Mohon tunggu...
Ahmad Mutawakkil Syarif
Ahmad Mutawakkil Syarif Mohon Tunggu... Mahasiswa - Just a kid from Cendrawasih, Makassar

Hidup adalah seni menggambar tanpa penghapus

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Trend Tawuran #1: Apa Sebenarnya Penyebab Eksistensi Tawuran Yang Terus Meningkat?

6 November 2024   08:07 Diperbarui: 6 November 2024   22:06 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“TREND TAWURAN #1: APA SEBENARNYA PENYEBAB EKSISNTENSI TAWURAN YANG TERUS MENINGKAT BELAKANGAN INI?”

Beberapa tahun belakangan ini, tawuran seolah menjadi tren di kalangan anak muda. Sebenarnya eksistensi tawuran telah meningkat secara perlahan dimulai sejak beberapa dekade yang lalu. Namun kini, ia seakan-akan menjadi tren dan bagian dari gaya hidup anak muda zaman now. Bisa dilihat dari data yang terlampir di Badan Pusat Statistik (BPS) tentang Persentase Desa/Kelurahan Indonesia yang Pernah Menjadi Lokasi Tawuran Pelajar/Mahasiswa (2014-2021), disebutkan pada data tersebut bahwa pada 2014 peristiwa tawuran pelajar/mahasiswa terjadi di 0,4% desa/kelurahan Indonesia. Lalu pada 2018 mengalami kenaikan sampai 0.61%, menjadi 0,65%, dan turun menjadi 0,22% pada 2021. Data ini mengindikasikan bahwa pada 2021 peristiwa tawuran berkurang atau hilang sama sekali di sejumlah lokasi.

Namun penurunan itu dipengaruhi secara signifikan oleh  Covid-19. Dimana saat itu,  pemerintah memberlakukan kebijakan terkait pembatasan kegiatan sosial, mengubah banyak proses pelaksaanaan aktivitas masyarakat menjadi daring/online termasuk aktivitas sekolah tatap muka.

Saat kini, hampir di setiap sekolah ada sekelompok anak yang membuat sebuah geng, sebenarnya geng tersebut tidak merepresentasikan identitas ataupun nilai-nilai sekolah mereka. Geng tersebut hanyalah sekumpulan anak muda yang ingin mencari perhatian dan menunjukkan sisi narsistik mereka.. Dimana tujuan awal pembuatan geng ini tidak lain untuk meningkatkan status sosial mereka, agar mereka diakui, tidak hanya di kalangan sesama pelajar, tetapi juga masyarakat. 

Memang benar bahwa saat kita muda, terkadang ada beberapa situasi dimana diri kita haus akan validasi, entah saat sedang berada dalam ketidakpastian diri (pencarian jati diri), mengalami kegagalan dan penolakan, maupun menerima tekanan ataupun perbandingan sosial yang tinggi. Itu semua menimbulkan kecenderungan ingin tampil menonjol dan menjadi pusat perhatian. Entah itu agar mereka tetap merasa bernilai, tidak tertinggal dengan yang lain, ataupun sebagai pembuktian bahwa mereka juga layak.

Namun tanpa disadari, berawal dari haus akan validasi inilah yang menjadi pondasi dasar penyebab eksisnya tawuran di Indonesia. Sekelompok anak yang telah membentuk geng tadi, akan merasa harga dirinya tertantang ketika melihat ada kelompok lain yang serupa/sejenis dengan mereka. Secara psikologis, geng anak-anak ini akan mengalami reaksi emosional berupa:

1. Persaingan Serta Kecemburuan:

Kelompok anak-anak ini bisa saja merasa terancam atau iri karena melihat kelompok lain yang juga memiliki pengaruh atau daya tarik yang serupa. Hal ini bisa menimbulkan bibit-bibit persaingan, di mana masing-masing geng merasa perlu membuktikan bahwa mereka lebih "hebat" atau "kuat" dari kelompok lainnya.

2. Perilaku Agresif Atau Provokatif:

Ketika sekelompok geng ini merasa eksistenti meraka terancam, mereka cenderung menjadi lebih agresif atau provokatif dalam bertindak. Mereka akan mencoba menunjukkan kekuatan mereka, misalnya melalui bahasa tubuh, intimidasi, atau bahkan aksi kekerasan.

3. Ingin Membentuk Identitas Yang Lebih Kuat:

Kemunculan ataupun keberadaan dari kelompok lain bisa mendorong “permainan anak-anak” ini untuk lebih menonjolkan identitas kelompok mereka, misalnya dengan menggunakan simbol, slogan, atau cara berpakaian tertentu. Tujuannya tidak lain dan tidak bukan untuk menunjukkan pada public bahwa mereka berbeda, bahkan lebih unggul, daripada kelompok geng yang lain.

Reaksi-reaksi diatas akan memicu dorongan bagi kelompok anak-anak ini/geng untuk mendapatkan validasi eksternal. Mereka menjadi lebih sering menunjukkan keberadaannya di depan orang lain atau di tempat umum, baik untuk mencari pengakuan maupun untuk membuktikan status mereka di mata masyarakat atau kelompok sebaya. Dan ketika satu kelompok dan kelompok lainnya dengan tujuan yang sama—mencari validasi eksternal ini bertemu dalam satu ruang kekuasaan, maka persentase untuk terjadinya sebuah perselisihan sangat tinggi. 

 

Adanya kesamaan tujuan, yaitu untuk sama-sama berusaha untuk mendapatkan pengakuan dari pihak luar (misalnya, teman-teman sebaya, masyarakat sekitar, atau pengikut di media sosial). Dan ketika tujuan mereka untuk menjadi "yang paling diakui" atau "yang paling berpengaruh" saling berbenturan, maka akan muncul sesuatu yang disebut persaingan. situasi di mana orang-orang atau kelompok-kelompok berlomba meraih tujuan yang sama. Dari sudut pandang sebuah geng, ada kalanya geng lain bisa menjadi ancaman bagi reputasi atau eksistensi mereka. Ketika ada ancaman terhadap harga diri atau identitas kelompok, anggota geng cenderung mempertahankan posisi mereka, bahkan jika itu artinya harus  berkonfrontasi dengan kelompok lain. Rasa terancam inilah yang akan meningkatkan risiko konflik.

Dalam kondisi ini, konflik sering kali bukan lagi soal individu, melainkan soal harga diri kelompok, yang membuat perselisihan lebih sulit dihindari dan cenderung semakin eskalatif. Adanya kesamaan tujuan—mendapatkan validasi, membuat mereka akan sulit untuk mengalah atau mengalahkan ego masing-masing. Akibatnya, situasi tersebut sering berujung pada perselisihan atau bahkan bentrokan fisik karena masing-masing pihak tidak ingin dianggap lemah atau kalah.

Ketika fenomena sosial bertemu dengan fenomena sosial lainnya, maka interaksi yang terjadi di antara keduanya dapat menghasilkan satu atau bahkan lebih dinamika baru. Dalam ranah sosial, fenomena sering kali tidak berdiri sendiri; mereka saling mempengaruhi, memperkuat, atau bahkan membandingkan satu sama lain. Inilah yang kemudian disebut dengan fenomena yang menghasilkan fenomena/tren baru (asimilasi sosial). Fenomena kemunculan geng-geng di banyak sekolah di Indonesia, memicu persaingan antar kelompok yang dimana akhirnya menyebabkan dinamika yang kompleks. Lahirnya tren tawuran menjadi salah satu "ekspresi" dari interaksi antara kebutuhan eksistensi, solidaritas kelompok, dan persaingan dalam ranah sosial. Fenomena ini bukan sekedar konflik antarindividu, namun sudah berkembang menjadi konflik yang terstruktur, dengan dinamika dan karakteristik khas yang terus mengakar di kalangan remaja.

Penjelasan Terkait Dampak Interaksi Fenomena Sosial. SUMBER: CANVA.
Penjelasan Terkait Dampak Interaksi Fenomena Sosial. SUMBER: CANVA.

Sebenarnya, selain mencari validasi, masih ada lagi beberapa faktor yang menjadi akar, dimana menyebabkan eksistensi tawuran terus meningkat selama beberapa tahun terakhir, di antaranya:

Faktor lingkungan

Tak dapat dipungkiri, di kalangan remaja. Lingkungan di mana seseorang tumbuh dan berkembang bisa memberikan pengaruh kuat terhadap cara berpikir, perilaku, dan pilihan hidup mereka, termasuk dalam hal kecenderungan untuk terlibat dalam konflik atau tawuran. Misalnya di wilayah yang memiliki tingkat kriminalitas tinggi, kekerasan cenderung menjadi hal yang "normal" atau dianggap bagian dari kehidupan sehari-hari. Remaja yang tumbuh di lingkungan semacam ini bisa melihat kekerasan sebagai cara yang wajar untuk menyelesaikan masalah atau mempertahankan diri.

Ada beberapa wilayah juga yang sudah menjadikan tawuran sebagai bagian dari tradisi/kebiasaan, entah itu dalam rangka mempertahankan harga diri dan kehormatan. Budaya semacam ini lah yang kemudian mendorong seorang individu untuk merespons masalah dengan agresif atau konfrontasi. Remaja di lingkungan seperti ini mungkin merasa bahwa mereka harus "melawan" atau mempertahankan kelompoknya demi mendapatkan pengakuan atau mempertahankan kehormatan. Tawuran menjadi semacam tradisi tidak tertulis yang diwariskan dari generasi ke generasi. Bagi sebagian orang, ini merupakan hal yang lucu, sebab yang kita yakini adalah bahwa sebuah budaya yang diwariskan haruslah budaya yang mampu membentuk karakter dan nilai positif dalam diri individu, serta berkontribusi terhadap keharmonisan dan kemajuan masyarakat secara keseluruhan, dan tawuran jelaslah tidak memenuhi kriteria tersebut.

Selain itu, lingkungan keluarga juga bisa menjadi cikal-bakal munculnya bibit “petarung” ini. Lingkungan yang minim pengawasan dari orang tua, keluarga, atau tokoh masyarakat cenderung membuat remaja lebih bebas untuk terlibat dalam aktivitas yang tidak sehat. Tanpa adanya bimbingan atau arahan, remaja akan lebih rentan terpengaruh oleh teman sebaya atau kelompok dengan nilai-nilai negatif. Tawuran bisa menjadi bentuk pelampiasan kebebasan ini, di mana mereka merasa "bebas" untuk melakukan tindakan agresif tanpa takut konsekuensi.

Selain Faktor Lingkungan, Ada Juga Faktor Pengaruh Media Sosial

Tak dapat dipungkiri, bahwa ada banyak platform sosial media, yang saat ini digunakan, dan telah menjadi bagian dari kebutuhan masyarakat kita, seperti facebook, Instagram, twitter, whatsapp, dan sebagainya. Platform-platform ini memang memiliki banyak manfaat, tetapi ada juga dampak negative yang bisa ditimbulkan akibat penggunaannya, terutama dalam konteks tawuran antar kelompok. Tak jarang, seringkali dijumapi konten-konten yang bersifat negatif maupun dpat mengundang provokasi.

Banyaknya kemunculan konten yang bersifat provokatif, seperti gambar, video, atau tulisan yang mengandung kebencian, sering kali menyebar dengan cepat di media sosial. Konten ini bisa menyinggung kelompok atau individu tertentu dan memicu amarah, yang akhirnya berujung pada aksi tawuran. Dan akibatnya lebih mudah terpancing untuk kemudian menanggapi provokasi dengan kekerasan.

Ada satu fakta menarik yang ingin penulis sampaikan, jika kita perhatikan beberapa tahun belakangan ini, terutama sejak menyebarnya virus covid-19, ada banyak orang-orang yang muncul di sosial media untuk menceritakan masa lalu mereka sewaktu sekolah, dimana mereka seringkali tawuran sampai menggunakan sajam. Sebut saja Katak Bhizer yang terkenal dengan slogan “Jangan Begitu Ya Lain Kali”, selain itu, masih ada Alex Bhizer, Yunus Sasmita, dan masih banyak lagi orang-orang yang bercerita tentang masa lalu mereka yang berkenaan dengan tawuran. Dimana bagi penulis, ini cenderung dilebih-lebihkan, sebab ada saja bagian yang tidak masuk akal, seperti cerita Katak Bhizer bahwa ia pernah melawan 150 orang sendirian. "Sangat Tidak Masuk Akal Bukan?".

Wujud Asli Katak Bhizer. SUMBER: https://www.youtube.com/watch?v=EK6Xd5BW4I0
Wujud Asli Katak Bhizer. SUMBER: https://www.youtube.com/watch?v=EK6Xd5BW4I0

Lucunya, di kalangan anak muda, mereka ini bak motivator, layaknya seorang pahlawan yang menceritakan perjuangannnya melawan penjajah. Bahkan beberapa ada yang menjadikan mereka sebagai idolanya,--dimana sebenarnya masih banyak orang yang jauh lebih layak untuk dijadikan idola daripada mereka.  Dan dari sinilah bibit-bibit orang sok jago itu muncul, keinginan untuk meniru idola mereka, membuat mereka terbilang nekat untuk melakukan tindakan-tindakan berbahaya yang dilakukan idolanya itu.

Kadang kala konflik tawuran ini juga bermula dari komentar atau unggahan yang menyinggung, dan kemudian berlanjut menjadi perselisihan fisik. Pengguna sosial media saat ini cenderung “bertindak dulu baru berpikir”. Maksudnya seseorang terkadang berkomentar tanpa memikirkan dampak atau konsekuensi dari kata-kata mereka. Yang dimana tujuan awal komentarnya untuk candaan atau sekedar kritik ringan bisa dianggap sebaliknya oleh pihak tertentu, inilah yang kemudian disebut dengan istilah “mental sosmed” atau "mental online".

 

Penjelasan diatas tadi merupakan gambaran singkat terkait bagaimana eksistensi tawuran yang terus menerus meningkat selama beberapa tahun dekade belakangan ini. Serta bagaimana faktor-faktor psikologis serta realita di masyarakat mempengaruhi dinamika perkembangan eksistensi dari tawuran ini. Sebenarnya selain faktor-faktor yang telah disebutkan diatas, masih ada lagi faktor-faktor lainya yang turut mempengaruhi arah perkembangan tren tawuran ini, baik itu faktor dalam bidang sosial maupun ekonomi, dan faktor dari bidang-bidang lainnya.

Pada tulisan berikutnya, akan dijelaskan, bagaimana konstitusi di negara kita melihat tren tawuran ini, serta bagaimana hukum mengatur orang-orang yang terlibat di dalamnya. Akan dijelaskan pula bagaimana tindakan-tindakan yang bersifat preventif, repsresif maupun preemptif dalam mencegah dan menurunkan angka tawuran di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun