Aku memeluk sepi
Imbas ia mengakarkan diri
Padahal, aku tak memilihnya berada di sini
Ia memaksa tinggal, menolak untuk pergi
Bahkan ketika aku tersadar
Bahkan ketika aku sudah turun tangan
------
Bayangku tertanam pada rumah berkaca tinggi-tinggi. Tubuhnya yang megah sempat diselimuti kabut debu dan ranting-ranting kayu rusak imbas terduduknya dirinya di bawah pohon mangga. Nahas, figur usangnya itu tersiram hujan air yang membasuh satu muka dunia dari atas langit hingga kaki-kaki jalan. Lantas, rumah itu menjadi gelap, seakan-akan bumi menelannya dalam kebisingan beribu ketukan cabang pohon yang menyuruhnya untuk segera menutup pintu dan jendela sebab kalau tidak, dipastikan lantai-lantai keramik kering di dalam tubuhnya berubah jadi tergenang.
Mataku terpaku pada guntur dan angin yang memadu kasih di luar sana. Sangat dekat, tetapi juga sangat jauh dari tempat berdiriku. Dahiku mengernyit menyaksikan kisah mereka yang makin kelam, pula makin besar. Tanganku berpegangan erat pada badan sang jendela.
"Hujan ini pasti lama berakhirnya," keluh batinku.
"Hey, nanti kamu masuk angin, Ola."
Suara itu sejenak membuatku tersentak. Dua tangan dingin merengkuh pinggang dan perutku, memaksaku membeku diam. Sebelum aku bisa membalikkan badan dan wajah, si pemilik suara sudah terlebih dahulu menaruh jalur napasnya di depan telinga kananku, membuatku sedikit geli.
"Your hands are cold," tuturku lirih.
"You might catch a cold, dear," timpalnya.
Aku tertawa kecil. Arah pandangku masih terpaku pada peraduan hujan dan angin di seberang figurku. Andai saja mereka memilih arah laju sebaliknya dari peperangan mereka saat ini, mungkin aku sudah basah kuyup sekarang. Namun, malah hangat, malah panas yang aku rasakan di sisi kanan dan belakang tubuhku.
Figur yang mendekapku memaksa lamunku hancur. Napas hangatnya menyentuh kulit leher dan dadaku. Petir bergemuruh seraya tubuhku berhadapan dengan hal serupa. Dua lengan yang memeluk pinggangku bertambah erat.
"Kamu mau bikin aku remuk ya?"
"Kamu gak perhatiin aku sih," lenguhnya.
Dehaman pelan keluar dari mulutku seraya aku menaruh tanganku pada pucuk kepalanya. Rambut hitam gelamnya senada dengan awan-awan yang sedang murka di luar rumah. Jari jemariku berdansa di atas hutan rambut, sekejap mereka tertidur dan sekejap pula mereka terbangun untuk kembali berlari ke sana kemari.
"Sorry," ucapku sembari mendekatkan wajahku ke telinganya.
Ia hanya membalas dengan senyuman tipis yang berkembang di wajahnya. Jari jemariku melompat, memilih berpindah pada muka kasar yang sedang menutup mata. Pemilik figur itu sempat terkejut, sebelum akhirnya ia malah kembali diam, menikmati setiap gesekan yang aku buat.
"Gimana kalau kita tidur aja? Mulai dingin sekarang," kataku seraya tersenyum canggung.
Ia membuka kedua matanya, menampilkan sepasang iris berwarna coklat gelap yang menatap hujan, sebelum akhirnya memposisikan dirinya untuk bisa memandang ke arah sisi wajahku.
"Ayo, kita selimutan bareng, ya?" tanyanya dengan nada antusias.
Aku tidak bisa melawan keinginan untuk tertawa kecil ketika dirinya memunculkan hal-hal lucu dan imut.
"Alright."
Belum lima detik setelah aku berkata demikian, ia sudah menarik tubuhnya, menghilangkan kehangatan yang sempat aku rasakan dalam-dalam. Sekilas aku bersedih hati, sekejap itu pula ia memaksa tubuhku membalikkan diri. Mata kami berdua bertemu, senyum saling terkembang manis bersama-sama. Tanpa kata maupun air muka tambahan, ia melepas kedua tangannya dari pinggangku.
"Ayo ke kamar," pintanya.
Ia mengulurkan sebelah tangannya. Aku segera menerima. Kami berdua berjalan menyusur lorong-lorong rumah yang sempit dan terkesan hampa. Figur tegapnya memimpin jalan. Aku menggenggam tangannya erat, mengekor di belakang. Sesampainya kami di kamar kecil bernuansa putih abu-abu dengan lampu redup berwarna kuning biru, ia segera melompat ke kasur besar di hadapanku dan menenggelamkan tubuhnya di bawah selimut bulu tebal dengan motif wajah kucing oranye membentuk pola-pola polkadot.
"Ayo, sini, cepat."
Ia menepuk pelan sisi kasur di sebelahnya sembari tersenyum lebar. Suaranya terdengar lantang meskipun di luar sana petir menggelar konser besar-besaran. Aku tak ingin membuatnya kesal sehingga aku segera melangkahkan kakiku untuk ikut terbenam bersama dirinya di bawah dekapan selimut tebal. Ketika lututku bertemu dengan lututnya, ia melayangkan sebelah tangannya ke arah pundakku, menarik pelan tubuhku lebih dekat. Seketika itu juga, aku merasakan hangat, hangat serupa yang aku sempat rasakan tiga menit lalu.
"You're warm," sebutnya pelan.
"You give me the warmth, dear."
Kami tertawa bersama, sebelum akhirnya mata kami berdua menutup bersamaan. Lengannya memelukku rapat, tanganku mendekapnya erat. Aku merasakan hangat. Di tengah hujan yang melanda kotaku seharian, ia membagiku nyaman yang aku dambakan dekat.
------
Aku memeluk sepi
Saking besarnya, ia mewujud diri
Mengambil tubuh sempurna
Merupa wajah manusia yang aku damba
Mendekap diriku dalam ilusi dewatanya
Aku memeluk sendiri
Ia merengkuh balik, menyelimuti
Tubuhku dan tubuhnya dalam pelik bersunyi
Sekejap bersama
Seketika itu mati rasa juga
Menampik panggilan kembali ke dunia nyata
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI