Mohon tunggu...
ahmad hassan
ahmad hassan Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Berkecimpungan dalam dunia pendidikan. Suka musik klasik & nonton film. Moto "semua sudah diatur".

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kalut (#9)

6 Juni 2021   10:01 Diperbarui: 6 Juni 2021   10:09 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Roy Arifin seorang birokrat sejati. Ia meniti karirnya dari bawah. Berbagai daerah pernah ia singgahi. Berbagai pos pernah ia tempati sebelum akhirnya ia dipercaya mengisi posisi strategis di salah satu dirjen kementerian negara pada saat ini. 

Ia pernah masuk kepengurusan sebagai dewan pembina sebuah cabang olahraga pelatnas. Ia juga pernah ditunjuk sebagai tim ahli dalam penyusunan sebuah RUU oleh Istana. Semua itu melengkapi kiprahnya sebagai aparatur negara dengan segudang portofolio.

Berpostur tinggi rata-rata, sedikit gempal, dan berkulit sawo matang cerah dengan ciri khas berkumis tipis, berkaca mata, dan bertahi lalat di pipi kiri. 

Dengan logat Sunda yang cukup kental, gaya bicaranya simpel, tegas, berwibawa, instruktif, dan solutif. Khas seorang birokrat. Pembawaannya tenang, murah senyum, humoris tapi tetap serius, dan senang berlama-lama ngobrol. Beberapa orang yang mengenal baik dirinya pasti mengakui Roy seorang pribadi yang suka ngalor, ngidul, ngelantur.

Di waktu luang, ia suka mendengar musik klasik sambil membaca koleksi bukunya di ruang kerja. Dua buah gitar yang berada tidak jauh dari meja kerjanya, kadang suka dimainkan saat ia lagi mood. 

Ia juga menyukai lukisan namun ia sendiri tidak pandai melukis. Ia punya beberapa koleksi lukisan karya pelukis terkenal dari luar maupun dalam negeri yang dipajang di rumahnya. Di akhir pekan, jika tidak ada undangan ke suatu acara, ia biasanya latihan tenis dan sesekali menembak.

Malam itu, Roy bersama istrinya, Evi, dan kedua anaknya, Erika dan Ericko, berkumpul bersama di meja makan. Tidak ada yang spesial dari acara makan itu. Mereka hanya makan malam bersama seperti di malam-malam yang lain. 

Namun, ada yang sedikit berbeda di malam itu. Roy tampak lebih lesu dibanding biasanya. Maklum saja belakangan ia sibuk mengadakan kunjungan kerja ke beberapa tempat di tengah maraknya pandemi. Boleh jadi capai dan letih baru ia rasakan sekarang.

Roy menganggap dirinya seorang family man tulen. Lelaki yang merasa dekat, tahu, dan mengerti tiap anggota keluarganya dengan baik. Walaupun sibuk, ia berusaha tetap menjunjung tinggi slogan quality time bersama keluarganya. Di malam itu, ia tak segan menampakkannya meski badannya terasa kurang begitu fit. Sebisa mungkin ia konsisten dengan prinsip itu.

Mengawali obrolan, Roy menyapa Erika dengan berkata, "Gimana kuliahnya sejauh ini, Teh?"

"Baik-baik aja, Pa," jawab Erika sambil mengangguk.

"Masih daring ya?" lanjutnya.

"Iya, masih," ungkapnya.

"Apa ada kendala selama daring?"  tanyanya penuh perhatian.

"Gak ada sih tapi mungkin agak berat di waktu awal aja karena gak biasa belajar sendirian," kata Erika terus terang.

"Tapi sekarang udah mulai terbiasa kan?" tanya Roy sembari memastikan.

"Udah sih, mau gak mau," ujarnya terus menyuap sesendok nasi.

"Sama, Papa teh sedang adaptasi juga. Banyak acara kantor atau rapat yang digelar virtual. Ada bagusnya juga sih menurut Papa. Memanfaatkan teknologi tanpa harus ketemu orang langsung. Selain bisa menekan cost pengeluaran dinas juga lebih efektif dari segi waktu. Urusan juga bisa langsung beres," ungkapnya sesekali terbatuk.

"Tapi bagaimanapun bertemu langsung memang lebih afdal. Komunikasi dan interaksi terasa lebih happening, keakraban juga lebih terjalin," lanjut Roy. Kemudian dibalas senyuman oleh Erika seakan setuju dengan pernyataan Ayahnya itu.

"Oh iya. Gimana dengan basketnya, Teh? Masih latihankah?" tanya Roy tiba-tiba.

"Masih ikutan tapi sejak pandemi diliburkan dulu," jawab Erika dengan tenang. Ia sudah mengantisipasi pertanyaan itu jika muncul.

"Kalau basket gak bisa virtual ya?" celetuknya bercanda. Lagi-lagi dibalas senyuman oleh Erika sambil menghabiskan suapan terakhir.

Roy sontak mengalihkan pandangan ke Ricko saat dipanggil olehnya. "Pa, Pa, kapan kita jalan-jalan lagi? Dede dah bosen nih di rumah terus!" rengeknya.

"Emang Dede teh mau kamana?" tanya Papa santai.

"Kemana ya? Kemana aja deh," jawabnya dengan mulut penuh makanan.

"Iya, nanti kalau udah boleh. Kan sekarang lagi stay at home," kata Papa Roy.

"Tahu gak Dede stay at home?" tanyanya lagi.

"Di rumah saja," jawab Ricko refleks.

"Iya, pinter pisan anak Papa," pujinya.

"Itu kan ada di pelajaran Dede, Pa!" seru Ricko.

"Oh iya? Hebat euy," ujarnya.

"Kan Bu Guru yang ngasi tau waktu belajar onlen," tambahnya.

"Oh, gitu. Keren ya keren," tukasnya.

Memperhatikan Papa Roy yang sedari makan tadi tampak kurang berselera, Mama Evi berseloroh, "Sok atuh Pa tambah lagi nasinya?"

"Geus, Ma. Cukup," jawabnya menyudahi makannya.

"Papa teh kayak kurang sehat hari ini," ujar Mama sambil membereskan meja makan.

"Mungkin ini karena kecapekan kemarin, Ma Tapi gak usah khawatir. Tar juga enak lagi abis istirahat," jawabnya menghibur.

"Oh iya, gimana bisnis rotinya sejauh ini, Ma?" tanya Roy sambil pindah ke ruang keluarga.

"Sebulan lebih pandemi berlalu, progress-nya stabil minus terus. Terutama dua gerai yang ada di mal yang terdampak paling parah karena aturan mal yang membatasi pengunjung hanya 30%. Entah berapa lama pandemi ini akan berlangsung.  Selama kondisi belum normal kembali, rasanya berat euy untuk bangkit lagi," keluh Evi.

"Terus kumaha atuh jadinya?" tanya Roy merasa heran.

"Mama mau liat dua bulan lagi, Pa. Siapa tahu ada perubahan.  Kita berdoa aja semoga yang terburuk bisa dihindari. Mama teh juga kasihan kalau sampai ada PHK terus kita ikutan gulung tikar. Eleuh-eleuh jangan sampai terjadi itu mah," katanya sambil mengupas apel.

"Enya atuh, Ma. Semoga ada perubahan. Tapi Ma, kalau yang terjadi sebaliknya, kumaha nyak. Apa Mama udah ada planning cadangan?" imbuhnya sambil melahap irisan apel yang dihidangkan.

"Kalau menurut Papa gimana?" tanyanya balik.

Seakan mengerti maksud pertanyaan istrinya, Roy merespon, "Kalau yang Mama maksud dana talangan, nanti Papa siapin."

"Mama teh hargai niat baik Papa. Tapi dari awal usaha ini dirintis, Mama teh berprinsip gak mau ngerepotin Papa. Sementara ini Mama gak mau berspekulasi dulu. Kita lihat aja nanti," ujarnya pasrah.
......
Bagi Erika, pandemi ini seolah berkah dibalik musibah. Sebelum terjadi pandemi, ia malah bingung memikirkan kelangsungan kuliahnya. Tapi kini ia bersyukur karena bencana ini seperti jadi jalan keluar dari persoalan tersebut. Ia tidak harus repot pergi dan pulang kampus. 

Dengan kondisi fisik yang semakin terbatas geraknya karena berbadan dua, ia masih tetap bisa kuliah dari rumah melalui pembelajaran daring. Setidaknya untuk satu semester ini.

Satu masalah selesai namun masalah besarnya tetap menggantung hingga detik ini. Hal itu yang membuat hatinya masih resah dan gelisah. Beberapa kali ia pernah berniat mengungkapkan rahasia itu ke sang Mama. Namun dengan segera ia urungkan karena ia sendiri belum siap dengan konsekuensi yang akan dihadapi. Apalagi mengetahui kondisi bisnis roti Mama yang sedang porak-poranda akibat pandemi seperti saat ini. Tampaknya niat tersebut tidak akan terwujud.

Diluar sekolah atau kuliah, Erika sibuk menulis blog dengan memanfaatkan platform digital menulis gratis. Hobi itu sudah ia geluti sejak SMP. Baginya, menulis sebuah cara dalam mengekspresikan diri. Tak peduli tulisannya dibaca atau tidak, yang penting menurutnya proses penyaluran minat itu dapat tersampaikan dengan baik.

Ia menulis apa saja yang menurutnya layak ditulis. Terutama tentang dunia anime dan manga yang memang ia gandrungi sejak kecil serta olahraga favoritnya basket. Ia juga suka membuat puisi dan cerpen. Pernah beberapa kali ia menulis tentang isu-isu yang lagi viral dan up to date dari berita yang ia baca atau ikuti. Tentunya dari sudut pandang anak seusianya. Biasanya ia posting satu atau dua tulisan setiap minggu. Tapi kalau lagi mood, bisa lebih banyak dari itu.

Namun, hampir empat bulan terakhir ini, ia cuma menelurkan sebuah puisi dan sebuah cerpen di akun blog miliknya. Kedua tulisan itu pun tidak jauh-jauh dari pengalaman pribadinya. Puisi yang tidak diberi judul itu syarat dengan curahan hatinya yang terdalam. Berisi tentang pergolakan batinnya yang pilu bak teriris sembilu.

Sementara, cerpennya juga terinspirasi dari kisah asmara yang dialaminya. Hanya sekitar dua ribu kata, cerpen itu bercerita tentang sepasang kekasih yang terpaksa berpisah karena suatu perbedaan. Seiring waktu mereka menyadari bahwa perbedaan tersebut bukan untuk dipertentangkan. 

Keduanya berharap kelak bisa bertemu kembali. Hingga suatu ketika akhirnya suratan tangan mempertemukan mereka kembali dan menyatukan keduanya untuk selamanya.

Bak mimpi buruk yang mengganggu tidurnya, Erika kerap teringat kembali peristiwa itu. Saat itu Papa sedang kunjungan kerja ke Anyer. Mama dan Ricko menyusul sorenya karena ada acara family gathering sesama pegawai kantor. Keesokan siangnya Tomi main ke rumah Erika kemudian sorenya mereka pergi keluar cari makan sambil hangout dan baru pulang malamnya.

Malapetaka dimulai sesudahnya. Saat Tomi mau pamit pulang, hujan pun mulai turun. Berangsur sedikit demi sedikit, makin lama makin deras. Berharap segera berhenti, hujan yang ditunggu tidak juga reda malah bertambah awet. Malam pun makin larut seiring gejolak jiwa yang kian menggelegak. Hanya berdua dalam suasana sunyi nan sepi berada di rumah kosong di malam dingin itu, bukan pekerjaan sulit bagi sang makhluk durjana tak kasatmata untuk melancarkan aksinya.

Minggu subuh Tomi buru-buru pulang karena diberi tahu Erika akan kedatangan Ceu Entin, pembantu yang biasa bekerja di rumah. Ia datang setiap pagi untuk melakukan berbagai pekerjaan rumah. Sekitar jam 10an biasanya ia baru pulang setelah seluruh tugasnya selesai. Ceu Entin sudah tahu kalau di rumah hanya ada Erika karena keluarganya yang lain sedang pergi keluar kota. Baginya, sangat tidak mungkin jika ada orang lain di rumah apalagi laki-laki yang numpang bermalam.

Saat bayangan kelam itu datang, Erika berkata seakan membela diri, "Semua itu terjadi begitu saja. Tidak pernah sedikitpun direncanakan. Tidak sengaja. Itu bukan inginku. Itu bukan maksudku. Tapi aku begitu lemah tak berdaya. Tak kuasa menahan bujuk rayu. Seolah dibawah pengaruh guna-guna mantra cinta. Aku bukan perempuan seperti itu. Aku hanya terlena dan terbuai oleh keadaan. Aku hanyalah korban dari jeratan api asmara yang penuh tipu daya."

Kesal, marah, dan tidak terima bercampur aduk warnai kekalutan dalam dirinya. Terkadang ia kepengin melampiaskan amarah yang meliputi dirinya. Namun ia sendiri tak tahu kepada siapa harus ia timpakan. Apakah Tomi patut dipersalahkan? Tidak. Bagi Erika, Tomi sama seperti dirinya. Mereka berdua hanyalah korban dari keadaan. Lalu, ini salah siapa? Termenung dan tersadar. Hal itu tidak akan mengubah apa-apa. Tidak akan mengembalikan apa yang sudah terjadi. Tidak juga menyelesaikan masalah malah memperumit saja.

Andai bisa memutar waktu kembali ke masa itu, tentu ia akan berpikir ribuan kali melakukannya. Ia benar-benar menyesal dan merasa bersalah. Ia akui dirinya lalai dan abai serta bertindak bodoh dan ceroboh tanpa berpikir panjang. Akan tetapi apa hendak dikata. Semua sudah terjadi. Tidak mungkin terulang lagi.

Namun ia tidak ingin berlarut-larut dalam penyesalan yang tiada berguna. Fighting spirit-nya sebagai seorang pemain basket mengajarkannya untuk tidak mudah menyerah dan putus asa. Betapapun buruknya permainan tim, betapapun banyaknya skor tertinggal, betapapun sulitnya menembus pertahanan lawan, tidak ada kata menyerah, berhenti, dan meninggalkan pertandingan. Berusaha dan berjuang sampai peluit akhir dibunyikan. Itulah yang semestinya dilakukan.

Semangat juang itulah yang tampak memotivasi dirinya untuk terus berjuang sampai titik darah penghabisan. Kini tekadnya kuat sekuat batu karang yang dihempas ombak di tengah samudera luas. Coba bangkit dari keterpurukan, ia menutup rapat chapter tergelap masa lalunya seraya melangkah maju songsong hari esok serta membuktikan pada dunia bahwa dirinya belum berakhir.

(bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun