Mohon tunggu...
ahmad haes
ahmad haes Mohon Tunggu... -

Lahir di Bandung, besar di Jakarta. Hobi menulis, menggambar, mengajar, dan berorganisasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Muhajir Mahjur (Pengikut Aliran 'Sesat')

13 Desember 2011   10:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:22 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Eh, elu kenal Ustad Muhajir kagak?” sambung Panjul setelah si Papan berdiri hampir rapat di depannya.

“Ustad Mubajir? Lucu juga namanya,” si Papan pura-pura salah dengar.

“Tampang lu tuh mubajir! Muhajir, budeg! Kenal kagak?” bentak Panjul sambil seenaknya ngelepak kepala temannya.

Si ‘Papan’ cuma nyengir. “Kagak tahu,” katanya kemudian.

“Dasar tikus! Kenalnya kodok doang lu! Coba lu tanya temen-temen!”

Si Papan dengan lincah berlari ke arah teman-temannya yang bergerombol di sebuah sudut, mengelilingi papan catur yang ditaruh di tanah. Tak lama kemudian ia sudah kembali menghadap Panjul. “Kagak ada yang kenal!” katanya.

Panjul menegaskan kabar itu kepada Arif melalui tatapan matanya. Arif garuk-garuk kepala lagi. Wajahnya tampak bingung.

“Begini aja, Mas!” Kata Panjul. “Di sini ada beberapa madrasah, sekolahan, rumah yatim-piatu, majlis ta’lim, masjid, musola … Para ustad kan biasa ngumpul di tempat-tempat gituan!”

Arif segera mengerti. “Iya dah, saya cari,” katanya sambil mengangguk-angguk.

Setelah mengucapkan terimakasih kepada tukang parkir yang ramah itu, Arif mulai melakukan pencarian. Ia tidak lantas mengi-kuti petunjuk Panjul tapi masuk saja ke sembarang gang. Satu demi satu orang yang dipergokinya ditanya. Kadang ia menghampiri warung, tempat-tempat orang berkerumun, tukang-tukang ojek, dan siapa pun. Tapi, setelah sekitar satu jam berjalan, ia belum ber-temu dengan orang yang mengenal Ustad Muhajir. Sekitar sepuluh menit kemudian, sampailah ia di sebuah madrasah. Dari situlah ia mulai melaksanakan cara pencarian yang diajarkan Panjul. Tapi, setelah bertanya kepa-da para pedagang, ibu-ibu, bapak-bapak, para ustad sampai kepala sekolah, ternyata tidak seorang pun yang mengenal Ustad Muhajir.

Dari situ, Arif melanjutkan pencarian. Bertanya pada orang-orang, memasuki majlis-majlis ta’lim, masjid-masjid dan seterusnya. Tapi Ustad Muhajir, seperti sebatang jarum dalam tumpukan pakain bekas di sebuah gudang, belum juga ditemukan. Jangan-jangan ‘jarum’ itu memang tak ada di situ, pikirnya. Tapi, apa mungkin temannya berbohong? Atau dia salah menyebut nama tempat? Mungkin Ustad Muhajir dulu bukan dijemputnya dari kampung ini…

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun