Mohon tunggu...
ahmad haes
ahmad haes Mohon Tunggu... -

Lahir di Bandung, besar di Jakarta. Hobi menulis, menggambar, mengajar, dan berorganisasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Muhajir Mahjur (Pengikut Aliran 'Sesat')

13 Desember 2011   10:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:22 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jadi, kata Satria, setelah dipaksa berpisah dengan istri dan kedua anaknya, dan usahanya pun bangkrut, terjadilah suatu peristiwa yang menggemparkan.

Suatu hari, Muhajir tak bisa menahan keinginan untuk bertemu dengan anaknya. Ia pergi ke sekolah anak-anak itu. Di tengah jalan, ia melihat anaknya ternyata sudah pulang, dijemput oleh nenek mereka, yaitu ibu mantan istri Muhajir. Melihat Muhajir, anak itu pun lari ke pelukannya. Muhajir memeluk dan menciumi anaknya sambil menangis, sementara nenek si anak berlari pulang ke rumahnya.

“Berlari pulang?” potong Arif.

“Ya. Wanita setengah baya itu pulang untuk melapor kepada suaminya bahwa cucu mereka diculik Muhajir!”

Selanjutnya, sambung Satria, kakek kedua anak itu pun berlari dari rumahnya, mencari Muhajir sambil membawa golok. Ketika ia melihat Muhajir sedang menuntun  anaknya, ia langsung berteriak, “He, bangsat! Lepasin cucu gua! Haram tanganlu nyentuh cucu gua.”

Muhajir berusaha menenangkan mantan mertuanya, dan menegaskan bahwa ia tak akan membawa lari anaknya itu. Tapi sang mantan mertua yang selagi mudanya dikenal sebagai jawara (pendekar) itu lantas saja mengayunkan golok ke arah Muhajir. Muhajir yang masih muda dan suka mengajar silat secara reflek menghindari bacokan. Seiring dengan itu, secara reflek pula pergelangan tangannya yang keras ‘mementung’ jakun sang mantan mertua, sehingga orang tua itu jatuh terlentang, dan tak bisa bangun lagi.

“Secara tak sengaja, orang tua itu terbunuh,” kata Satria.

Arif menutup mulutnya, menahan seruan kaget yang hampir tercetus. Satria membakar rokok, melempar korek api ke atas meja, lalu menyedot asap dalam-dalam.

“Kalau begitu, saya sudah tahu jawaban pertanyaan saya,” kata Arif setelah agak lama terdiam. “Ustad Muhajir sekarang pasti ada di penjara.”

“Ketika dia dalam penjara,” kata Satria tanpa melihat lawan bicaranya, “yang menjenguknya hanya saya dan anak-anak di bawah itu. Orangtua dan saudara-saudaranya seolah sudah menganggap dia tak ada. Mereka kecewa, karena mereka mengira bahwa Muhajir sengaja membunuh mantan mertuanya,” kata Satria.

“Kasihan!” cetus Arif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun