Mohon tunggu...
ahmad haes
ahmad haes Mohon Tunggu... -

Lahir di Bandung, besar di Jakarta. Hobi menulis, menggambar, mengajar, dan berorganisasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Muhajir Mahjur (Pengikut Aliran 'Sesat')

13 Desember 2011   10:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:22 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sambil memegang secarik kertas lusuh dan buram yang berisi peta sederhana yang dibuat temannya beberapa tahun lalu, Arif turun dari Metromini persis di depan sebuah warung Padang yang berha-dapan dengan sebuah minimart di seberang-nya. Perjalanannya dari sebuah perkampungan nun di Jakarta Timur tidak terasa sulit untuk membawanya tiba di sebuah kampung di Jakarta Selatan.

“Kamu menyeberang dari depan restoran itu. Di depan minimart Anu, tanya Pak Ogah (tukang parkir amatiran) yang biasa berkumpul di situ. Mereka pasti tahu rumah Ustad Muhajir, karena dulu setiap aku menjemputnya, dia selalu menunggu di situ.” Demikian kata temannya yang dulu biasa menjemput Ustad Muhajir dengan sepeda motor.

Arif yang agak takut menyeberangi jalan ramai terpaksa harus berdiri agak lama me-nunggu arus kendaraan terputus. Setelah sampai di seberang, ia langsung mendekati seorang pemuda kurus yang di tangan kanannya ada tulisan (tato) “ini tangan gua” dan di tangan kirinya ada tato “Panjul”. Arif menduga tato yang terakhir itu nama panggilan si pemuda, tapi ia tak berani memastikan.

“Dik,” kata Arif, “tahu rumah Ustad Muhajir?”

“Ustad Muhajir?” ‘Panjul’ mengulang pertanyaan Arif. Berpikir sesaat, kemudian menyambung, “Saya orang sini, tahu ustad-ustad di sini, tapi … rasanya nggak ada tuh yang namanya Muhajir.”

“Katanya dia suka nongkrong di sini; ngobrol, bercanda, atau main catur dengan anak-anak parkir!” kata Arif.

Panjul tertawa. “Mana ada ustad yang mau bergaul sama anak-anak parkir. Ngliat kita aja mereka pada sinis!”

Arif garuk-garuk kepala.

“He Papan! Sini lu!” teriak Panjul tiba-tiba pada temannya yang lebih kurus.

“Ngapa lu, Penggilesan! Mo bagi doku?”

“Doku! Palelu kayak gocapan! Tuh, lu pungutin doku di latar; masukin celengan!” kata Panjul sambil menunjuk lantai halaman minimart yang di atasnya bertebaran uang logam 25-an dan 50-an, yang rupanya dibuang anak-anak tukang parkir itu setiap hari. Pe-muda yang dipanggil Papan itu hanya melirik sekilas sambil terus berjalan ke arah Panjul.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun