Mohon tunggu...
Ahmad Munir Chobirun
Ahmad Munir Chobirun Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas

Penulis Lepas, Pengelola Blog ahmadmunir.page.tl

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Musim Hujan, Akankah Jakarta Panen Air?

5 Januari 2018   01:00 Diperbarui: 5 Januari 2018   14:22 1133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masyarakat Indonesia sangat familiar, dengan pemberitaan di media, ketika musim hujan terjadi banjir dimana-mana dan ketika musim kemarau justru kekeringan. Permasalahan ini terjadi secara periodik di beberapa daerah di Indonesia. 

Jakarta termasuk salah satu daerah, dengan kondisi demikian. Saat ini Jakarta lebih sering hujan, terutama sejak Desember 2017 lalu, kemungkinan sampai Februari 2018 intensitas hujan masih tinggi, jika melihat pola curah hujan tahunannya Jakarta. Apa hujan ini membawa berkah?

Idealnya hujan menjadi berkah. Karenanya tanaman tumbuh, karenanya pula tidak terjadi kekeringan di  darat. Tapi apakah benar, kondisinya demikian saat ini? 

Jika tidak demikian, maka timbul pertanyaan, mungkin tidak dibuat pola pengelolaan yang memungkinkan air pada musim kemarau dapat dipanen dan dicadangkan, untuk pemanfaatan pada musim kemarau. Tentu menjawab permasalahan ini tidak sederhana, dibutuhkan kajian akademik yang cukup serius, sehingga dapat difungsikan pola pengelolaan air yang ideal.

Salah satu konsep yang sedang dikembangkan adalah konsep panen hujan. Hujan yang semula dianggap fenomena biasa, sudah mulai dilirik agar keberadaanya dapat dimanfaatkan secara optimal. Apalagi dalam kondisi dan situasi kota yang sangat dinamis, air hujan menjadi potensi sumber air yang teramat sangat penting.

Definisi Panen Air

Memanen air atau panen air (rain water harvesting) adalah upaya mengoptimalkan sumber air dari curah hujan, agar dapat seoptimal-optimalnya dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia. 

Panen dalam konteks air tentu tidak sama persis dengan panen dalam objek pertanian dan perkebunan. Siklus panen pada tanaman berdasarkan masa tanam, sedangkan siklus air secara periodik dalam skala tahunan (revolusi matahari) terjadi proses yang hampir sama, walaupun kadang dalam jumlah yang berbeda.

Memanen adalah mengambil manfaat dari objek yang secara periodik keluar hasilnya. Misalnya, memanen padi berarti pada periode tertentu pasca membibit, menanam/mengairi, menyiangi, memupuk, selanjutnya memanen. Air juga demikian, tiba saatnya dari sekian proses yang dijalani, terus turun sebagai air hujan. Tentu batasan memanen agak berbeda, dan ada kelonggaran dalam mendefinisikan batas "memanen" dalam istilah panen air.

Konsep panen, sama halnya dengan ketika memanen padi, maka objek padi diambil buahnya, untuk selanjutnya disimpan sebagai cadangan sumber pangan. 

Air hendaknya juga demikian, megingat air memiliki posisi vital, maka air dikumpulkan dan dicadangkan untuk selanjutnya dimanfaatkan pada waktu dibutuhkan dan langka. Pemahaman mengumpulkan objek panen dalam jumlah banyak, untuk disimpan dalam gudang (storage) itu yang mendasari air hujan hendaknya dipanen.

Panen dalam konteks air hujan dapat dilakukan dengan dua metode, metode vegetatif dan metode generatif. Secara generatif, pasca air hujan jatuh, air akan mengalami setidaknya tiga proses; pertama terserap ke dalam tanah (infiltrasi), mengalir menjadi air permukaan (run-off), dan diupkan kembali ke ruang udara (evaporasi). 

Memanen air bermakna, menampung air dalam tanah seoptimal mungkin, untuk mengisi kantong-kantong air dalam tanah (recharge aquifer), pada proses infiltrasi.

Atau menampung air dalam tampungan air yang luas seperti waduk, situ, bendungan, empang, embung dll pada proses run-off. Jadi secara generative, dua proses dalam siklus air dapat dioptimalkan untuk memanen hujan. 

Namun demikian, tidak semua kondisi wilayah memungkinkan untuk memanen air. Daerah yang berupa cekungan, dengan kadar air tinggi, sejenis rawa tentu tidak optimal memanen air hujan.

Secara vegetatif, manusia melakukan intervensi pada proses infiltrasi dan penampungan run-off. Secara vegetatif, air hujan yang akan masuk ke dalam tanah kadang terhambat oleh bangunan, atau kemampatan tanah yang tinggi. 

Sehingga diperlukan upaya vegetatif, salah satu caranya dengan membantu menggemburkan rongga-rongga tanah dengan membuat sumur resapan atau sumur biopori. 

Begitu pula, pada proses run-off, manusia dapat melakukan upaya vegetative, dengan membendung air, membuat kantong air pada tanah dengan kemiringan tinggi, atau membuat waduk dan bendungan dalam skala besar untuk menampung air.

Jadi secara spasial, panen air juga tidak dilakukan secara sembarangan. Tentu ada batasan, untuk memanen air secara optimal. Secara ilmiah tentu membutuhkan perhitungan yang rinci dan digit, akan tetapi secara sederhana dapat dijelaskan, konsep panen air tidak lepas dari neraca air (water equilibrium).

Lalu Bagaimana dengan Konsep Panen Air di Jakarta?

Secara geologis, Jakarta dengan dominasi zona alluvial, sangat berpotensi memanen air hujan dalam jumlah banyak, baik secara vegetatif maupun generatif. Secara generative, posisinya yang datar/landau hingga datar bergelombang, berpotensi menyerap air dalam jumlah yang cukup tinggi. 

Namun demikian, kondisi Lanskape Jakarta didominasi bentang alam (lanskape) buatan/budaya, hasil karya manusia. Sudah sangat kecil rasio lanskape alami dibanding lanskape buatan. Karena itu, kondisi memperebutkan Jakarta tidak ubahnya berebut dalam kejenuhan.

Kondisi fisik Jakarta yang demikian, tentu akan berbeda dengan Jakarta tempo dulu. Perubahan lanskape permukaan bumi yang sangat cepat dan dinamis, menyebabkan Jakarta membutuhkan konsep khusus dalam panen air. 

Rasio tutupan lahan yang terbangun dan tidak terbangun hampir 60:40 menyebabkan Jakarta berada pada kondisi sulit melakukan proses infiltrasi. Proses recharge air ke dalam tanah membutuhkan intervensi, diantaranya sumur resapan dan sumur biopori.

Jadi konsep panen air yang lebih mudah dilakukan adalah metode vegetatif. Air lebih mudah ditampung dalam bendungan, situ, waduk, drainase, dll. Ini sebagai akibat dari tutupan lahan yang dominan lahan terbangun.

Jakarta Selatan dan Jakarta Timur menjadi zona yang lebih potensial untuk dibuatkan konsep panen air secara vegetative, mengingat lebih banyak ruang terbuka hijau. Posisi RTH menjadi unggul pada saat daerah administrasi lain, justru mengalami perkembangan dan pembangunan yang luar biasa.

Kapan Saat yang Tepat Memanen Air?

Saat memanen air tentu pada saat jumlah curah hujan tinggi. Di Jakarta curah hujan tinggi, antara bulan Oktober -- Maret. Januari dan Februari menjadi puncak musim hujan dalam tiap tahunya, bahkan kadang mendatangkan banjir.

Jadi saat ini, bulan Januari dan Februari menjadi saat yang tepat membuat konsep panen air di Jakarta. Panen ini dapat dilakukan apabila secara sadar, warga Jakarta memperhatikan siklus air. Jika kondisinya dengan mudah tidak pernah menemukan hambatan dengan air, maka potensi menggerakkan untuk memanen air juga kecil.

Air hujan dan tanah sendiri menghadapi kondisi kejenuhan. Pada kondisi jenuh, tentu pemanenan air dengan optimalisasi air tanah kurang optimal. Air akan melimpas dan hendaknya ditampang dalam situ atau bendung bendung. Pada saat ini, memang air hendaknya dipersiapkan untuk mengisi waduk-waduk yang kekeringan.

Startegi Memanen Air

Tujuan utama dari upaya memanen air adalah menghindari kekeringan pada musim kemarau. Biasanya pada musim kemarau, tinggi muka air untuk sumur-sumur warga di DKI menurun. Kondisi ini tentu berdampak pada penurunan muka air tanah, sehingga sebagian pompa sumur terhenti. Peningkatan penggunaan air permukaan, utamanya dari PAM menjadi naik. 

Jika kondisi supply dari PAM cukup, tidak masalah, akan tetapi suplly pada musim kemarau bianya berkurang. Waduk di Jatiluhur juga susut debit airnya. Akibatnya tentu terjadi kondisi penyusutan jumlah air, yang berdampak pada penurunan ketersediaan jumlah air dalam melayani jumlah penduduk. 

Khusus di DKI Jakarta persoalan krisis air, hendaknya sudah tidak muncul menjadi masalah. Persoalannya pada ketepatan mengelola secara teknis sumber air di DKI Jakarta.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan mempertimbangkan dua kali, jika diharuskan berinvestasi dalam pengelolaan sumber air permukaan DKI Jakarta. 

Pasalnya pemerintah sudah lama memberikan kuasa pengelola air pada pihak swasta. Jadi DKI sudah pada zona nyaman memanfaatkan air permukaan di Jakarta.

Secara ekologi, memanen air hendaknya dilakukan untuk jangka panjang. Jangka panjang untuk memanen air diperlukan banyak spot lokasi yang ideal, untuk penyerapan air ke dalam tanah. Ruang terbuka (RT) dan ruang terbuka hijau (RTH) kuncinya. Semakin luas RT dan RTH, maka semakin besar potensi panen airnya.

Strategi yang perlu dilakukan adalah kampanye panen air. Kampanye menjadi alternatif, agar panen air menjadi gerakan yang dilakukan bersama-sama. 

Partisipasi yang tinggi, akan menambah cadangan air yang hendak disimpan. Jadi semakin banyak gerakan memanen air, semakin banyak air yang dapat dimasukkan dalam storage, untuk merecharge kembali kondisi tanah, agar terisi air.

Sayang, kondisinya belum sepenuhnya ideal. Kampanya panen air, jarang dijalankan. Jakartapun biasa-biasa saja menghadapi banjir tahunan, entah karena tanggul jebol, atau karena debit kiriman, yang jelas air belum dioptimalkan untuk dipanen pada musim hujan. Ini PR besar!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun