"Tidak! Tidak perlu lagi kau bermanis-manis di depanku! Selama ini aku bisa sendiri tanpamu. Kau bebas mengatakan apapun yang kau mau. Semuanya tidak ada gunanya lagi," ucapnya ketus lalu meninggalkan Santi tanpa kesan yang baik.
Mendapat respons mengejutkan dan tak mengenakkan, Santi begitu sedih harus berpisah dari Mirna dengan cara seperti itu. Ia terheran-heran dengan sikap Mirna itu. Seperti bukan Mirna yang ia kenal selama ini. Jauh dari arti sahabat yang semestinya.
Di saat terakhir mereka bersama, tak ada yang lebih ia inginkan selain perpisahan yang akan selalu dikenang. Meski begitu, Santi masih memaafkannya dan memaklumi suasana hati Mirna yang sedang kalut kala itu. Ia mendoakan yang terbaik baginya dan berencana menghubunginya suatu saat nanti.
.......
Jumat sore itu benar-benar weekend terburuk dalam hidupnya. Pikirannya berkecamuk. Pada titik itu ia benar-benar hancur. Ia begitu hanyut dibuai kesedihan selama perjalanan pulang itu. Tiba-tiba sakit kepalanya muncul. Hampir saja ia tak mampu menyetir mobilnya, namun ia memaksa diri karena apartemennya sudah ada di depan mata.
Meski masih menahan rasa sakit, ia lega bisa sampai ke tujuan. Sambil mengerang, ia buru-buru merogoh saku luar tasnya. Dua pil itu langsung ia telan. Tak lama kemudian kepalanya terasa sedikit lebih enteng. Namun penglihatannya agak kabur dan suara-suara aneh itu mulai terdengar kembali.
Sengaja tidak membawa turun barang packing dari kantornya, ia bergegas keluar dari mobil. Dalam penglihatannya, lampu-lampu di tempat parkir itu tampak sesekali meredup. Derap langkah kaki dari high heel-nya begitu jelas menggema di pelataran parkir yang sepi itu.
Ia merasa dirinya sedang dikuntit. Saat menoleh ke samping dan belakang, seperti ada bayangan yang muncul sekilas lalu menghilang. Saat yang sama, ia mendengar sayup-sayup suara seperti memanggil namanya. Dengan merinding, ia bergegas menuju pintu masuk ke dalam gedung dengan kartu pass yang digesek terlebih dulu.
Merasa aman setelah sampai di dalam gedung, ia segera menuju lift. "Bing" pintu lift yang kosong itu terbuka. Dengan perasaan berdebar, ia melangkah masuk ke dalamnya. Berdiri di depan pintu lift, ia lalu menekan angka 12 sambil mengucek matanya yang samar melihatnya.
Sendirian dalam lift, suasana mencekam meliputinya. Sempat berhenti di lantai lima, namun saat pintu lift terbuka tidak ada siapa-siapa. Sekali lagi suara aneh itu terdengar kembali memanggil namanya. Entah bagaimana lampu dalam lift tiba-tiba meredup lalu mati sesaat.
Mirna yang panik, tak sengaja menjatuhkan kunci gesek dan kamarnya yang masih ia pegang. Saat menunduk untuk mengambil kunci itu, ia bergidik saat melihat pantulan dari pintu lift di depannya. Samar-samar terlihat sesosok bayangan seperti wanita tanpa menjejakkan kaki di sisi dinding bagian belakang lift.