Untuk kesekian kalinya, sakit kepala Mirna kambuh kembali saat sedang berada di kantor. Parahnya akhir-akhir ini gangguan itu semakin sering dan memburuk bahkan disertai efek samping yang menyakitkan. Berbagai suara atau bunyi aneh muncul bersamaan dengan datangnya serangan sakit kepala.
Ia mampu mendengar bunyi dan suara dari berbagai obyek yang berada di sekitar dan agak jauh darinya. Seperti orang yang sedang ngobrol. Suara tarikan dan hembusan napas seseorang. Bunyi ketukan di keyboard dan mouse. Suara air minum yang dituang ke dalam cangkir. Bunyi jarum jam dinding yang berdetak.
Saat mendengarkan bunyi-bunyi itu, ia betul-betul tersiksa. Sekalipun sudah menutup kedua telinganya, suara-suara itu membuat sakit kepalanya semakin parah. Tak kuat menahan sakitnya, suatu ketika ia pernah ditemukan pingsan tergeletak di bawah meja kerjanya. Segera setelah kejadian itu, seisi kantor tahu kondisi Mirna.
Kabar itu sampai ke telinga sang atasan, Suwandi. Dari laporan, ia mengetahui bahwa Mirna telah beberapa kali absen dari rapat kerja. Selain itu, ia juga mendapatkan informasi bahwa beberapa seller mengeluh karena order buku yang mereka buat, telat dikirim.
Untuk memastikan kabar berita itu, Suwandi memanggil Mirna ke ruangannya. Ia ingin mendengarkan langsung pengakuan dari mulut Mirna. Disamping itu, ia dan pihak managemen sudah berdiskusi dan mengambil langkah antisipasi terkait perihal Mirna jika memang ditemukan ketidaksesuaian dengan aturan kepegawaian yang berlaku. Kini ia bermaksud menyampaikan keputusan itu ke Mirna tentunya setelah mendengar penjelasan darinya terlebih dulu.
"Menurut kabar yang beredar dan saya dengar, anda punya masalah kesehatan. Apakah benar?" tanyanya.
"Betul, Pak. Saya terkadang mengalami sakit kepala akhir-akhir ini. Maafkan saya, Pak. Belakangan ini pekerjaan saya jadi agak terganggu akibat sakit kepala itu," ungkapnya.
Seakan ingin membela diri, buru-buru ia melanjutkan, "Tapi saya baik-baik saja dan masih bisa melakukan pekerjaan saya dengan baik."
Suwandi langsung merespons, "Mir, saya mengerti kondisimu. Pasca musibah itu, saya masih yakin padamu. Bahkan saya sendiri akui kinerjamu masih bagus. Tapi ingat kita di perusahaan punya aturan. Mengenai apa yang terjadi padamu saat ini, pihak managemen sudah memutuskan".
Ia lalu melanjutkan, "Managemen masih memberimu kesempatan untuk tetap disini. Untuk itu, kamu diberi waktu off dulu seminggu ke depan. Dengan harapan nanti saat kamu kembali lagi bekerja, kamu lebih siap, fresh dan bersemangat. Manfaatkan waktu itu! Oke, Mir?"
Meski berat diterima, dengan mata yang berkaca-kaca ia menjawab, "Baik, Pak. Terima kasih."
...........
Sebelumnya Ibu pernah menyarankan Mirna untuk ke dokter namun tidak dilakukan. Akan tetapi kali ini Mirna tak bisa mengelak lagi. Membawa sebuah map coklat lebar berisi hasil CT scan lab kemarin, Mirna didampingi Ibu masuk ke ruang praktik dokter di Minggu sore itu. Tampak jelas raut wajah tegang keduanya. Itu kali kedua mereka menemui sang dokter untuk menyerahkan hasil lab sekaligus memperoleh diagnosis.
Dokter Latif, ahli saraf dan neurologi, mengernyitkan dahi saat memperhatikan foto scan tersebut dengan saksama. Beberapa kali ia terlihat mengangkat kaca matanya ke dahi untuk melihat foto itu secara langsung dengan mata telanjang. Suasana hening sesaat meliputi ruangan. Tak lama akhirnya ia buka suara.
"Dari hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada indikasi kerusakan pada sel dan jaringan otak ataupun gejala yang mengarah kesana. Â Kondisinya normal. Sehat wal afiat," ungkapnya tersenyum.
Mendengar pemaparan sang dokter, Ibu dan Mirna langsung bernapas lega. Secara refleks keduanya mengucap syukur pada Tuhan dan berterima kasih ke dokter. Lebih lanjut dokter menyarankan agar Mirna menemui psikiater guna memperoleh penjelasan rinci seputar kondisi psikologis dan kejiwaan yang sedang ia alami.
Di kesempatan berbeda, keduanya menemui psikiater seperti yang disarankan dokter. Menurut Psikiater Elvira, kemungkinan Mirna masih ada trauma akibat kecelakaan itu. Hal itu yang kemudian memicu gangguan klinis seperti sakit kepala beserta efek sampingnya dan juga keluhan pada mata. Selain itu, muncul juga gangguan psikis seperti rasa cemas dan takut yang berlebihan. Untuk pengobatan, ia meresepkan obat dan menyarankan Mirna untuk konseling. Dengan harapan semoga Mirna benar-benar bisa sehat kembali baik fisik maupun mental.
.......
Seminggu setelah cuti khusus yang diberikan berlalu, Mirna kembali bekerja. Masih segar dalam ingatannya saat sang atasan berharap agar ia bisa comeback dengan semangat baru dan lebih fresh. Untuk itu, ia bertekad dan berusaha semaksimal mungkin memberikan yang terbaik yang ia bisa. Tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama, semua ia lakukan dengan totalitas. Tak ada yang lebih ia inginkan selain dapat bekerja dengan performa seperti dulu lagi.
Pada awalnya sempat ada perubahan positif yang tampak di permukaan dan sesuai dengan harapan semua pihak. Namun sakit kepala ditambah efek samping yang kerap kali datang, membuatnya kewalahan dan akibatnya tidak mampu memenuhi target kerja yang telah ditentukan.
Tak hanya itu, belakangan kondisi jiwanya juga terlihat labil. Di suatu kali rapat, Mirna pernah kedapetan melamun. Badannya memang ada di tempat tapi pikirannya melayang entah kemana. Semakin lama ia semakin tampak seperti orang bingung dan linglung.
Beberapa minggu berlalu namun tidak banyak yang dapat ia lakukan untuk mengubah keadaan. Sebuah acara launching buku baru molor dari waktu yang ditentukan dan terpaksa harus di-reschedule. Dan puncaknya sebuah acara meet and greet seorang penulis ternama, terpaksa dibatalkan karena penguluran jadwal dari waktu yang telah disepakati dengan si penulis. Semua sengkarut itu tidak lepas dari peran dan andil Mirna di dalamnya.
Kini harapan dan impian tinggal kenangan. Masa keemasan itu tinggal sejarah usang yang tak mungkin terulang. Kinerja Mirna benar-benar berbalik 180 derajat. Dulu dipuji kini dijauhi. Semua hasil kerja kerasnya selama ini lenyap seketika bak ditelan bumi. Karirnya terpaksa harus berakhir sampai disini.
.......
Menyadari kondisi Mirna yang ternyata tidak lebih baik dan diluar ekspektasi, Suwandi tak mampu berbuat banyak untuk menyelamatkan kelangsungan karir anak buahnya itu. Masalah Mirna kini sudah diambil alih oleh bagian personalia. Ia sendiri tidak tahu pasti kebijakan yang akan diambil perusahaan tapi sudah bisa menduga ke mana arahnya. Ia hanya diminta menunggu perintah dari atas dan melaksanakannya.
Hari itu Suwandi mengantar Mirna ke ruang personalia yang berada di lantai yang atas. Bak tersangka dalam sebuah kasus, Mirna akan dihadapkan ke manager personalia untuk menerima vonis terakhirnya. Sedih dan kehilangan yang ia rasakan saat akan melepas kepergian Mirna untuk selamanya. Sebagai atasannya, ia merasa kasihan pada jalan hidup Mirna yang penuh liku dan haru.
Terlepas dari sudut pandang subyektifnya, Suwandi menilai masalah ini haruslah dilihat secara obyektif dan profesional. Satu sisi, perusahaan sudah berusaha untuk tetap mempertahankan Mirna dengan memberinya kesempatan melalui cuti panjang pasca kecelakaan dan cuti khusus. Sisi lain, berbagai upaya itu ternyata tidak membuahkan hasil. Hingga deadline yang ditentukan, Mirna tetap tidak juga menunjukkan tanda-tanda yang diharapkan perusahaan. Dari kenyataan itu, sudah bisa disimpulkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Tak lama kemudian sampailah mereka di ruang yang dituju. Setelah mengetuk, Suwandi membuka pintu dan mempersilahkan Mirna masuk sementara ia sendiri tidak ikut masuk. Sesaat ia menatap Mirna diiringi senyuman dan anggukan kepala isyaratkan simpati dan dukungan padanya lalu segera berlalu tanpa berkata apa-apa.
Di ruangannya sang manager sudah menanti kedatangan Mirna. Bak algojo hukuman mati, ia akan menyampaikan keputusan itu. Dengan welcome, ia menyambut dan mempersilahkan Mirna duduk. Sambil menanyakan kabar dan ngobrol santai, ia berusaha membuat suasana jadi lebih cair dan rileks sebelum masuk ke inti masalah.
"Baik, saudari Mirna terima kasih atas kedatangannya. Saya ingin langsung to the point. Menindaklanjuti cuti khusus yang sudah diberikan perusahaan, managemen sudah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap performa dan kinerja anda beberapa waktu terakhir ini. Setelah melalui berbagai pertimbangan, sampailah kami pada keputusan terakhir. Dengan berat hati managemen terpaksa menempuh langkah berat ini."
Dengan tatapan murung dan bernada simpati, ia lalu melanjutkan, "Dengan sangat terpaksa kami menonaktifkan saudari sebagai pegawai di perusahaan ini. Itu artinya saudari tidak bekerja lagi disini terhitung mulai hari ini."
Namun Mirna yang ngotot tetap ingin bekerja, meratap. "Tolong, Pak! Beri saya kesempatan sekali lagi! Saya masih sanggup bekerja. Saya janji akan melakukan apapun yang diminta dan tidak akan membuat kesalahan lagi. Saya akan buktikan pada Bapak," pintanya memelas.
"Maafkan saya. Dengan segala hormat, semua sudah diputuskan oleh managemen perusahaan bukan saya," jelasnya sambil menyerahkan sebuah map berisi surat penonaktifan dirinya.
Ia coba menenangkan diri Mirna yang tampak begitu terguncang seraya berkata, "Ini bukan akhir dari segalanya. Anda masih muda. Banyak yang masih bisa dilakukan. Jangan putus asa! Saya yakin dan percaya anda bisa sukses lagi seperti yang dulu pernah anda lakukan disini."
Sang manager lalu berdiri dan berjalan menuju pintu ruangan kemudian membukanya. Mirna lantas keluar tanpa berkata apapun saat melewati manager yang masih berdiri di samping pintu. Dengan tertunduk lesu dan berurai air mata, ia menyusuri lorong itu kembali ke lantai bawah tempat kantornya berada.
Dalam langkah kakinya, ia merasa begitu hampa dan tak berdaya. Menerima kenyataan pahit itu, benar-benar membuatnya terpukul. Tak mampu berpikir. Hanya gundah-gulana yang ia rasakan. Baru saja kesedihan karena kehilangan suaminya reda, kini hal itu seakan terulang kembali.
Saat Mirna hendak kembali ke mejanya, seluruh mata di ruang itu seakan tertuju padanya. Membandingkan sambutan hangat beberapa waktu lalu, tatapan itu membuat suasana hatinya terusik dan terganggu. Seakan menyiratkan penyalahan padanya atas kemelut yang terjadi dan kepuasan atas kemalangan yang menimpa dirinya. Membuat kondisi jiwanya semakin bertambah tak menentu dan tak terkendali.
Mengetahui apa yang dialami Mirna, Santi sebagai seorang teman dekat, mendatanginya. Ia bisa merasakan apa yang sedang Mirna rasakan. Ia mencoba menghibur dan meringakan sedikit masalah yang sedang merundung Mirna. Ia tahu itu masalah yang sangat berat bagi Mirna. Dan ia ingin Mirna tahu bahwa ia akan selalu bersama di sisinya.
"Mir, aku sungguh bersedih atas apa yang terjadi. Aku sadar ini sangat berat bagimu. Andai ada yang bisa ku lakukan untuk membantumu, tolong sampaikan saja. Jangan sungkan!" ujarnya penuh perhatian.
"Apa lagi yang kau inginkan dariku? Belum puaskah kau dengan apa yang terjadi? Kau sama saja seperti mereka. Menyalahkanku atas semua kekacauan yang terjadi. Tertawa di atas penderitaanku. Kau pikir aku tidak tahu?" amuknya sehingga terdengar oleh semua orang di ruang itu.
"Oh Mirna! Apa yang kau bicarakan! Tidak pernah sedikitpun terlintas dalam benakku melakukan hal buruk semacam itu. Kau tahu aku ini sahabatmu. Kita sudah lama saling kenal dan berkerja sama. Bagaimana mungkin aku tega menyakitimu?" ungkapnya.
"Jangan mendekat! Aku tidak butuh bantuanmu," bentaknya saat Santi hendak membantu mengepak barang-barang yang akan dibawanya pulang.
Coba redakan suasana, Santi berucap dengan tulus, "Mir, aku tahu kau sedang kesal dan kecewa dengan semua ini. Aku pun merasakan hal yang sama seperti dirimu. Dukamu dukaku juga. Walau kita tidak lagi bersama, aku ingin kau tahu aku akan selalu bersamamu di setiap langkah dan waktumu."
"Tidak! Tidak perlu lagi kau bermanis-manis di depanku! Selama ini aku bisa sendiri tanpamu. Kau bebas mengatakan apapun yang kau mau. Semuanya tidak ada gunanya lagi," ucapnya ketus lalu meninggalkan Santi tanpa kesan yang baik.
Mendapat respons mengejutkan dan tak mengenakkan, Santi begitu sedih harus berpisah dari Mirna dengan cara seperti itu. Ia terheran-heran dengan sikap Mirna itu. Seperti bukan Mirna yang ia kenal selama ini. Jauh dari arti sahabat yang semestinya.
Di saat terakhir mereka bersama, tak ada yang lebih ia inginkan selain perpisahan yang akan selalu dikenang. Meski begitu, Santi masih memaafkannya dan memaklumi suasana hati Mirna yang sedang kalut kala itu. Ia mendoakan yang terbaik baginya dan berencana menghubunginya suatu saat nanti.
.......
Jumat sore itu benar-benar weekend terburuk dalam hidupnya. Pikirannya berkecamuk. Pada titik itu ia benar-benar hancur. Ia begitu hanyut dibuai kesedihan selama perjalanan pulang itu. Tiba-tiba sakit kepalanya muncul. Hampir saja ia tak mampu menyetir mobilnya, namun ia memaksa diri karena apartemennya sudah ada di depan mata.
Meski masih menahan rasa sakit, ia lega bisa sampai ke tujuan. Sambil mengerang, ia buru-buru merogoh saku luar tasnya. Dua pil itu langsung ia telan. Tak lama kemudian kepalanya terasa sedikit lebih enteng. Namun penglihatannya agak kabur dan suara-suara aneh itu mulai terdengar kembali.
Sengaja tidak membawa turun barang packing dari kantornya, ia bergegas keluar dari mobil. Dalam penglihatannya, lampu-lampu di tempat parkir itu tampak sesekali meredup. Derap langkah kaki dari high heel-nya begitu jelas menggema di pelataran parkir yang sepi itu.
Ia merasa dirinya sedang dikuntit. Saat menoleh ke samping dan belakang, seperti ada bayangan yang muncul sekilas lalu menghilang. Saat yang sama, ia mendengar sayup-sayup suara seperti memanggil namanya. Dengan merinding, ia bergegas menuju pintu masuk ke dalam gedung dengan kartu pass yang digesek terlebih dulu.
Merasa aman setelah sampai di dalam gedung, ia segera menuju lift. "Bing" pintu lift yang kosong itu terbuka. Dengan perasaan berdebar, ia melangkah masuk ke dalamnya. Berdiri di depan pintu lift, ia lalu menekan angka 12 sambil mengucek matanya yang samar melihatnya.
Sendirian dalam lift, suasana mencekam meliputinya. Sempat berhenti di lantai lima, namun saat pintu lift terbuka tidak ada siapa-siapa. Sekali lagi suara aneh itu terdengar kembali memanggil namanya. Entah bagaimana lampu dalam lift tiba-tiba meredup lalu mati sesaat.
Mirna yang panik, tak sengaja menjatuhkan kunci gesek dan kamarnya yang masih ia pegang. Saat menunduk untuk mengambil kunci itu, ia bergidik saat melihat pantulan dari pintu lift di depannya. Samar-samar terlihat sesosok bayangan seperti wanita tanpa menjejakkan kaki di sisi dinding bagian belakang lift.
Tak mampu melihatnya, ia hanya menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya yang gemetar ketakutan. Seketika bau amis seperti darah menyeruak di dalam kabin lift yang kedap udara. Aromanya begitu menusuk sehingga membuatnya mual. Dari balik celah jemarinya, ia dapat melihat dari pantulan di pintu lift tampak sosok itu perlahan seperti akan mendekatinya.Â
Ia mengutuk waktu yang seakan berhenti berjalan sementara ia kepengin lift segera sampai ke lantai 12. "Cepat! Cepatlah!" teriaknya dalam hati. "Bing" saat pintu lift terbuka, secepat kilat ia melompat keluar. Lalu berlari tunggang-langgang ke sebelah kiri koridor menuju kamarnya.
Bak polisi sedang menggerebek tempat kejahatan, Mirna menyergap masuk ke dalam kamarnya lalu mengunci rapat pintunya. Ia segera meraih hp dan menelepon Ibu. Menanti teleponnya diangkat, seluruh lampu termasuk tv ia nyalakan untuk mengusir rasa takut yang menjalar dalam dirinya. Di panggilan kedua barulah teleponnya diangkat. Dengan mengharu-biru ia mengungkapkan semua yang terjadi kepada Ibu walau dengan suara terbata-bata.
...........
Sekitar 40 menit berselang, terdengar suara ketukan di pintu disertai suara yang memanggil namanya. Melalui lensa pembesar di pintu, ia memastikan itu Ibu. Begitu Ibu masuk, Mirna langsung mendekapnya erat dengan tersedu-sedu. Berusaha tetap kuat, Ibu menenangkan Mirna.
Belum paham duduk perkaranya dengan jelas, Ibu menanyai kembali Mirna. Ia tak percaya saat memperhatikan surat penonaktifan yang diberikan Mirna. Walau berat diterima, ia dapat mengerti alasan di balik keluarnya surat itu. Meski Ibu sudah merelakan tapi bagi Mirna mungkin tidak semudah itu. Ibu merasa ini menjadi tugasnya untuk memahamkan Mirna tentang hal itu. Pelan-pelan akan ia lakukan dan berharap Mirna menerimanya dengan lapang dada.
Terkait halusinasi yang Mirna alami lagi, Ibu teringat pendapat psikiater yang ditemui pada waktu lalu. Menurutnya, kecelakaan itu telah menimbulkan trauma kejiwaan pada diri Mirna. Dampaknya adalah gangguan klinis maupun psikologis seperti yang Mirna alami sejauh ini.
Dari situ, Ibu menyimpulkan bahwa gangguan halusinasi yang terjadi disebabkan faktor trauma yang masih membekas dalam dirinya yang kemudian kambuh lagi. Tak heran jika hal itu suatu saat dapat terulamg kembali. Untuk itu, ia akan membujuk Mirna untuk ikut konseling lagi seperti yang pernah disarankan psikiater.
Selama dua malam Ibu menemani Mirna di apartemen. Saat hendak pulang, ia mengajak Mirna tinggal bersamanya. Namun Mirna tampak enggan seraya mengatakan ia sudah merasa lebih baik dan bisa ditinggal sendirian. Ibu lalu pulang dan berharap kondisi Mirna baik-baik saja selanjutnya.
.......
Di suatu malam saat hujan deras, hp Mirna berdering. Ia lalu mengangkatnya dan tampak bahagia menerima telepon itu. Wajahnya berseri diselingi sesekali senyuman. Sebuah kondisi langka yang ia rasakan dalam beberapa waktu terakhir. Setelah mengakhiri obrolan yang cukup lama itu, ia lalu mengambil sebuah payung dan tampak bersiap ingin keluar meski dalam cuaca yang sedang tidak bersahabat.
Dalam dingin malam, ia menelusuri lorong demi lorong apartemen yang kosong dan sepi. Menapaki langkahnya dalam kegelapan demi kegelapan menuju taman yang berada di sebelah apartemen. Ia hendak menemui orang yang tadi meneleponnya. Mereka berdua sudah berjanji untuk bertemu di tempat yang dulu biasa mereka datangi di saat santai atau weekend.
Dalam temaram lampu taman diiringi desiran angin dan butiran hujan, dari kejauhan ia dapat menyaksikan seseorang yang ingin ia temui telah menantinya. Di bangku taman itu, keduanya bertemu dan melepas kangen bak sepasang kekasih yang lama tak bersua. Mirna begitu mendamba bertemu dengannya. Ia sangat ingin terus bersamanya sampai kapanpun dan tak ingin melepasnya walau sesaat pun.
.........
Pagi subuh, Ibu dikejutkan oleh telepon masuk dari nomor asing. Mengaku dirinya sebagai pengelola apartemen tempat Mirna tinggal, si pria meminta Ibu untuk secepatnya datang ke apartemen karena sesuatu telah terjadi pada Mirna. Saat didesak ada apa dengan Mirna, ia hanya menjawab sesuatu kurang baik telah terjadi.
Tak menyangka mendapat kabar mendadak tak mengenakkan, Ibu buru-buru berangkat. Hampir tak jauh beda dengan yang ia rasakan seminggu lalu. Perasaan khawatir kerap muncul tiap kali mendatangi Mirna. Diliputi was-was, sulit baginya membayangkan hal buruk apa lagi yang akan ia temui kali ini.
Mendekati kamar Mirna, tampak ada dua orang pria. Salah satunya berpakaian satpam. Mereka sengaja menunggu di depan kamar nomor 1216 itu. Salah satunya yang berjaket kulit hitam, menyambut kedatangan Ibu. Memperkenalkan dirinya bahwa ia yang tadi menelepon Ibu.
Satpam menuturkan ia menemukan Mirna tergeletak di atas bangku taman dalam keadaan basah kuyup karena kehujanan. Dari CCTV tertera waktunya pukul 01:33 saat ia melintasi koridor bawah dekat taman. Keberadaannya baru ditemukan sekitar jam 5 subuh. Keduanya dibantu petugas yang lain lalu membawa Mirna kembali ke kamarnya. Setelah penuturan itu keduanya lalu pamit. Ibu berterima kasih banyak atas bantuan yang diberikan.
Saat Ibu masuk, Mirna sedang berbaring di tempat tidur. Kondisinya kelihatan baik. Namun yang mengagetkan, raut wajahnya tampak gembira. Bahkan tidak pernah segembira itu sejak insiden kecelakaan mobil yang merenggut nyawa suaminya.
Walaupun shock mendengar laporan barusan, dengan penuh kasih Ibu menyapa Mirna dan bertanya dengan lembut, "Ada apa, sayang? Apa yang terjadi?"
"Yuda, Bu. Ia meneleponku semalam dan datang menemuiku di taman sebelah apartemen," jelasnya bersemangat.
Mendengar itu, sontak wajah Ibu berubah pucat pasi, "Mir, Yuda sudah tiada. Ia ..."Â
Mirna langsung menyela pembicaraan Ibu. "Tidak, Bu! Itu Yuda. Ia nyata. Itu benar-benar dia. Aku bersamanya semalam."
"Oh Tuhan! Suamimu sudah meninggal dalam kecelakaan enam bulan lalu. Tidak ingatkah kau saat berziarah ke makamnya bersama Ibu? Itu membuktikan Yuda telah wafat. Tempatnya bukan disini lagi. Sadarlah, nak!" ratap Ibu pilu.Â
.........
Melalui kaca sempit di pintu, Ibu tertegun menatap ke dalam ruang itu sembari mengusap matanya yang basah. Di ruang 3x4 itu, Mirna kini ditempatkan. Sudah hampir sebulan ia disana. Fisiknya tampak sehat. Sementara untuk pemulihan kesehatan jiwanya, masih terus diupayakan pihak rumah sakit. Ditemani seorang dokter, Ibu meninjau Mirna untuk mengetahui perkembangannya hari itu.
Pasca insiden di taman itu, Ibu membawa Mirna menemui Psikiater Elvira yang dulu menanganinya. Ibu menceritakan seluruh kejadian yang dialami Mirna. Psikiater lalu memeriksa Mirna. Apa yang dulu ia sampaikan, tidak jauh beda dengan saat ini. Menurutnya, trauma lamanya kambuh lagi karena dipicu oleh masalah pekerjaan dan pemecatan dirinya.
Akibatnya, gangguan psikisnya yang sudah dideritanya menjadi lebih parah dan mengarah pada gangguan jiwa berat. Meski demikian, dengan pengobatan dan perawatan intensif, Mirna masih mungkin disembuhkan. Untuk itu Ibu disarankan membawa Mirna ke RSJ. Sebenarnya Ibu tidak menginginkan hal itu tapi ia tidak punya pilihan lain. Ini yang terbaik bagi Mirna setidaknya untuk sementara waktu ini.
(SELESAI)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H