hasil pengamatan mendalam yang tak jarang apabila dilihat dari kacamata pengetahuan ilmiah juga kerap berkesesuaian.
Misalnya ketika melihat pola embun yang turun pada dinihari sekitar 01.30 - 03.30 maka masyarakat tradisional Banjar Hulu Sungai meyakini akan terjadi panas terik yang terjadi besok siang, maka benar saja prediksi tersebut jarang meleset.Â
Sama halnya ketika melihat telur Kalimbuai atau Gondang yang menempel pada suatu tempat maka masyarakat tradisonal Banjar Hulu Sungai meyakini tingginya air di lokasi tersebut akan mencapai tempat telur tersebut menempel. Karena mereka menyakini Kalimbuai mempunyai insting yang mampu membaca kemungkinan bertambahnya volume air sehingga ketika volume air naik akan mencapai telur tersebut pada waktu yang tepat.
Contoh lain lagi misalnya ketika serangga Urup atau Laron mulai banyak bermunculan mengelilingi cahaya-cahaya lampu maka masyarakat Banjar di Hulu Sungai masih meyakini itu pertanda "Banyu handak dalam" (air Sungai mau naik) tentu hal ini juga masih sangat relevan dengan pandangan ilmiah dimana serangga Laron umumnya muncul dalam jumlah besar ketika suhu udara sekitar mulai naik, seperti saat hujan lebat. Laron menyukai suhu antara 25 - 28 ° C. Perubahan suhu diketahui sebagai pemicu utama kenapa laron keluar dari sarangnya untuk terbang.Â
Berdasarkan hal ini masyarakat tradisional Banjar Hulu Sungai meyakini alam semesta diciptakan Tuhan untuk kesejahteraan manusia dalam penunjang ibadahnya kepada sang Maha Pencipta namun Tuhan juga memberikan keleluasaan untuk manusia mengatur hidup dan kehidupan dalam lingkungannya serta memberi tanda-tanda yang dapat diperhatikan secara mendalam untuk manusia lebih memikirkannya, seperti dalam FirmanNya :
"Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda (QS : Al-Hijr)"Â
Berbagai peristiwa alam senantiasa dialami dalam perputaran waktu yang terkadang terjadi berulang-ulang dan akhirnya dapat diperhitungkan gejala-gejalanya melalui sebuah tanda-tanda.Â
Manusia berdasarkan pengalamannya menghadapi perubahan alam, mereka berusaha untuk memahami keadaan lingkungannya. Pengalaman yang dialami tersebut pada gilirannya menjadi sumber acuan dalam melakukan pekerjaan mereka.
Berdasarkan pandangan dan pengalaman yang demikian itulah sebagian masyarakat tradisional Banjar di Hulu Sungai menganggap bahwa lingkungan hidup yang ada di sekitar mereka merupakan amanat dari Tuhan yang harus tetap dipelihara.Â
Salam Badansanakan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI