Mohon tunggu...
ahmad hassan
ahmad hassan Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Berkecimpungan dalam dunia pendidikan. Suka musik klasik & nonton film. Moto "semua sudah diatur".

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tersenyum

28 Januari 2023   10:10 Diperbarui: 28 Januari 2023   10:14 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum pandemi merebak, kehidupan Dino bisa dibilang cukup ideal. Dia punya usaha yang maju, istri yang muda dan cantik, rumah, kendaraan, simpanan di bank, dan barang-barang berharga lainnya. Selain itu, ia juga bisa dibilang punya status sosial yang terpandang, relasi bisnis yang luas, dan reputasi yang disegani.

Namun setahun pandemi berlalu, semua berubah total. Dino tak pernah menyangka pandemi akan berlangsung selama dan separah itu. Alih-alih berharap pandemi segera berakhir, yang terjadi malah sebaliknya. Kondisi semakin lama semakin memburuk dan tak terkendali. Hal-hal di luar ekspektasi terjadi begitu saja tanpa pernah diduga sama sekali. Bak kanker ganas, pandemi menggerogoti seluruh lini hidupnya secara masif dan kronis.

Usaha dan bisnisnya kolaps dan mati suri. Sementara tabungan di rekeningnya terus menipis dan dipastikan habis. Saat bersamaan, tagihan dan utangnya mulai menunggak. Akibatnya mau tak mau berbagai aset dan kepemilikannya terpaksa dijual satu per satu guna menutupi defisit dan kekurangan agar tetap bisa survive dan bertahan hidup.

Baca juga: Sengkarut (1/2)

Kondisi itu diperparah lagi saat sang istri yang berbeda usia 14 tahun lebih muda darinya, pergi meninggalkannya. Tak sampai disitu, istri mudanya itu menggugat cerai dan menuntut harta gana-gini dari pernikahan mereka yang hanya berlangsung selama dua tahun tersebut.

Tak lama berselang, sebuah peristiwa duka lara terjadi. Sang ibu, orangtua satu-satunya yang masih ada, berpulang ke hadirat-Nya. Sebagai pasien komorbid, beliau telah berjuang keras melawan virus mematikan yang menginfeksi tubuhnya. Namun Tuhan berkehendak lain.

Menghadapi berbagai musibah yang datang silih berganti, Dino berusaha untuk tetap sabar dan tegar. Namun saat beban itu dirasa kian berat dan memuncak, sulit baginya untuk bisa terhindar dari stres. Ia terus meratapi nasibnya yang begitu malang dan merasa tak berdaya dengan semua yang menimpa dirinya. Juga seakan tak mampu untuk bangkit dari keterpurukan karena didera masalah mental yang serius.

..........

Suatu hari, seorang sahabat Dino kebetulan lewat di daerah tempat tinggalnya. Karena lama tak bertemu sejak pandemi, sang sahabat spontan memutuskan untuk mampir. Tak menyangka mendapat kunjungan ketika pembatasan mobilitas dan pergerakan diberlakukan selama pandemi, Dino menyambut baik dan senang dengan kedatangan itu.

Kepada sahabatnya, Dino menceritakan segala kesulitan dan kesusahan hidupnya. Mendengarkan pengakuan Dino, sang sahabat merasa terenyuh dan bersimpati seraya coba menguatkan serta mendoakannya agar segera bisa keluar dari masalah yang merundungnya.

Merasa khawatir pada Dino, sebelum pamit pulang sang sahabat berpesan padanya."Din, mohon jangan tersinggung ya. Kalau boleh saran, ada baiknya kau bertemu psikiater. Jangan pikirkan masalah biaya! Kau tidak perlu bayar. Katakan saja saya yang menyuruh datang. Dia kakakku sendiri," ujarnya sambil memberikan nomor HP sang psikiater.

Dino berterima kasih atas kunjungan sang sahabat. Ia juga sangat menghargai bantuan yang ditawarkan. Namun ia tidak memberi jawaban secara eksplisit terkait saran yang diajukan.

........

Dino awalnya tak hirau dengan saran sang sahabat. Namun karena kondisi dirinya yang semakin hari semakin merasa tertekan, ia lalu memutuskan untuk menemui psikiater atau dokter ahli jiwa yang disarankan padanya.

Setelah mendengar pengakuan Dino yang panjang lebar, dokter berkata, "Tuan Dino, anda tahu selama kita masih hidup pasti punya masalah. Hanya orang mati yang terbebas dari masalah. Saya telah 30 tahun lebih menjalani profesi ini. Dari pengalaman itu, saya ingin menyampaikan satu hal pada anda. Jika anda bisa melakukan hal itu, mudah-mudahan masalah anda bisa terselesaikan."

"Apa itu, Dok?" tanyanya penasaran.

"Anda harus berusaha untuk tersenyum," katanya.

"Tersenyum?" ucapnya heran.

"Ya, tersenyum," sahutnya.

"Maksud Dokter?" tanyanya kembali.

"Hadapilah setiap masalah dengan senyuman. Sesulit dan seberat apapun itu. Cobalah untuk tetap tersenyum. Yakinlah segala persoalan pasti ada jalan keluarnya," paparnya.

Dino tersenyum mendengar resep yang diberikan sang dokter dan berterima kasih padanya. Namun dalam hatinya, ia bertanya-tanya. Apa mungkin masalah yang  sedang ia hadapi sekarang bisa diselesaikan hanya dengan tersenyum? Ia menganggap masalahnya terlalu berat dan rumit untuk bisa diselesaikan dengan cara sesederhana itu.

........

Di suatu malam, rumah kontrakan yang ditempati Dino, disatroni maling. Rumah yang baru ditempati sebulan itu dalam keadaan gelap gulita karena token listriknya belum diisi pada hari itu. Ia terpaksa mengontrak di rumah itu karena kepemilikan rumah lamanya jatuh ke tangan mantan istrinya setelah mereka resmi bercerai.

Kedua maling itu tampaknya sudah mempelajari rumah itu sebelumnya. Mengetahui dan memanfaatkan celah di bagian dinding atas rumah yang hanya ditutup selembar seng, mereka menyelinap masuk ke dalam rumah. "Kretak! Kretek! Sreeek!" Terdengar bunyi seng yang dibuka dan digeser. Setelah berhasil masuk, mereka turun lewat tangga sampai di bagian dapur.
 
Meskipun pelan, berbagai bunyi yang ditimbulkan dari aktivitas maling itu terdengar sangat jelas di malam yang sunyi dan sepi itu. Mendengar berbagai gangguan suara itu, Dino terbangun. Mulanya ia mengira itu hanya kucing atau angin. Namun lama-kelamaan muncul kecurigaan jika bunyi itu bukan berasal dari apa yang ia sangka tapi perbuatan orang alias maling.

Menyadari hal tersebut, ia sempat panik. Namun segera bisa menenangkan diri. Di saat genting itu, tiba-tiba saja ia teringat nasihat sang dokter. Sebuah ide muncul dalam benaknya. Meskipun ragu, ia merasa tak punya pilihan lain seraya bergumam, "Tak ada salahnya untuk dicoba."

Dengan menggunakan senter, kedua maling mulai merambah setiap ruang dalam rumah itu guna mencari barang-barang berharga untuk dicuri. Saat tiba di depan kamar Dino, keduanya mendengar seperti suara seseorang yang sedang berdoa. Suara doa itu terdengan cukup jelas sehingga memancing perhatian mereka.

"Tuhanku! Aku sudah tak punya apa-apa lagi. Sejak pandemi terjadi, hartaku berangsur habis. Usahaku pun rontok. Tabunganku terus tergerus. Akupun terusir dari rumahku sendiri dan terpaksa mengontrak disini. Bahkan istriku tega pergi meninggalkanku dan menuntut hartaku. Lalu ibuku yang tercinta wafat akibat keganasan wabah pandemi ini. Tagihan dan utangku makin lama makin menumpuk. Sementara aku tidak punya pemasukan lagi dan tidak tahu kapan bencana pandemi ini akan berakhir."

"Tuhanku! Aku benar-benar pasrah pada-Mu. Berilah aku kekuatan untuk menghadapi semua ini. Bantulah aku agar bisa keluar dan bangkit dari keterpurukan ini. Hanya pada-Mu aku memohon dan berharap. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. Perkenankanlah doa hambamu yang lemah dan banyak salah ini. Aamiin."

Mendengar hal itu, kedua perampok merasa iba dan kasihan. Mereka mengurungkan niatnya lalu segera meninggalkan rumah itu dengan tangan hampa.

Saat kondisi dirasa aman, Dino keluar dari kamar untuk memastikan keberadaan maling itu. Ia berkata sambil tersenyum, "Terima kasih Tuhan. Engkau telah mendengarkanku. Sekarang mungkin aku mengerti apa maksud perkataan si dokter." (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun