Kedua, bila benar apa yang disebutkan dalam berbagai media, ingat bahwa SBY adalah seorang infanteri yang dilengkapi dengan pendidikan Jungle Warfare, yang mengajarinya menyerang dan bertahan hidup.
Bila mengamankan status besan dipandang sebagai sebuah peperangan, maka SBY akan melakukannya sejak awal. SBY tidak akan pernah membiarkan kasus YPPI itu menguak ke permukaan. Lebih dari pada itu, betapa bodoh prajurit infanteri itu, bila membiarkan YPPI terungkap, yang berakibat fatal itu, baru SBY mengirim utusan untuk menyelamatkan target operasinya.
Sungguh bukan sikap seorang SBY yang memercayai sebuah pekerjaan besar kepada pihak lain.
Bila kemudian memang tidak masuk akal, mengapa jurus mabuk itu dilakukan?
Meminjam terori konspirasi, Antasari adalah pendukung paslon cagub-cawagub DKI Jakarta Basuki - Djarot. Pengumuman Antasari dilakukan hanya sehari menjelang hari pencoblosan dengan harapan, pertama, mendeskreditkan SBY akan menumbangkan popularitas paslon nomor urut 1, Agus - Silvy. Kedua, menyeret Hary Tanoe diharapkan akan membuat citra paslon nomor urut 3, Anies - Sandi buruk sehingga banyak suara akan beralih ke paslon nomor urut 2, Basuki - Djarot.
Kemungkinan yang lainnya, manuver Antasari bisa dipandang sebagai pengalihan isu karena saat ini pihak berkuasa sedang memerlukan “korban” besar untuk menggeser perkembangan kasus dugaan korupsi pajak PT. EKP yang sedang digarap KPK.
Dalam dakwaan penuntut umum disebutkan adanya peran Arif Budi yang bertemu langsung dengan dirjen pajak. Bila benar terjadi, pengusaha asal Solo itu telah melukai puluhan juta rakyat Indonesia yang belakangan merasa terancam oleh negara akibat pemberlakuan tax amnesty. Ironinya, saat rakyat tunggang langgang, Arif Budi justru menguapkan potensi pemasukan negara dari sektor perpajakan.
Jadi, apapun tujuan sebenarnya dari drama jurus mabuk itu, kali ini Antasari benar-benar berhadapan dengan seorang prajurit infanteri yang murka karena marwahnya dan ketenangan keluarga besarnya, diganggu.
Bisa dibayangkan, bila Antasari tidak dapat membuktikan ucapannya itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H