Lalu bagaimana jika pungli tersebut tidak dilakukan dengan kekerasan? Apakah masih bisa dipidana? Jawabannya iya. Mari melihat pada Bab XXVIII, tentang Kejahatan Jabatan.
Pasal 418;
“Seorang pejabat yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau sepatutnya harus diduganya, bahwa hadiah atau janji itu diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberi hadiah atau janji itu ada hubungan dengan jabatannya, diancam dengan pidana penjara paling lama enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Pasal ini berhubungan erat dengan pungli khususnya ketika melibatkan pejabat publik yang menyalahgunakan jabatan mereka untuk menerima hadiah atau janji tertentu. Dalam konteks pungli, pasal ini dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk menjerat pejabat yang meminta atau menerima imbalan sebagai syarat untuk memberikan pelayanan atau mengambil tindakan yang semestinya merupakan bagian dari tugas mereka.
Lebih lanjut pada Pasal 423;
“Seorang pejabat dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan menyalahgunakan kekuasaannya, memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.”
Pasal ini memberikan landasan hukum untuk menindak pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan mereka dalam praktik pungli. Penggunaannya dalam pemberantasan pungli menunjukkan bahwa penyalahgunaan jabatan, sekecil apa pun, adalah pelanggaran serius yang mencederai keadilan dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara.
Selain KUHP, pungli juga diatur dalam UU No. 21 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada UU ini diatur secara spesifik terkait pungli dan sanksinya.
Pengaturan pungli dalam UU menunjukkan keseriusan pemerintah dalam melihat pungli sebagai suatu ancaman. Bahkan dalam dinamikanya, pada tahun 2016, Presiden Jokowi menetapkan PERPRES No. 87 Tahun 2016 Tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar. Perpres ini laihir bukan karena alasan, sebab praktik pungutan liar dianggap telah merusak sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sehingga perlu upaya pemberantasan secara tegas, terpadu, efektif, efisien, dan mampu menimbulkan efek jera.
Satgas Saber Pungli ini sendiri berkedudukan dan bertanggung jawab secara langsung kepada presiden. Terdiri dari: KAPOLRI, Kejaksaan Agung, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Ombudsman Republik Indonesia, Badan Intelijen Negara, PM TNI. Penanggung jawab atas kedelapan lembaga ini ialah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.