INTEGRITAS YANG TERNODAI: FENOMENA APARATUR NEGARA YANG MELANGGAR AMANAH DEMI RUPIAH
Beberapa jam yang lalu, penulis menemukan sebuah video yang menarik di Instagram. Video tersebut diunggah oleh akun Instagram dengan username @mksinfo.official. Dalam video tersebut nampak seorang supir truk yang menyerahkan “sesuatu” kepada seorang pengendara motor yang mengenakan rompi bertuliskan DISHUB (untuk video selengkapnya bisa langsung klik link disini: https://www.instagram.com/p/DDBomA9z1NO/).
Dan seperti biasa, netizen dengan segala keunikannya membuat aliran penafsiran tersendiri, yang dikenal dengan “ilmu tafsir netizen.” Hasil tafsir tersebut bisa kita lihat di komentar videonya. Penulis sudah mengutip beberapa komentar yang dianggap unik, sebagai berikut;
- “atur mi baeknya, brapa uangmu situ”;
- “Itu uang na makan tdk BERKAH, saya sumpahiko SEMOGA ANDA TIDAK BAIK" SAJA DALAM BEKERJA”;
- “Namanya jg udah jd kebiasaan bagi sebagian instansi 😂”;
- “aman lagi uang rokok😂”;
- “Begitumi orang klo banyak cicilannya baru ndk cukup2 gajinya 🤣 pekerjaannya minta2”;
Dari beberapa komentar tersebut, penulis menarik penjelasan bahwa “sesuatu” yang diserahkan itu adalah uang. Yang kemudian menjadi pertanyaan, mengapa supir truk itu mau memberikan uang pada petugas dishub itu?
Berkaca dari berbagai pola kejadian serupa, sebenarnya gampang saja menemukan jawabannya. Pungli atau pungutan liar, dalam KBBI pungli didefinisikan sebagai tindakan meminta sesuatu (uang dan sebagainya) kepada seseorang (lembaga, perusahaan, dan sebagainya) tanpa menurut peraturan yang lazim. Perhatikan “tanpa menurut peraturan yang lazim,” frasa inilah yang kemudian menjadikan pungli sebagai sebuah tindakan illegal.
Bukan tanpa alasan, menurut sebab musabanya, pungli kebanyakan dilakukan oleh orang-orang yang memang memiliki posisi atau kekuasaan dalam ruang lingkup tertentu. Dan karena kewenangan yang dimilikinya itulah yang kemudian membuat orang-orang ini berani meminta sesuatu pada publik yang sebenarnya tindakannya tersebut tidak diatur secara hukum, dengan kata lain tindakan tersebut merupakan tindakan yang sewenang-wenang.
Masyarakat sendiri mungkin lebih familiar dan sering menyebut orang-orang tersebut dengan istilah “oknum”, yang kata netizen “kalau dikumpulin bisa buat satu negara.”
Sebenarnya jika berbicara terkait “habitat” para oknum ini, seharusnya masyarakat umumnya sudah mengetahui. Sebab memang dalam aktivitas sehari-hari, kita sering bertemu dengan lembaga yang menaungi para “oknum” ini. Baik itu dalam proses administrasi public sampai pada keamanan dan tata tertib.
Penulis menggunakan kata “oknum” dikarenakan rasa kepercayaan, bahwa kebaikan tidak pernah mati. Ia bisa kalah namun tidak bisa mati. Akan selalu ada orang-orang yang memegang teguh prinsip tersebut dan berdiri tegak melawan keburukan.
Seperti yang sudah dijelaskan, bahwa para “oknum” ini bisa melakukan pungli karena memang punya ruang untuk melakukannya. Inilah yang kemudian sejalan dengan salah satu penyebab terjadinya kejahatan, yaitu adanya opportunity, atau yang dalam kriminologi dikenal dengan nama occupational crime.
Berdarkan penjelasan tersebut, penulis akan mencoba menjelaskan siklus terjadinya pungli secara sederhana, tanpa melibatkan teori-teori yang rumit.
Ketika seseorang masuk ke dalam instansi (sebut saja si “baru”), ia tentu menanggung hak dan kewajiban. Dalam realitanya, hak dan kewajiban seringkali tidak seimbang bukan? Kita dituntut melakukan banyak hal, dituntut ahli dan cakap dalam banyak hal.
Namun terkadang reward yang kita dapatkan tak sesuai dengan output. Umumnya, bagi seseorang yang baru masuk ke dalam sebuah instansi, ia bisa mentolerir hal tersebut, ini bisa dikarenakan rasa excited karena baru diterima atau karena memang ia sudah terbiasa dengan siklus tersebut.
Singkat cerita, si “baru” ini berada pada sebuah kesempatan dimana ia bisa melakukan pungli, hanya saja ia memilih untuk tidak melakukannya. Mungkin karena prinsip atau rasa takut ketahuan atasan. Satu—dua kali pola yang sama terjadi si “baru” tetap kukuh, hingga akhirnya setelah beberapa kali melewati pola yang sama, muncullah rasa penasaran, dan sebuah tanya. Gimana sih rasanya pegang duit pungli?
Waktu pun berlalu, hingga datanglah kesempatan yang berikutnya untuk melakukan pungli, dan boom. Adanya kombinasi antara kesempatan dan kewenangan makin memuluskan jalannya, ia akhirnya melakukan pungli untuk pertama kalinya. tetapi setelah itu ia langsung menyesal. Ini wajar sebab saat itu si “baru” masih berpegang teguh pada prinsip hidupnya.
Namun, perlu diketahui bahwa si “baru” ini, yang melakukan pungli karena ada kesempatan. Hanya persoalan waktu sampai ia menjadikan pungli sebagai salah satu bad habits miliknya.
Bukan tanpa alasan, sebab dalam perjalanannya ia akan menyadari bahwa ada yang “tidak seimbang,” antara apa yang ia lakukan sebagai sebuah kewajiban terhadap negara (dalam hal ini, pekerjaannya sebagai aparat negara dan membayar pajak,), apa yang harus ia lakukan sebagai sebuah kewajiban terhadap keluarganya (dalam hal ini menafkahi secara lahiriah anak, istri, orang tua) dengan apa yang ia dapatkan sebagai sebuah hak (dalam hal ini, gajinya sebagai aparat negara, kasih saying keluarga, dsb).
Jika kita perhatikan, ada ketidakseimbangan antara ketiga hal tersebut. Dimana kewajiban lebih banyak dan cenderung lebih berat secara subtansi disbanding hak. Inilah yang kemudian memunculkan tekanan sosial. psikologis, dan ekonomi.
Berimplikasi melahirkan dorongan dalam diri, untuk melakukan apapun yang bisa menjaga agar ketiga hal tersebut tetap seimbang. Salah satunya dengan melakukan perbuatan yang sama (pungli), hingga akhirnya si “baru” ini pun menjadi bagian dari oknum.
Namun, selain tekanan karena ketidakseimbangan, ada faktor lain yang bisa mempengaruhi si “baru”, yaitu lingkungannya. Kita semua tentu tahu kebanyakan instansi yang ada kini telah tercemar oleh perilaku-perilaku tidak terpuji.
Ketika orang-orang dengan perilaku buruk semakin meningkat secara kuantitas, maka dapat diprediksi, bahwa mereka yang ada di sekitarnya pun bisa terdampak perilaku buruk tersebut.
“Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberi minyak wangi atau Anda bisa membeli minyak wangi darinya, dan jika tidak, Anda tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu dan kalaupun tidak, kamu tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.”
Sama seperti si “baru” aparatur negara, meskipun ia teguh dengan prinsipnya untuk tidak melakukan tindakan tidak terpuji. Namun jika orang-orang disekitarnya melakukan yang sebaliknya. Maka ia juga berpotensi untuk menjadi seperti orang-orang tidak terpuji tersebut.
Apakah mustahil bagi seseorang untuk hidup jujur ketika masuk ke dalam sebuah instansi? Tentu tidak, tidak ada yang mustahil di dunia ini. Hanya saja, perlu keyakinan yang luar biasa bak pegunungan himalaya. Yang tidak akan roboh diterpa badai, angin, hujan dan petir.
Dengan begitu maka kita bisa menjalani hidup sebagai seorang aparat negara yang penuh dengan kebanggaan. Karena bisa menjaga apa yang kita yakini sebagai jalan hidup. Kita juga pasti mengenal orang-orang yang seperti itu. Mereka yang keyakinannya tidak bisa dibeli dengan uang, mereka yang lebih memilih harus susah daripada menjual keyakinan pada kenyataan (mungkin, untuk bagian ini akan dibuatkan pembahasan tersendiri).
Kembali pada pembahasan—selain memanfaatkan kesempatan, pelaku pungli juga sering kali menggunakan cara-cara yang bersifat memaksa. Kadang disertai dengan ancaman, tekanan maupun dalih tertentu yang seakan membuat korban “harus” membayar pungli.
Dan kalau kita berbicara terkait pungli yang bersifat memaksa ini, maka jenis inilah yang paling banyak kita temui di kehidupan sehari-hari. Terkadang kita dipojokkan dalam situasi dimana kita harus “membayar” mereka.
Adanya jenis yang menggunakan kesempatan maupun yang memaksa dengan intervensi, mencerminkan bahwa pungli telah mencemari hukum di masyarakat atau hukum empiris. Lalu bagaimana dengan hukum normatif? Yang melihat peraturan sebagai pusat hukum?. Apakah pungli telah diatur dalam hukum kita? Jawabannya iya.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), telah diatur tentang pungli pada Bab XXIII tentang Pemerasan dan Pengancaman, Pasal 368;
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”
Pasal inilah yang kemudian bisa digunakan untuk menjerat pelaku pungli, dengan catatan pungli tersebut dilakukan dengan ancaman atau kekerasan, seperti “oknum” aparat mengancam untuk menahan kendaraan jika korban tidak memberikan uang.
Lalu bagaimana jika pungli tersebut tidak dilakukan dengan kekerasan? Apakah masih bisa dipidana? Jawabannya iya. Mari melihat pada Bab XXVIII, tentang Kejahatan Jabatan.
Pasal 418;
“Seorang pejabat yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau sepatutnya harus diduganya, bahwa hadiah atau janji itu diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberi hadiah atau janji itu ada hubungan dengan jabatannya, diancam dengan pidana penjara paling lama enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Pasal ini berhubungan erat dengan pungli khususnya ketika melibatkan pejabat publik yang menyalahgunakan jabatan mereka untuk menerima hadiah atau janji tertentu. Dalam konteks pungli, pasal ini dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk menjerat pejabat yang meminta atau menerima imbalan sebagai syarat untuk memberikan pelayanan atau mengambil tindakan yang semestinya merupakan bagian dari tugas mereka.
Lebih lanjut pada Pasal 423;
“Seorang pejabat dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan menyalahgunakan kekuasaannya, memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.”
Pasal ini memberikan landasan hukum untuk menindak pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan mereka dalam praktik pungli. Penggunaannya dalam pemberantasan pungli menunjukkan bahwa penyalahgunaan jabatan, sekecil apa pun, adalah pelanggaran serius yang mencederai keadilan dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara.
Selain KUHP, pungli juga diatur dalam UU No. 21 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada UU ini diatur secara spesifik terkait pungli dan sanksinya.
Pengaturan pungli dalam UU menunjukkan keseriusan pemerintah dalam melihat pungli sebagai suatu ancaman. Bahkan dalam dinamikanya, pada tahun 2016, Presiden Jokowi menetapkan PERPRES No. 87 Tahun 2016 Tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar. Perpres ini laihir bukan karena alasan, sebab praktik pungutan liar dianggap telah merusak sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sehingga perlu upaya pemberantasan secara tegas, terpadu, efektif, efisien, dan mampu menimbulkan efek jera.
Satgas Saber Pungli ini sendiri berkedudukan dan bertanggung jawab secara langsung kepada presiden. Terdiri dari: KAPOLRI, Kejaksaan Agung, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Ombudsman Republik Indonesia, Badan Intelijen Negara, PM TNI. Penanggung jawab atas kedelapan lembaga ini ialah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.
Dalam perjalanannya, Satgas Saber Pungli sejak dibentuk pada tahun 2016 hingga sekarang telah menangani sekitar 36.000 kasus pungli. Ini merupakan penuturan langsung dari Sekretaris Satgas Saber Pungli Inspektur Jenderal Polisi Widiyanto Poesoko.Bagi teman-teman yang penasaran, bisa langsung kunjungi di https://saberpungli.id/
Tibalah dibagian kesimpulan, Fenomena aparatur negara yang melanggar amanah demi keuntungan pribadi mencerminkan krisis integritas dalam birokrasi dan pelayanan publik di Indonesia. Tindakan seperti pungutan liar, suap, dan penyalahgunaan wewenang tidak hanya melanggar hukum tetapi juga mencederai nilai-nilai keadilan dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara.
Dan pemerintah telah melakukan langkah nyata demi menurunkan angka pungli ini, dimulai dengan UU yang secara spesifik mengatur tentang pungli, sampai dengan membentuk Satgas khusus yang diberi kewenangan khusus pula untuk menjadi petugas lapangan dalam menangani pungli.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H