"Gimana kalau kita tidur aja? Mulai dingin sekarang," kataku seraya tersenyum canggung.
Ia membuka kedua matanya, menampilkan sepasang iris berwarna coklat gelap yang menatap hujan, sebelum akhirnya memposisikan dirinya untuk bisa memandang ke arah sisi wajahku.
"Ayo, kita selimutan bareng, ya?" tanyanya dengan nada antusias.
Aku tidak bisa melawan keinginan untuk tertawa kecil ketika dirinya memunculkan hal-hal lucu dan imut.
"Alright."
Belum lima detik setelah aku berkata demikian, ia sudah menarik tubuhnya, menghilangkan kehangatan yang sempat aku rasakan dalam-dalam. Sekilas aku bersedih hati, sekejap itu pula ia memaksa tubuhku membalikkan diri. Mata kami berdua bertemu, senyum saling terkembang manis bersama-sama. Tanpa kata maupun air muka tambahan, ia melepas kedua tangannya dari pinggangku.
"Ayo ke kamar," pintanya.
Ia mengulurkan sebelah tangannya. Aku segera menerima. Kami berdua berjalan menyusur lorong-lorong rumah yang sempit dan terkesan hampa. Figur tegapnya memimpin jalan. Aku menggenggam tangannya erat, mengekor di belakang. Sesampainya kami di kamar kecil bernuansa putih abu-abu dengan lampu redup berwarna kuning biru, ia segera melompat ke kasur besar di hadapanku dan menenggelamkan tubuhnya di bawah selimut bulu tebal dengan motif wajah kucing oranye membentuk pola-pola polkadot.
"Ayo, sini, cepat."
Ia menepuk pelan sisi kasur di sebelahnya sembari tersenyum lebar. Suaranya terdengar lantang meskipun di luar sana petir menggelar konser besar-besaran. Aku tak ingin membuatnya kesal sehingga aku segera melangkahkan kakiku untuk ikut terbenam bersama dirinya di bawah dekapan selimut tebal. Ketika lututku bertemu dengan lututnya, ia melayangkan sebelah tangannya ke arah pundakku, menarik pelan tubuhku lebih dekat. Seketika itu juga, aku merasakan hangat, hangat serupa yang aku sempat rasakan tiga menit lalu.
"You're warm," sebutnya pelan.