3. Ingin Membentuk Identitas Yang Lebih Kuat:
Kemunculan ataupun keberadaan dari kelompok lain bisa mendorong “permainan anak-anak” ini untuk lebih menonjolkan identitas kelompok mereka, misalnya dengan menggunakan simbol, slogan, atau cara berpakaian tertentu. Tujuannya tidak lain dan tidak bukan untuk menunjukkan pada public bahwa mereka berbeda, bahkan lebih unggul, daripada kelompok geng yang lain.
Reaksi-reaksi diatas akan memicu dorongan bagi kelompok anak-anak ini/geng untuk mendapatkan validasi eksternal. Mereka menjadi lebih sering menunjukkan keberadaannya di depan orang lain atau di tempat umum, baik untuk mencari pengakuan maupun untuk membuktikan status mereka di mata masyarakat atau kelompok sebaya. Dan ketika satu kelompok dan kelompok lainnya dengan tujuan yang sama—mencari validasi eksternal ini bertemu dalam satu ruang kekuasaan, maka persentase untuk terjadinya sebuah perselisihan sangat tinggi.
Adanya kesamaan tujuan, yaitu untuk sama-sama berusaha untuk mendapatkan pengakuan dari pihak luar (misalnya, teman-teman sebaya, masyarakat sekitar, atau pengikut di media sosial). Dan ketika tujuan mereka untuk menjadi "yang paling diakui" atau "yang paling berpengaruh" saling berbenturan, maka akan muncul sesuatu yang disebut persaingan. situasi di mana orang-orang atau kelompok-kelompok berlomba meraih tujuan yang sama. Dari sudut pandang sebuah geng, ada kalanya geng lain bisa menjadi ancaman bagi reputasi atau eksistensi mereka. Ketika ada ancaman terhadap harga diri atau identitas kelompok, anggota geng cenderung mempertahankan posisi mereka, bahkan jika itu artinya harus berkonfrontasi dengan kelompok lain. Rasa terancam inilah yang akan meningkatkan risiko konflik.
Dalam kondisi ini, konflik sering kali bukan lagi soal individu, melainkan soal harga diri kelompok, yang membuat perselisihan lebih sulit dihindari dan cenderung semakin eskalatif. Adanya kesamaan tujuan—mendapatkan validasi, membuat mereka akan sulit untuk mengalah atau mengalahkan ego masing-masing. Akibatnya, situasi tersebut sering berujung pada perselisihan atau bahkan bentrokan fisik karena masing-masing pihak tidak ingin dianggap lemah atau kalah.
Ketika fenomena sosial bertemu dengan fenomena sosial lainnya, maka interaksi yang terjadi di antara keduanya dapat menghasilkan satu atau bahkan lebih dinamika baru. Dalam ranah sosial, fenomena sering kali tidak berdiri sendiri; mereka saling mempengaruhi, memperkuat, atau bahkan membandingkan satu sama lain. Inilah yang kemudian disebut dengan fenomena yang menghasilkan fenomena/tren baru (asimilasi sosial). Fenomena kemunculan geng-geng di banyak sekolah di Indonesia, memicu persaingan antar kelompok yang dimana akhirnya menyebabkan dinamika yang kompleks. Lahirnya tren tawuran menjadi salah satu "ekspresi" dari interaksi antara kebutuhan eksistensi, solidaritas kelompok, dan persaingan dalam ranah sosial. Fenomena ini bukan sekedar konflik antarindividu, namun sudah berkembang menjadi konflik yang terstruktur, dengan dinamika dan karakteristik khas yang terus mengakar di kalangan remaja.
Sebenarnya, selain mencari validasi, masih ada lagi beberapa faktor yang menjadi akar, dimana menyebabkan eksistensi tawuran terus meningkat selama beberapa tahun terakhir, di antaranya:
Faktor lingkungan
Tak dapat dipungkiri, di kalangan remaja. Lingkungan di mana seseorang tumbuh dan berkembang bisa memberikan pengaruh kuat terhadap cara berpikir, perilaku, dan pilihan hidup mereka, termasuk dalam hal kecenderungan untuk terlibat dalam konflik atau tawuran. Misalnya di wilayah yang memiliki tingkat kriminalitas tinggi, kekerasan cenderung menjadi hal yang "normal" atau dianggap bagian dari kehidupan sehari-hari. Remaja yang tumbuh di lingkungan semacam ini bisa melihat kekerasan sebagai cara yang wajar untuk menyelesaikan masalah atau mempertahankan diri.