Mohon tunggu...
Ahmad Mutawakkil Syarif
Ahmad Mutawakkil Syarif Mohon Tunggu... Mahasiswa - Just a kid from Cendrawasih, Makassar

Hidup adalah seni menggambar tanpa penghapus

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

KDRT: Sebuah Kejahatan yang Bersembunyi di Balik Pernikahan

1 Desember 2024   07:00 Diperbarui: 1 Desember 2024   23:12 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Stereotip Tentang Perempuan Sebagai Korban KDRT Di Masyarakat. (Sumber: Hasil Editan Di Apk canva.com)

KDRT: Sebuah Kejahatan Yang Bersembunyi Di Balik Pernikahan 

Beberapa waktu belakangan, beredar sebuah video di sosial media terkait seorang yang dikenal sebagai “Gus Miftah” yang menganiaya istrinya sendiri di keramaian, penganiayaan ini dilakukan dalam bentuk menoyor kepala istrinya. Untuk video lebih jelasnya, pembaca bisa mengetik keyword “Viral, Gus Miftah Diduga Menoyor Kepala Istrinya”. Terkait video tersebut, Gus Miftah sendiri sebenarnya sudah memberi tanggapan, semacam klarifikasi bahwa itu sebenarnya hanya bentuk candaannya kepada istrinya. Ia juga mengatakan bahwa video yang beredar tersebut sudah diedit menjadi lebih cepat, hingga menimbulkan kesan seakan-akan ia telah berbuat kasar pada istinya. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa hubungannya dengan sang istri masih baik-baik saja. Bahkan sang istri hanya tertawa ketika melihat video tersebut tuturnya.

Namun seperti biasa, netizen dengan segala kemajemukannya mempunyai tafsir sendiri atas video yang viral tersebut. Dan itu tercermin dari beragam komentar yang bisa kita lihat di video tersebut. Penulis sudah mengutip beberapa komentar yang lahir dari “ilmu tafsir” netizen, diantaranya:

  • “Tpi gk pantas klo seperti itu sebagai penceramah harusnya punya tata krama kmi orang jawa perilaku halus lembut”;
  • “Terlihat asli”;
  • “Walaupun niatnya guyon/ bercanda tp ini kan di depan umum/ di depan org byk,beda dengan di rmh atau di dalam ruangan”;
  • “Kesurupan Kaya Nya 😂😂”;
  • “Pengeditnya tingkat dewa, dipercepat tp d sekitarnx ga bergerak”;

Dan masih banyak lagi pendapat atas “ilmu tafsir” milik netizen. Penulis sendiri tertarik dengan komentar yang mengatakan terlihat asli, dan berbagai komentar senada lainnya yang mengindikasikan keyakinan bahwa apa yang dilakukan Gus Miftah tersebut bukan guyonan, melainkan bagian dari kebiasaannya.

Perlu untuk digarisbawahi, penulis tidak ada niatan untuk menggiring opini. Penulis menarik penjelasan berdasarkan perspektif masyarakat, yang diwakilkan oleh komentar netizen. Inilah yang kemudian mencerminkan social media effect, dimana terkadang sebuah video yang sebenarnya tidak ada dasar subtansi yang mumpuni, namun mampu menggiring opini publik. Yang sering kali berawal dari persepsi dan asumsi tanpa dasar fakta dan data yang kuat.

Pola inilah yang berkorelasi dengan judul diatas. Seringkali persepsi public tentang hubungan rumah tangga yang mesra nan harmonis membuat mereka menjadi “buta” akan fakta bahwa ada kekerasan yang mengikutinya. Sama seperti bagaimana netizen menggunakan “ilmu tafsir” pada video Gus Miftah yang viral tersebut. Membuat narasi tanpa menyadari kebenaran yang ada dibelakangnya.

Berangkat dari latar belakang tersebut, pada kesempatan kali ini penulis akan mencoba mengulik tentang KDRT secara komperehensif. Dimulai dari definisi dan bentuk KDRT, fakta dan mitos tentang KDRT, sampai yang paling urgent, alasan terkait KDRT yang seringkali sulit terungkap.

Berbicara terkait definisi KDRT, hal itu sudah diatur dalam UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. UU ini merupakan jawaban sekaligus diaharapkan bisa menjadi solusi dalam menurunkan angka KDRT.

Pada Pasal 1 disebutkan bahwa “Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.” 

Dari pasal tersebut diketahui bahwa KDRT merupakan bentuk penganiayaan secara fisik, psikis, ataupun seksual untuk mengontrol atau “merampas” hak pasangan dalam kehidupan rumah tangga. KDRT sendiri diyakini sebagai bentuk pelanggaran terhadap HAM, kejahatan terhadap manusia serta bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Karena itulah penting untuk menjamin perlindungan secara legal pada korban, salah satu caranya adalah dengan membuat dan mengesahkan UU penghapusan KDRT, yang sudah dilakukan oleh pemerintah kita 20 tahun yang lalu.

Kemunculan UU ini—selain yang sudah disebutkan diatas, adalah upaya preventif dan represif dalam mencegah KDRT, melindungi korban sekaligus menindak pelaku KDRT, dan terakhir menjaga keharmonisan dan keutuhan dalam rumah tangga.

Lalu jika berbicara terkait bentuk-bentuk KDRT, itu juga sudah disebutkan dalam Pasal 5 UU terkait. Bahwa ada 4 bentuk KDRT, yaitu: a. kekerasan fisik; b. kekerasan psikis; c. kekerasan seksual; atau d. penelantaran rumah tangga.

Pertama, kekerasan fisik. Ini merupakan perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit serta luka berat, contohnya seperti memukul, menendang, mencubit, mencekik, atau melukai dengan benda tajam.

Kedua, kekerasan psikis atau psikologis. Ini merupakan perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Contoh dari perbuatan ini penghinaan, ancaman, manipulasi, pengucilan, atau pengendalian secara emosional.

Ketiga, kekerasan seksual. Ini merupakan perbuatan dimana seseorang memaksa untuk melakukan hubungan seksual dengan tujuan yang beragam, contohnya memaksa pasangan untuk melakukan hubungan seksual yang tidak dinginkan atau bahkan dengan cara yang merendahkan.

Keempat, penelantaran rumah tangga. Merupakan bentuk pengabaian terhadap kewajiban untuk memenuhi kebutuhan fisik dan emosional anggota keluarga yang sebenarnya sudah diatur dalam hukum. Contohnya pengabaian anak dan pasangan.

Setelah mengetahui definisi, bentuk-bentuk KDRT. Pertanyaan yang mungkin muncul di benak kita adalah “padahal sudah diatur secara hukum, tapi mengapa KDRT masih terjadi?”

Sebenarnya jika kita coba runut keatas terkait penyebab terjadinya KDRT, maka kita akan menemukan bahwa penyebab terjadinya adalah karena masalah individu salah satu pasangan (paling sering laki-laki). Masalah ini bisa terjadi karena faktor internal, seperti gangguan mental, stress, frustasi dan kebiasaan buruk. Sampai pada intervensi secara eksternal yang melibatkan pengaruh orang-orang sekitar dalam membentuk “penyimpangan” pada diri calon pelaku. Artinya KDRT terjadi karena kelainan emosional serta persoalan struktur sosial yang kemudian mempengaruhi karateristik calon pelaku.

“KDRT sering diyakini sebagai suatu solusi yang ampuh untuk mengakhiri konflik dengan pasangan (istri).”

Stigma tersebut lah yang kemudian menjadikan KDRT sebagai sebuah siklus buruk yang berulang. Dan uniknya, masyarakat sering kali tidak menyadari eksisntensi siklus ini sebab mereka sering kali terjebak dalam sebuah logika cacat “kekerasan tidak mungkin terjadi jika istri tidak membantah, melawan ataupun melakukan perbuatan yang membuat suami marah.” Logika cacat inilah yang kemudian menyebabkan masyarakat melihat bahwa KDRT merupakan akibat dari hilangnya kontrol suami yang disebabkan oleh sang istri. Sederhananya logika ini meyakini bahwa jika istri tidak melakukan kesalahan maka suami tidak akan melakukan kekerasan pula terhadapnya.

Selain hal itu, masih ada lagi beberapa mitos yang diyakini masyarakat kita: bahwa KDRT  hanya terjadi pada pasangan yang memang lemah secara ekonomi, atau mitos bahwa KDRT tidak akan terjadi jika istri taat beragama. Mitos jaman jahiliyah inilah yang harus diberantas. Sebab berkaca pada realita, banyak KDRT yang terjadi di kalangan pasangan dengan ekonomi baik-baik saja bahkan bisa dikatakan kaya. Bahkan jika kita ingin mengaitkannya dengan agama, seringkali pelaku KDRT "cuci tangan" atas dasar kewajiban agama, bahwa suami berhak memukul istri jika dia membangkang. 

What kind of logic is that? Agama mana yang mengajarkan kekerasan, terlebih ke istri sendiri?

Dan di daerah-daerah tertentu, lebih banyak lagi mitos yang beredar terkait KDRT, disebabkan kuatnya dominasi kultur adat yang masih sangat kental ibarat susu kental manis. Yang kemudian diyakini masyarakat kita sehingga mempengaruhi pola pikir dan tindakan terhadap KDRT.

Apakah kemudian mitos tersebut lah yang menjadi penyebab mengapa KDRT sulit terungkap? Iya, tapi kontribusi mitos di zaman sekarang tidak sesignifikan dulu, sebab perlahan tapi pasti teknologi menjawab bahwa ada cacat logika dalam beberapa mitos yang beredar di masyarakat kita.

Lalu mengapa KDRT masih sulit terungkap, bahkan sangat tinggi? Berdasarkan data dari SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak), jumlah kasus KDRT dari 1 Januari 2024 hingga saat ini (saat tulisan ini dibuat) sejumlah 24.277 kasus, dengan rincian 21.030 korban perempuan dan 5.327 korban laki-laki. Jumlah ini sangat tinggi dibandingkan masalah sosial lainnya seperti tawuran. Dan perlu diingat, ini baru yang tercatat secara resmi. Bagaimana dengan yang belum terinput? Sebanyak apa? Apa penyebabnya?

Penulis akan mencoba menjawabnya. Pertama, karena ruang lingkup KDRT itu sendiri yang memang cenderung tertutup (privat) Hal ini membuat pihak luar, seperti tetangga, kerabat, atau masyarakat, sulit mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dalam suatu hubungan rumah tangga. Dan karena sifatnya yang privat itulah banyak orang enggan ikut campur meskipun mereka curiga bahwa KDRT terjadi. Efek snowballnya? KDRT bisa terus terjadi tanpa adanya intervensi dari pihak luar.

Kedua, ini sebenarnya sudah dijelaskan diatas, KDRT  diyakini sebagai hal yang wajar sebab ia merupakan representasi atas kehendak suami dalam memperlakukan istri, yang bila kita coba runut lebih jauh kehendak ini didasari atas perasaan “memiliki hak” sebagai seorang suami dan kepala keluarga. Perasaan “memiliki hak” ini tidak hanya didasarkan pada status sosial sebagai kepala keluarga tetapi juga sering kali diperkuat oleh pemahaman yang salah tentang nilai-nilai agama atau budaya tertentu yang memberi legitimasi pada dominasi suami atas istri.

Ketiga, KDRT terjadi dalam proses yang legal, yaitu pernikahan. Inilah yang kemudian menimbulkan kerumitan, sebab masih banyak yang tidak tahu bahwa sebenarnya KDRT sebenarnya sudah diatur dalam UU UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Ketidaktahuan inilah yang kemudian menyebabkan penormalisasian masyarakat terhadap masalah KDRT, yang berimbas pada minimnya laporan KDRT yang diterima. Lebih lanjut, mereka memendam masalah tersebut sendiri disertai dengan kebingungan dalam menyelesaikannya.

Selain ketiga faktor tersebut, salah satu penyebab utama KDRT ini bisa bermain “petak umpet” adalah karena kuatnya dominasi budaya kita. Dimana budaya kita menekankan ikatan kekerabatan dan kekeuargaan yang begitu kuat. Sebagai contoh, jika seorang wanita mengalami kekerasan. Lalu ia pergi ke keluarganya (baik itu keluarga dari pihaknya mapuk dari pihak pasangan/mertua) untuk menceritakan kekerasan yang dialaminya tersebut. Bukannya menanyakan kondisi fisik dan psikis wanita tersebut, pihak yang dipercaya sebagai tempat untuk bercerita malah menanyakan “kamu sudah melakukan kesalahan apa sampai suamimu bisa marah dan memukulmu?”, pertanyaan ini bukannya menenangkan malah cenderung menyudutkan si wanita, seakan-akan dialah penyebab kekerasan itu terjadi, dialah yang menjadi tersangka dan si lelaki lah yang menjadi korban. Dan tak henti sampai disitu, pihak yang ditempati untuk bercerita malah memberikan pesan atau semacam wejangan agar istri bisa bersikap lebih patuh nan taat pada suaminya.

Stereotip Tentang Perempuan Sebagai Korban KDRT Di Masyarakat. (Sumber: Hasil Editan Di Apk canva.com)
Stereotip Tentang Perempuan Sebagai Korban KDRT Di Masyarakat. (Sumber: Hasil Editan Di Apk canva.com)

“kok masalah kayak gitu malah diumbar? Itukan urusan rumah tangga kamu”, seperti itulah kalimat yang mungkin sering kita dengar. Membuat pihak yang bercerita seakan-akan seorang tersangka yang membongkar masalah internal dalam dapur rumah tangga.

Setelah mengetahui penyebab-penyebab mengapa KDRT terus eksis sampai saat ini, bahkan meskipun telah ada UU terkait yang mengaturnya, muncullah pertanyaan fundamental tetapi sifatnya klimaks “apa yang bisa kita lakukan?”

Yang pertama, tentu saja membasmi berbagai mitos yang berseliweran tentang KDRT di masyarakat. Masyarakat diharapkan dapat bersifat lebih objektif dalam menyikapi persoalan KDRT yang terjadi di sekitarnya. Diharapkan masyarakat tidak lagi memandang KDRT semata-mata sebagai suatu sebab-musabab kesalahan perempuan tetapi tetapi sebagai masalah yang kompleks yang melibatkan berbagai faktor, termasuk dinamika kekuasaan dalam hubungan, norma-norma budaya yang cenderung berpihak pada kekerasan. Dengan begitu masyarakat bisa lebih aware dengan isu KDRT.

Kedua, mensosialisasikan (kampanye) terkait prinsip kesetaraan hirarki (sekarang lebih dikenal sebagai kesetaraan gender) antara laki-laki dan perempuan, utamanya dalam hubungan pernikahan. Sebab seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa KDRT terjadi karena pemberian hak pada laki-laki yang lebih superior dalam mengambil keputusan dan membuat pilihan, mengakibatkan ketidakseimbangan derajat antara keduanya. Apalagi negara kita tercinta ini merupakan sample negara penganut patriarki dalam sistem sosial, apalagi dalam sistem rumah tangga. Dimana laki-laki dibudayakan untuk berkuasa dan menjadi pemegang kekuasaan bak raja pada sistem monarki, sementara perempuan hanya bisa mendengar dan patuh pada sang raja, tanpa adanya hak secara utuh untuk terlibat dalam pengambilan keputusan.

Ketiga, memberikan konseling untuk pelaku dan dukungan untuk korban. Pemberian konseling sangatlah penting bagi pelaku KDRT. Ini bertujuan agar mereka menyadari dan bertaubat atas kesalahannya dan mencegahnya untuk mengulangi tindakan yang sama di kemudian hari. Dan yang tak kalah pentingnya adalah memberikan dukungan pada korban dalam konteks psikologis dan sosial. Ini bertujuan untuk memulihkan trauma dan memberikan rasa aman. Dengan begitu mereka dapat memulihkan rasa percaya diri, dan membangun keberanian untuk melanjutkan hidup.

Jangan Pasif Jika Melihat Hal-Hal Yang Berindikasi Kekerasan (Sumber: Hasil Editan Di Apk canva.com)
Jangan Pasif Jika Melihat Hal-Hal Yang Berindikasi Kekerasan (Sumber: Hasil Editan Di Apk canva.com)

Tibalah dibagian kesimpulan. Masalah KDRT merupakan suatu masalah yang serius yang perlu perhatian khusus. Sebab, meskipun telah ada UU terkait yang mengatur KDRT. Namun intensitas KDRT terus naik, ini dikarenakan para pelaku KDRT bisa bermain petak umpet dengan hukum, ranah KDRT yang privat menyebabkan sulitnya hukum mendeteksi berapa banyak persisnya kasus terkait yang terjadi. Karena itu, penulis berharap seluruh lapisan masyarakat mau berpartisipasi dalam menurunkan KDRT di negeri tercinta ini. Dimulai dengan melaporkan indikasi KDRT ke pihak berwenang, kampanye anti KDRT, bahkan jika seandainya ada KDRT yang terjadi di depan mata, masyarakat diharapkan tidak pasif menganggap itu bukan urusan mereka. melainkan langsung turun tangan mencegah perbuatan kekerasan tersebut. Dengan demikian tidak ada lagi space bagi pelaku KDRT untuk bermain petak umpet dengan hukum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun