Mohon tunggu...
ahmad hassan
ahmad hassan Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Berkecimpungan dalam dunia pendidikan. Suka musik klasik & nonton film. Moto "semua sudah diatur".

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kalut (#15)

28 Agustus 2021   10:01 Diperbarui: 28 Agustus 2021   10:02 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mendengar hal itu, Sinta baru menganggapnya serius. Dika memaklumi perasaan Ibunya karena kabar itu datang begitu mendadak. Ia pun mulai bercerita tentang apa yang sesungguhnya terjadi. Sinta menyimak penuturan Dika yang panjang lebar dengan saksama. Sesekali ia bertanya dan langsung dijawab Dika dengan tuntas.

Sinta tidak menyalahkan jika Dika memutuskan untuk menikah meski kondisinya tidak lazim seperti itu. Namun ia masih belum bisa percaya anaknya itu dengan sukarela mengambil langkah yang tidak mudah itu. Jelas muncul perasaan khawatir dalam dirinya lantaran keputusan itu sangat riskan dan berisiko besar.

Tapi ia pun menyadari jika Dika memang dihadapkan pada pilihan yang serba salah. Anggap saja Dika menolak tawaran itu. Apakah nanti hidupnya akan tenang dan dapat melupakan semua itu? Apakah tidak mungkin muncul rasa penyesalan sepanjang hidupnya di kemudian hari karena tidak menerima tawaran itu? Ataukah malah justru sebaliknya. Pilihan inipun juga sama riskan dan risikonya. Dan pada akhirnya, hal itu seperti takdir yang sulit dihindari dan harus dijalani Dika.

Bukanlah Dika jika sudah memutuskan sesuatu, pantang baginya menjilat ludahnya sendiri. Itu sudah jadi prinsip hidup yang ia pegang. Dengan segenap hati, ia meyakinkan ibunya. Dika yang sudah bertekad bulat, mengharap doa restu dari sang Ibu. Juga mengharapkan kehadiran Ibu dan adiknya di hari dimana ditunaikannya janji diri sepenuh jiwa dan hati.

Tak ada alasan lagi bagi Ibu untuk tidak mendukung sang anak. Baginya, Dika telah melakukan sesuatu yang baik,  besar, dan berani. Dengan sadar dan rela, Dika berkorban demi kepentingan orang lain dalam rangka menyelamatkan kehormatan dan harga diri mereka. Ibu bangga dengan keputusan dan keberanian anaknya itu. Ia selalu mendoakan yang terbaik bagi Dika seperti yang telah ia lakukan selama ini. Tak sabar rasanya ia ingin menyaksikan sang anak duduk di pelaminan tanpa pernah ia sangka semendadak ini sebelumnya.

.....
Sudah hampir dua minggu Tomi berada di rumah sakit. Ia dalam masa pemulihan pasca operasi bahu dan paha yang ia jalani sebagai akibat dari kecelakan motor tunggal yang dialaminya. Selama masa pemulihan itu, ia ditemani oleh Bi Umi, seorang kerabat yang sengaja didatangkan dari kampung untuk merawat dan mengurus keperluan Tomi selama di rumah sakit. Meski bekerja, Herdi dan Martha menyempatkan diri setiap hari mampir menjenguk Tomi.

Hari ke hari, Tomi menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Seperti biasa para dokter melakukan evaluasi berkala setiap akhir pekan. Berdasarkan hasil diagnosis, sistem sarafnya baik sensorik maupun motorik sudah kembali normal walau belum seratus persen. Secara keseluruhan kondisi Tomi jauh lebih baik. Untuk itu, Tomi diperbolehkan pulang seminggu lebih cepat dari jadwal semestinya. Menurut dokter, pemulihannya bisa terus dilanjutkan di rumah. Guna pemulihan sepenuhnya, ia disarankan melakukan fisioterapi setidaknya sebulan sekali di klinik yang dirujuk.

Bersama Herdi dan Martha serta Bi Umi, Tomi pulang ke rumah. Di rumah, ia mulai jalan tanpa tongkat dan merasa jauh lebih baik. Namun ia diingatkan dokter untuk tidak memorsir diri dengan berjalan terlalu jauh atau beraktivitas terlalu berlebihan. Bahu kanannya sudah tidak lagi memakai selempang. Gerakan bahunya juga sudah luwes seperti biasa. Ia sudah mampu mengangkat barang namun belum boleh yang berat. Bahkan untuk gerakan tangan yang halus seperti menulis, sudah bisa ia lakukan.

Suatu kali, Bi Imah, pengasuh Tomi dulu, menelpon Tomi. Ia tahu jika Tomi sudah pulang dari adiknya yang masih di Jakarta. Di video call, ia menanyakan kabar secara langsung ke Tomi. Tomi senang sekali ditelepon Bi Imah yang sudah dianggap seperti ibunya sendiri. Ia bersyukur dirinya diberi kesehatan dan kepulihan seraya menunjukkan bahu kanan dan kaki kirinya yang sudah normal kembali.

Bi Imah bahagia mendengar kabar itu. Tanpa terasa air matanya menetes saat melihat Tomi bersama Bi Umi yang masih mendampinginya untuk beberapa waktu ke depan. Saat ditanya kapan ia mau main ke Tomi, Bi Imah tidak bisa berjanji tetapi kalau ia sehat dan kuat, ia akan mengunjungi Tomi suatu hari nanti.

Kembali ke kamarnya setelah sekian lama ditinggal, Tomi seolah terlahir kembali. Menyaksikan hp-nya tergeletak di meja, ia terkenang saat hari naas itu. Hp itu sengaja tidak dibawanya saat peristiwa itu terjadi. Ia lalu berpaling ke salah satu sisi dinding kamarnya. Entah bagaimana helm racing putih itu sudah tergantung lagi di dinding tersebut. Helm itu menyimpan kenangan tragis nan traumatis sekaligus berjasa besar melindunginya dalam insiden itu. Ia tetap membiarkannya berada disitu. Biar menjadi saksi bisu musibah yang pernah ia alami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun