Lalu jika berbicara terkait bentuk-bentuk KDRT, itu juga sudah disebutkan dalam Pasal 5 UU terkait. Bahwa ada 4 bentuk KDRT, yaitu: a. kekerasan fisik; b. kekerasan psikis; c. kekerasan seksual; atau d. penelantaran rumah tangga.
Pertama, kekerasan fisik. Ini merupakan perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit serta luka berat, contohnya seperti memukul, menendang, mencubit, mencekik, atau melukai dengan benda tajam.
Kedua, kekerasan psikis atau psikologis. Ini merupakan perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Contoh dari perbuatan ini penghinaan, ancaman, manipulasi, pengucilan, atau pengendalian secara emosional.
Ketiga, kekerasan seksual. Ini merupakan perbuatan dimana seseorang memaksa untuk melakukan hubungan seksual dengan tujuan yang beragam, contohnya memaksa pasangan untuk melakukan hubungan seksual yang tidak dinginkan atau bahkan dengan cara yang merendahkan.
Keempat, penelantaran rumah tangga. Merupakan bentuk pengabaian terhadap kewajiban untuk memenuhi kebutuhan fisik dan emosional anggota keluarga yang sebenarnya sudah diatur dalam hukum. Contohnya pengabaian anak dan pasangan.
Setelah mengetahui definisi, bentuk-bentuk KDRT. Pertanyaan yang mungkin muncul di benak kita adalah “padahal sudah diatur secara hukum, tapi mengapa KDRT masih terjadi?”
Sebenarnya jika kita coba runut keatas terkait penyebab terjadinya KDRT, maka kita akan menemukan bahwa penyebab terjadinya adalah karena masalah individu salah satu pasangan (paling sering laki-laki). Masalah ini bisa terjadi karena faktor internal, seperti gangguan mental, stress, frustasi dan kebiasaan buruk. Sampai pada intervensi secara eksternal yang melibatkan pengaruh orang-orang sekitar dalam membentuk “penyimpangan” pada diri calon pelaku. Artinya KDRT terjadi karena kelainan emosional serta persoalan struktur sosial yang kemudian mempengaruhi karateristik calon pelaku.
“KDRT sering diyakini sebagai suatu solusi yang ampuh untuk mengakhiri konflik dengan pasangan (istri).”
Stigma tersebut lah yang kemudian menjadikan KDRT sebagai sebuah siklus buruk yang berulang. Dan uniknya, masyarakat sering kali tidak menyadari eksisntensi siklus ini sebab mereka sering kali terjebak dalam sebuah logika cacat “kekerasan tidak mungkin terjadi jika istri tidak membantah, melawan ataupun melakukan perbuatan yang membuat suami marah.” Logika cacat inilah yang kemudian menyebabkan masyarakat melihat bahwa KDRT merupakan akibat dari hilangnya kontrol suami yang disebabkan oleh sang istri. Sederhananya logika ini meyakini bahwa jika istri tidak melakukan kesalahan maka suami tidak akan melakukan kekerasan pula terhadapnya.
Selain hal itu, masih ada lagi beberapa mitos yang diyakini masyarakat kita: bahwa KDRT hanya terjadi pada pasangan yang memang lemah secara ekonomi, atau mitos bahwa KDRT tidak akan terjadi jika istri taat beragama. Mitos jaman jahiliyah inilah yang harus diberantas. Sebab berkaca pada realita, banyak KDRT yang terjadi di kalangan pasangan dengan ekonomi baik-baik saja bahkan bisa dikatakan kaya. Bahkan jika kita ingin mengaitkannya dengan agama, seringkali pelaku KDRT "cuci tangan" atas dasar kewajiban agama, bahwa suami berhak memukul istri jika dia membangkang.
What kind of logic is that? Agama mana yang mengajarkan kekerasan, terlebih ke istri sendiri?